SETELAH kepergian sang juru taktik berkebangsaan Skotlandia Sir Alex Ferguson (SAF), Manchester United (MU) tak pernah menemukan sosok pengganti yang sepadan. Bagai anak ayam kehilangan induk – kebingungan, mereka mandek dan menjadi klub biasa-biasa saja.
Tahun 2013 silam SAF mengakhiri kariernya setelah 26 tahun (1986-2013) menjadi pelatih tim berjuluk “Setan Merah”. Di bawah asuhanya, MU menjelma menjadi tim raksasa yang mampu menyabet gelar di semua kompetisi.
13 Gelar Liga Inggris, 2 Liga Champions, 1 Piala Dunia Antar Klub, 5 Piala FA, 4 Piala Liga, 1 Piala Super Eropa, 1 Piala Interkontinental, 1 Piala Winners Eropa, 10 Community Shields. Sebuah rekor yang menempatkan SAF menjadi pelatih paling sukses sepanjang sejarah sepak bola inggris dan dunia, (total 49 tropi, 38 bersama MU)
Itu sebabnya, Fergie, panggilan akrabnya, pada 12 Juni 1999 mendapatkan gelar Commander of the Most Order of the British Empire (CBE) dari Ratu Elizabeth II, sehingga ia berhak dipanggil “Sir”. Gelar CBE diberikan Kerajaan Inggris kepada individu untuk menghargai kontribusi yang telah dilakukan di bidang pekerjaan mereka.
Gelar itu ia dapatkan berkat musim gemilang 1998/1999 di mana MU menjadi tim Inggris pertama yang meraih treble winners. Treble winners adalah istilah sepak bola ketika sebuah tim berhasil menjuarai tiga turnamen sekaligus dalam satu musim. Tiga gelar itu termasuk di level kontinental maupun domestik. Yaitu menjuarai Piala FA, Liga Inggris dan Liga Champions dalam satu musim.
Tapi malapetaka itu datang setelah SAF pensiun, MU tak pernah menemukan peforma terbaik. Harapan itu sempat muncul walau sesaat, tepatnya pada musim 2016/2017 saat Jose Mourinho membawa MU menjuarai Liga Eropa, setelah itu tak ada lagi prestasi yang membanggakan. Terhitung dalam 10 musim terakhir, tim bermarkas di Old Trafford itu bongkar pasang pelatih sebanyak 8 kali.
Mulai dari David Moyes (2013-2014), Ryan Giggs (Carataker 2014), Louis van Gaal (2014-2016), Jose Mourinho (2016-2018), Ole Gunnar Solskjaer (2018-2021), Michael Carrick (Carataker 2021), Ralf Rangnick (2021-2022) dan teranyar Erik ten Hag (2022-sekarang).
Arogansi Erik ten Hag
Harapan kebangkitan MU kembali menyala setelah Erik ten Hag berlabuh. Pelatih berkepala pelontos itu dimusim pertama 2022/2023 berhasil membawa “The Reds Devil” finish di peringkat 3 liga, runner up FA cup, dan tak hanya itu, ten Hag juga membawa MU menjuarai Carabao cup—walau banyak juga yang mencibir bahwa piala tersebut adalah piala ciki, piala tingkat rt, piala kaleng dan seterusnya.
Padahal tak banyak pelatih yang punya statistik gemilang di musim pertamanya di Liga inggris sekalipun Pep Guardiola, Mikel Arteta atau Jurgen Klopp.
Seolah mengonfirmasi, saat jumpa pers Final FA cup 2022/2023 lalu Pep mengatakan bahwa, “saya rasa tidak mudah bagi pelatih manapun untuk musim pertama melatih di Liga Inggris. Saya mengalami itu sendiri, jadi apa yang dilakukanya menunjukan bahwa ia adalah seorang manajer yang bagus”
Memang begitu adanya, Liga Inggris bukan liga yang ramah untuk pelatih pendatang baru.
Tapi sekali lagi bukan perihal statistik kemenangan, formasi, atau torehan rekor lain dimusim pertama ten Hag yang membuat ia spesial, sama sekali bukan, melainkan ten Hag adalah sang penguasa ruang ganti.
Sepenting itukah pelatih menguasai ruang ganti di era sepak bola modern? Saya kira Graham Potter adalah bukti konkret korban dari tak sehatnya situasi ruang ganti Chelsea yang menyebabkan ia dipecat padahal belum genap semusim menukangi Chelsea.
Jelas, kejutan pertama datang dari ten Hag adalah menyingkirkan sang mega bintang Ronaldo. Pemecatan itu terjadi karena Ronaldo tak cocok dengan filosofi bermain atau formasi ten Hag, apalagi waktu itu, pemilik 5 Ballon d’Or tersebut memang sedang underpeformance sehingga ia tak banyak mendapatkan menit bermain.
Bahkan, sebelum pemecatan, ia sempat mendapatkan hukuman lantaran menolak bermain menjadi pemain pengganti saat match tersisa beberapa menit.
Puncaknya adalah saat Ronaldo diwawancarai oleh Piers Morgan pada 2022 lalu yang dianggap pernyataanya kontroversial dan menyeret banyak pihak, salah satunya adalah ten Hag
Kejutan selanjutnya adalah menghukum Marcus Rashford karena terlambat menghadiri rapat formasi sehingga ia harus rela menjadi pemain cadangan saat pertandingan ke-16 melawan Wolves. Padahal Rashford pada waktu itu sedang gacor dan menjadi tumpuhan lini depan MU.
Tak berhenti sampai di situ, ten Hag tak segan untuk mencadangkan sang kapten sekaligus bek termahal dunia seharga 80 Juta Pounds, Harry Maguire. Ten Hag lebih memilih duet centre back Varane dan Martinez. Kebranian yang membuat saya geleng-geleng kepala. Bahkan, di musim teranyar 2023/2024 ban kapten resmi disandang Bruno Fernandes.
Nampaknya banyak taktik jitu ten Hag yang belum bisa dimaksimalkan. Barangkali alasan tersebut yang membuat akhirnya satu-satunya pemain peninggalan era SAF David de Gea tak diperpanjang kontraknya.
Padahal dimusim lalu de Gea menjadi penjaga gawang dengan jumlah clean sheet terbanyak Liga Inggris. Gagal adaptasi dengan perkembangan sepak bola modern (build up) dan sering blunder dimomen penting (Final FA cup, misalnya) adalah alasan ia terdepak dari skuat MU.
Belum lagi aturan soal makanan, berat badan dan hal-hal lain diluar lapangan yang dianggap ten Hag terlalu berlebihan.
Ten Hag benar-benar arogan. Ia tak segan untuk menyingkirkan siapa saja sekalipun nama besar yang melanggar atau tak sesuai intruksi. Tapi jika hanya arogansi yang bisa membuat MU bangkit dan kembali pada era SAF, saya kira ten Hag perlu lebih arogan. Mengintruksikan para fans untuk mendemo Glazer family, misalnya.[T]