BELUM LAGI gladi bersih selesai pada Jumat malam, 21 Juli 2023, tiba-tiba Nick Jono rebah. Badannya dingin dan mengaku kepala pusing, dan muntah. Beberapa teman mengolesi badan Made Sujana, nama resmi Nick Jono, dengan berbagai jenis minyak urut, tergantung apa yang dibawa masing-masing mereka. Ada yang memijeti dan ada juga memberi bantuan “tenaga”, serta tak lupa nunas ice ring ida batara…
Nick Jono adalah salah seorang penampil dalam acara “Ketemu Made Sanggra ring Bali Jani”. Nick Jono akan membacakan dua karya Made Sanggra yaitu “Suara Saking Setra” dan “Tegal Jamblang”, pada acara yang merupakan bagian dari “Tribute to Maestro” dalam Festival Bali Jani V, 2023. Malam itu, adalah pengenalan panggung sesungguhnya (gladi bersih) di Teater Tertutup Ksirarnawa, Art Centre, Denpasar, Bali, sebelum tampil besoknya, Sabtu, 22 Juli 2023.
Semua tim pentas diliputi kepanikan. Penata musik Ketut “Regen” Oka Bergawa pusing. “Sing nyidang pules, bene pentas nenenan (pentas ini membuat sulit tidur),” tulis Regen di WAG. “Ini saya masih diskusi. Ikut pusing,” sahut yang lain. Padahal itu sudah 22 Juli 2023 dini hari. Regen sedang memikirkan solusi bila Nick Jono tidak bisa tampil.
Pergelaran Tribute to Made Sanggra serangkaian Festival Seni Bali Jani V/2023 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu 22 Juli 2023 | Foto: Tim Kreatif FSBJ 2023
Ketika semua tim berkumpul pukul 09.00 di Art Centre, Nick Jono belum muncul. Semua anggota tim pentas was-was. Tapi, akhirnya semua bernafas lega dan bersyukur melihat Nick Jono didampingi istrinya hadir di tengah-tengah kami, sekitar pukul 13.00 Wita. Saya dan beberapa teman langsung minta Nick Jono istirahat di belakang panggung. Dia bisa cepat tidur, meski hanya beralaskan karpet yang digelar di lantai.
Pukul 15.00 Wita pementasan “Ketemu Made Sanggra ring Bali Jani” akan dimulai. Bergantian crew menengok, setidaknya menoleh ke arah tempat tidur Nick Jono. Regen kemudian mendekati Nick Jono yang sudah bangun.
“Kenken (bagaimana), Nick? Nyidang (bisa) main?”
“Kalau dipaksa, ya bisa saja,” kata Nick
“Ah, jangan dipaksa, nanti jatuh (pingsan) malah repot,” kata anggota lainnya.
Waktu pementasan masih tinggal sekitar satu jam lagi. Nick pun diminta kembali istirahat. Pimpinan produksi kembali berembug, sambil saling menguatkan dan membesarkan hati bahwa Nick Jono akan siap pada waktunya.
Saya sudah mulai membaca-baca puisi “Suara Saking Setra” yang sudah dilaminating agar tidak cepat koyak. Saya masih yakin Nick Jono akan mampu tampil membacakan puisi tersebut. Sosok Nick Jono tinggi besar dan sangat jarang sakit. Apalagi ia mantan anggota keamaman. Fisiknya terlatih. Suaranya terjaga karena sudah terbiasa dalam “mebasan” atau penterjamah dalam pesantian.
Sementara saya dalam kondisi tidak terlalu prima. Saya baru tiba di Bali, pada 19 Juli 2023. Hari pertama di rumah, saya tidak bisa tidur, sebagaimana kebiasaan saya selama bertahun-tahun. Pada hari H pementasan, 22 Juli 2023, saya masih melek rapat panitia hingga pukul 04.00 dini hari. Saya baru pergi tidur ketika ayam jantan sudah bangun dan berkokok pertama kalinya.
Saat tiba di Art Centre, sekitar pukul 10.00 Wita, suara saya sudah “bindeng”, karena kerongkongan serak akibat kurang tidur. Jadi saya masih sangat berharap pementasan berlangsung tanpa perubahan. Mereka sudah berlatih sejak Mei lalu. Sungguh tidak elok kalau tiba-tiba penampil diganti. Karena itu, saya tetap berharap Nick Jono bisa bugar dan tampil di pentas.
Sekitar 15 menit sebelum pentas dimulai, diputuskan Nick Jono batal tampil dengan puisi “Suara Saking Setra:”. Tapi, dia berharap masih bisa manggung pada kesempatan ke dua dengan puisi “Tegal Jamblang”. Semua sepakat. Masalahnya sekarang, bagaimana menyikapinya? Apa solusinya? apakah dibiarkan kosong atau cari gantinya.
Regen kemudian mendekati saya dan menyampaikan agar saya membacakan puisi ayah saya tersebut. Saya kemudian menemui Nick Jono, minta izin untuk menggantikan dia membaca “Suara Saking Setra”. Tentu Nick Jono tidak keberatan, karena kami masih bersaudara dan ini adalah acara keluarga besar kami.
Oh ya, sebagian besar pendukung pementasan ini adalah sanak keluarga, anak cucu, sepupu, misan mindon, dari Made Sanggra. Tentu ada beberapa bintang tamu, termasuk nara sumber dalam acara talkshow.
Saya kemudian membaca teks puisi tersebut. Berusaha mengatur nafas agar suara tidak putus. Mulai latihan pernafasan dan menggerakkan badan. Anggota keluarga yang melihat saya, menganggap saya ketakukan atau gugup. Mereka pada bercanda berusaha menurunkan ketegangan. Saya berusaha tetap menjaga konsentrasi. Seorang adik sepupu datang dan mencolekkan bawang merah di dahi saya.
Sebagai anak perantauan yang sejak 1979 sudah meninggalkan Bali, terus terang saja, hal-hal seperti itu masih mengambang di ruang kepercayaan saya. Masih ada, belum hilang sama sekali, tapi melayang-layang begitulah. Namun saat itu, ada dorongan agar saya minta izin pada almarhum ayah dan juga kakak saya tertua Prof. Windia (meninggal 1 April 2023).
Saya (penulis, Made Suarjana Sanggra) membaca puisi Suara Saking Setra dalam Pergelaran Tribute to Made Sanggra serangkaian Festival Seni Bali Jani V/2023 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu 22 Juli 2023 | Foto: Tim Kreatif FSBJ 2023
Ketika masih siswa SMA Negeri Gianyar (1975-1978/79), beberapa kali saya membacakan puisi ini, saat berlatih teater di rumah Nyoman Manda. Pak Nyoman Manda, sahabat erat Made Sanggra—ayah saya. Pak Manda sekaligus juga guru kami di sekolah. Di bawah bimbingan Pak Manda, kami mendirikan Teater Malini.
Ayah pernah menyaksikan sekali saya baca “Suara Saking Setra”, dan menilai saya belum mendapatkan roh dari puisi tersebut. Sementara, kakak saya almarhum Prof. Windia, pernah menyaksikan saya baca “Suara Saking Setra”, dan berkomentar positif. Makanya, pada beliau berdoa saya minta tuntunan.
Sebelum minta izin pada ayah dan kakak, saya minta izin pada “siapa saja yang tak tampak” di sekeliling areal Art Centre. Kakak perempuan saya datang dengan tirta dan ning cokor, lalu menyiratkan ke kepala saya dan menyuruh minum tiga kali, dan terakhir meraupkan di wajah.
Begitu Gamelan Slonding yang dipimpin Agus “Bracuk” Dwipayana, mulai mengalun, kemudian dibarengi suara organ dari Regen, saya menyelinap masuk dalam kegelapan panggung. Suara lolongan anjing dan suara burung kinasih, menyentuh dan menyayat hati.
Saya berposisi tidur miring di balik keranda jenazah yang ditutup kain hitam, di pojok panggung. Pada saat sudah terasa pada puncak “keseraman”, saya berteriak: “Haaaaaaaa…ha…ha…ha…” sambil mengangkat satu tangan. Saya mainkan jari-jari saya beberapa detik sebelum bangkit, seakan-akan keluar dari kuburan, dilanjut membaca bait pertama…
Haaaaa…ha…ha…ha…
Hiiiiiiiiii…hi…hi…hi…
Suud ja, suud…! entegang bayune
Tidak terasa teks habis dan saya keluar panggung. Saya sangat bersyukur. Tidak ada salah ucap dan tidak ada kata-kata yang terlewati saya baca. Ini cukup mengherankan bagi diri saya sendiri. Sebagai orang yang berusia 63 tahun, saya sudah terganggu akibat berkurangnya daya hapal, daya eja dan daya nulis/mengetik tanpa salah.
Hal yang lebih membuat saya kaget, satu per satu anggota kru pementasan, termasuk Jengki Sunarta yang akan tampil berikutnya, menyalami saya. Sambil mengacungkan jempol, Jengki, si penyair tunggal (maksudnya Jomblo) berkata: “Bagus bli, rohnya Bapak masuk”. “Memag bli Dek yang harus membaca puisi Bapak itu,” kata salah seorang adik sepupu saya lain.
Bahkan, ada penonton yang sengaja keluar gedung mencari saya dan menyalami, dengan ucapan senada. “Mule De, orine mace puisine Bapak ento,”. (Memang kamu disuruh baca puisi tersebut)
Tapi yang sangat menggembirakan, Nick Jono merasa sehat dan mengatakan siap membaca puisi jatahnya yang kedua, berjudul “Tegal Jamblang”. Saya copot kain hitam yang saya pakai dan serahkan pada Nick Jono karena itu memang properti dia.
Pada saat Nick Jono tampil, kami putuskan dia membaca puisi sambil duduk, untuk mengantisipasi agar dia tidak jatuh. Kami juga siapkan dua “tenaga” di belakang panggung, untuk jaga-jaga, kalau-kalau Nick Jono tiba-tiba rubuh, mereka akan menggotong keluar.
Eh, Nick Jono betul-betul sudah bugar saat itu dan siap tampil. Selama membaca “Tegal Jamblang”, dia tampil prima sebagaimana yang dipertunjukkan saat latihan. Vokalnya terjaga. Geraknya terukur dan “rasa” puisinya dia dapat, sehingga penampilannya sungguh bagus menurut saya.
Akhirnya, pementasan yang dikelola Yayasan Wahana Dharma Sastra Made Sanggra Sukawati, itu berakhir dengan lancar dan sukses. Dua karya masterpiece Made Sanggra, puisi “Suara Saking Setra” dan cerpen “Ketemu ring Tampaksiring”, sama-sama sebagai Juara Pertama dalam sayembara Sastra Bali 1971, itu kembali menggema.
Bahkan, saat keluarga berkumpul dan bersyukur Minggu, 23 Juli 2023 pagi, salah seorang anggota keluarga nyeletuk, melihat peristiwa pementasan “Suara Saking Setra” kali ini, agar puisi tersebut diperlakukan berbeda dengan puisi-pisisi ciptaan ayah lainnya.
Menurut dia, “Suara Saking Setra” sudah berposisi setara dengan lontar-lontar milik leluhur kami yang disimpan di tempat suci. Bila ada yang akan mementaskan puisi itu, harus matur piuning atau minta izin secara niskala.
Saya hanya garuk-garuk kepala. Tidak berani berkomentar, apalagi membantah dalam pertemuan keluarga besar semacam itu. Takut jadi perdebatan tak berujung. Untuk menerima usul ini saya harus betul-betul harus ada persiapan untuk siap, tidak bersifat dadakan, seperti pementasan kemarin.
Saya kemudian buru-buru keluar rumah, menuju Bandara Ngurah Rai, selanjutnya terbang ke Jakarta mekuli kembali…
Haaaaaaa….hahaha…hiiiiiii… suud…. je suud… [T]
- BACA JUGA