Jumat, 7 April 2023, Mulalawali Institute dengan programnya Studi Klub Pragina, mengadakan workshop gerak bertajuk “Tubuh Setengah Jadi”,diadakan di sanggar seni Penggak Men Mersi, Kota Denpasar. Ini menjadi pengalaman saya pertama kali mengikuti workshop gerak tubuh yang bersinggungan dengan dunia seni tari dan pertunjukan. Karena selama ini saya hanya menjadi penikmat, walupun kadang juga sedikit menjadi pengamat amatir dengan secuil pengetahuan.
Workshop ini dimentori oleh Razan Wirosandjoyo, seorang seniman tari dan filmmaker berbasis di Solo. Razan sapaan akrabnya, berlatar belakang sarjana seni tari dari ISI Surakarta dan sudah menjalankan praktik keseniannya sejak 2010. Disamping itu, ia juga mengembara untuk nyantrik dari berbagai seniman lintas disiplin. Melalui pengalaman dari proses dirinya menjadi seorang koreagrafer, ia mencoba berbagi melalui workshop ini untuk belajar bersama proses kreatif penciptaan tari dan pertujukan melalui laku pemahatan diri bagi seorang koreografer maupun pragina (performer atau seniman panggung).
Saya tiba di workshop ini sedikit terlambat bahkan hampir pesimis tidak bisa menghadirinya karena ada daedline pekerjaan. Untungnya kendala itu masih bisa diatasi. Memasuki kori sanggar, saya melihat peserta duduk melingkar dengan perhatian peserta yang fokus pada sang mentor. Panitiapun menyambut dan mengarahkan saya untuk langsung bergabung dalam lingkaran peserta. Seperti biasanya, forum ini diawali dengan perkenalan dan pengantar dari Razan dan juga panitia tentunya. Peserta banyak diikuti oleh anak-anak muda yang terlihat sangat antusias.
Olah Tubuh : dari mencari titik pusat hingga menapak bumi
Babak mula workshop diawali dengan olah tubuh dasar. Peserta diajak untuk duduk sambil menyelonjorkan kaki. Sebagai tumpuan, kaki memiliki peran penting menjaga keseimbangan tubuh terlebih dalam proses gerak dan olah tubuh seorang pragina. Olah tubuh dasar ini berlanjut pada titik-titik penting tubuh lain seperti pinggul, perut dan bagian tulang belakang.
Gerakan ini merupakan bentuk pencarian titik pusat tubuh yang diikuti pola nafas teratur sebagai upaya menciptakan fokus dan kesadaran dalam memahami ketubuhan masing-masing individu. Razan menggunakan metafor benang yang tersambung diatas ubun-ubun kepala yang menarik ke atas untuk mengarahkan posisi titik tubuh dan fokus dalam satu garis imajiner. Begitu juga fokus pada bagian tubuh yang lain, ia selalu menggunakan metafor-metafor tertentu untuk memudahkan peserta memvisualkan proses pengenalan tubuh. Proses ini mengingatkan saya pada aktivitas yoga dan pelatihan kesadaran yang jamak dilakukan untuk kesehatan mental.
Workshop Gerak Mulawali Institute | Foto: Amrita Dharma Darsanam
Setelah memahami dan mengenali bagian tubuh masing-masing individu dengan penuh kesadaran, Razan mengajak peserta untuk membangun relasi tubuh dengan bumi. Gerakan ini diawali dengan merebahkan tubuh di lantai dengan posisi terlentang. Kemudian ia mengibaratkan sebuah benda yang jatuh menimpa perut masing-masing dan membuat tubuh spontan terbangun. Kemudian menjatuhkan tubuh kembali ke lantai. Proses jatuhnya tubuh ke lantai dilakukan secara pasrah namun tetap dengan kesadaran penuh. Memasrahkan tubuh jatuh ke lantai sebagai bentuk laku untuk memberi kepercayaan tubuh ini kepada bumi. Dengan kata lain, melatih sensori tubuh untuk peka terhadap bumi sebagai pusat gravitasi dan juga sumber kehidupan pada makna yang lebih luas.
Membangun kesadaran tubuh dengan bumi juga menumbuhkan memori kita akan menyatunya kembali tubuh pada bumi pada masa yang akan tiba. Pada konteks tari dan pertunjukan, proses membangun relasi dengan bumi melalui gerakan sensorik ini juga melatih kesadaran spasial tubuh dalam memahami lingkungan sekitar melalui panca indra.
Memahat Tubuh
Bagaimana menjadi seorang koreografer sekaligus pragina? Pada sesi ini peserta dibebaskan mencari teman secara berpasangan. Masing-masing pasangan ada yang berperan sebagai pematung, sedangkan lawannya menjadi objek yang dipatung. Pematung bebas membentuk dan memahat tubuh pasangan sesuai dengan imajinasinya. Sesi ini diibaratkan sebagai proses seorang koreografer menuangkan gagasan kreatifnya melalui tubuh seorang pragina. Ide dan gagasan koreografer menciptakan olah tubuh hingga tercipta gerakan koreografi harus bisa ditangkap oleh sang pragina. Interaksi dan komunikasi yang intensif sangat diperlukan dalam proses transfer gagasan melalui olah dan gerak tubuh diantara keduanya.
Aktivitas ini juga bisa dimaknai dengan proses nyantrik yang menciptakan hubungan guru dan murid. Selama perjalanan nyantriknya, Razan menggagas ulang proses hubungan guru-murid ini melalui proses transfer pengetahuan yang konvensional. Ia merasa perlu melihat kembali metode pengajaran olah tubuh yang dilakukan oleh para maestro tari tradisi. Seperti umumnya proses nyantrik, aktifitas belajar memerlukan laku yang begitu ketat. Tak jarang seorang guru perlu “memahat tubuh” sang murid dengan proses yang cukup berat hingga “mengintervensi” tubuh sang penari demi menciptakan pendalaman karakter baik secara ragawi maupun tan-ragawi. Pada konteks tertentu pola transfer pengetahuan konvesional perlu dilihat kembali secara bijak.
Proses “Menjadi” : Melepas ke-akuan sembari menjadi diri sendiri
Ketika menjadi seniman panggung, seorang pragina dituntut untuk mendalami dan menjadi karakter di luar dirinya. Untuk mendalami kemampuan ini tentu tak mudah dilakukan oleh semua orang dan memerlukan proses berlatih yang begitu panjang. Bisa dibayangkan seorang yang kesehariannya berkarakter introvert tiba-tiba diberi mandat memerankan karakter ekstrovert. Di sesi workshop yang ketiga ini, Razan mengarahkan setiap peserta untuk memerankan masing-masing shio-nya. Kemudian secara bersamaan seluruh peserta diberi kesempatan memerankan karakter binatang shio-nya itu dengan berjalan dari ujung ke ujung ruang. Peserta diberi kebebasan mengekspresikan karakter binatang baik secara fisik maupun non-fisik.
Proses berlatih memerankan karakter binatang ini kemudian diulang dengan eksperimen mencampuradukan karakter binatang dengan karakter material bersifat keras dan lunak secara bergantian. Pada sesi selanjutnya seluruh karakter binatang yang sudah dipadupadankan dengan karakter lain itu dieksperimen lagi dengan karakter shio pasangan yang dipilih pada sesi sebelumnya. Bisa dibayangkan betapa serunya proses berlatih memerankan karakter yang jauh dengan keseharian, bahkan pengalaman tubuh yang dimiliki oleh masing-masing peserta.
Latihan ini memberikan pengalaman dan pemikiran tentang perlunya kita sebagai manusia pada konteks “aktifitas seniman panggung” untuk melepas sifat dan karakter kedirian yang melekat. Kemudian “berproses menjadi” yang lain di luar diri kita. “Proses menjadi” inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian peserta, karena untuk bertransisi menjadi karakter di luar dirinya tak semudah yang dibayangkan.
Beberapa diskusi yang terlontar, peserta berbagi pengalamannya tentang proses transisi ketika memasukkan karakter binatang ke dalam diri dan sebaliknya. Proses eksperimen menubuhnya dua karakter yang berbeda ini membutuhkan keliatan imanjinasi. Setiap individu memiliki interpretasi yang beragam ketika memvisualisasikan keragaman karakter itu. Kemudian diitranformasikan kedalam karakter dirinya.
Keragaman interpretasi ini kadang menimbukan pertanyaan validasi “sudah tepatkah saya menjalankan karakter ini?”. Pertanyaan ini cukup memancing rasa penasaran apalagi bagi individu yang tidak pernah mengalami aktivitas panggung sebelumnya. Namun, kebebasan interpretasi dalam menerjamahkan karakter itulah yang akan menciptakan karakter spesifik setiap individu. Sehingga, kita bisa menarik benang merah pada workshop sesi ini bahwa untuk menjadi pragina (seniman panggung) harus memiliki kemampuan untuk bisa melepaskan ke-akuan dan kedirian sembari tetap menjadi diri sendiri.
Studi Klub Pragina melalui workshop ini memberikan pengalaman yang menarik bagi peminat seni tari dan pertunjukan. Transfer pengetahuan dengan latar belakang yang beragam baik dari mentor maupun peserta memberikan perspektif yang cukup beragam dalam melihat kerja-kerja seni tari dan pertunjukan. Sehingga, mendorong ruang wacana dan praktik yang lebih kaya pada dunia seniman panggung ini. [T]