APA YANG AKAN Anda lakukan, ketika melihat seorang anak kecil sekitar umur 7 tahunan, berpostur kurus, pakaiannya lusuh, kumal dan memelas, datang menghampiri Anda dengan menyodorkan tangannya yang penuh daki sembari meminta belas kasihan?
Sebelum Anda jawab, saya kasih tahu, tulisan ini adalah pengalaman saya dengan seorang anak kecil yang terlihat kurang beruntung itu.
Anak kecil itu—yang seluruh tampilannya meyakinkan untuk disantuni (jika berperan menjadi anak malang di sinetron pasti tanpa proses casting terlebih dulu sebab malangnya otentik) dan terlihat jauh dari kasih sayang orangtua—datang menghampiri saya sembari menengadahkan tangannya dan berkata, “Kak, minta uangnya, Kak.” Sementara wajahnya penuh dengan keprihatinan.
Siapa yang tidak tersentuh hatinya jika dihadapkan dengan suasana sentimentil semacam itu? Dan tentu sudah dapat ditebak apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Ya, dengan ringan tangan saya mengeluarkan beberapa lembar uang untuk saya kasih ke dia (jumlahnya saya lupa). Tak hanya uang, saya juga memberinya sebungkus pentol cilok—yang satu butirpun belum saya nikmati.
Cilok itu pemberian seorang teman. “Lumayan, untuk mengganjal perut sampai di tempat tujuan,” pesannya. Tapi melihat anak itu, tubuhnya yang kurus, bibirnya yang kering dan gemetar ketika berbicara, membuat hati saya (yang baik ini) tak tega.
Saya berprasangka baik, barangkali memang ia lebih membutuhkan cilok itu dari pada saya; barangkali ia belum makan sedari pagi atau ia sedang menahan lapar berhari-hari. Maka, adegan heroik itu pun terjadi. Toh saya sempat makan sebelum berangkat, pikir saya waktu itu.
Tetapi, buru-buru saya sampaikan, jangan dulu Anda mengira saya dermawan, baik hati dan tidak sombong, jangan! Sekali lagi, jangan! Karena kejadian selanjutnya membuat seluruh upaya niat baik saya itu malah menjadi aib dan kesalahan.
Begini adegan selanjutnya.
***
Setelah anak kecil kumal itu mendapatkan uang dari saya, ia segera lari menghampiri kerumunan bapak-bapak di seberang jalan. Awalnya saya pikir anak itu akan melanjutkan “misi” meminta-mintanya. Tetapi, demi Tuhan, hati saya maktratap setelah saya tahu uang itu untuk apa.
Lihatlah. Kurang ajar. Demit alas kecil itu duduk bersila sambil menyantap cilok dengan bumbu kacang melimpah di depan papan judi dadu. Lailahaillallah, ternyata anak itu mengemis untuk judi bersama bapak-bapak kurang kerjaan itu. Dalam hati saya mengumpat sejadi-jadinya.
Miris. Saya tak tahu ia belajar judi dari mana. Tapi saya curiga, orang-orang tua brengsek itu yang mengajari dan bahkan menyuruhnya untuk mengemis.
Saya kecewa bukan main. Tetapi saya tak merasa dirugikan atau dibodohi, tidak sama sekali. Saya hanya menyesal karena dua alasan: Pertama, saya merasa kecewa dengan diri saya sendiri karena terintimidasi oleh penampilannya (saya kecolongan, bapak-ibu).
“Seorang yang seluruh tampilannya meyakinkan dan kepadanya aku tidak menaruh kecurigaan,” sabda Prie GS (alm), esais kondang itu dalam esai “Berkah Seorang Penipu“. Benar. Benar sekali. Karena “seluruh penampilannya meyakinkan” itu saya terkecoh.
Namun, dan ini alasan yang kedua, yang paling membuat saya menyesali kejadian itu adalah: saya merasa bahwa apa yang saya berikan kepadanya telah memberikan jalan untuk berjudi. Padahal, untuk anak seumurannya, seharusnya ia tak mengenal dunia iblis itu (setidaknya sampai ia berusia 17 tahun—eh).
Tetapi, semua itu sudah terjadi. Yang jelas, dari kejadian itu saya belajar. Seperti kata Al Ghazali, tokoh sufi dunia Tassawuf, berkata, “Karena amal tanpa dilandasi oleh ilmu akan ditolak dan akan menjadi perbuatan yang sia-sia tanpa mendapatkan pahala di sisi Allah.”
Entahlah, kejadian tersebut merupakan rejeki anak kecil itu atau malah musibah bagi saya.
Dan di negara ini, misalnya, atas kecurigaan saya, saat kemiskinan seolah dianggap aset, angka putus sekolah tinggi, dan ketimpangan sosial lainnya tumbuh subur, mungkin kejadian itu tak hanya menimpa saya. Barangkali di kota-kota lain, juga banyak hal serupa.
Di kota-kota besar, pemandangan anak-anak mengemis dan mengamen sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan, sekadar menyebut satu contoh, di lampu merah tol Cinere-Jagorawi (Cijago) Jalan Raya Bogor, Kelurahan Cisalak, Sukmajaya, sebagian besar dari anak-anak itu dieksploitasi dan disuruh untuk menadahkan tangan meminta sejumlah uang kepada para pemotor dan penumpang di atas angkutan umum perkotaan (angkot).
Sementara lainnya, tak sedikit bayi dan balita—yang digendong perempuan-perempuan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)—dicubit lengan atau kakinya supaya menangis kesakitan sehingga mendapat kasihan dari para pemotor dan penumpang di atas angkot.
Selain lampu merah Cijago, di Jalan Raya Cinere juga banyak diserbu PMKS. Pada Jumat 22 April 2022, menurut laporan Media Indonesia, di sana terjadi kasus eksploitasi anak berusia 7-12 tahun. Anak-anak itu dijadikan sebagai badut dan manusia silver.
Namun sayang, saat disisir oleh Satpol PP Kota setempat, manusia badut dan manusia silver tersebut telah lenyap dari jalanan.
***
Terlepas dari eksploitasi anak yang marak, bercermin pada kejadian yang menimpa saya, maka saya mendapat kesimpulan bahwa kebaikan tanpa pengetahuan adalah sebuah kesalahan.
Anak kecil yang “merampok” saya secara halus dan kemudian berjudi itu tidak salah—karena ia anak kecil. Anak kecil adalah peniru yang baik. Atau barangkali ia salah bukan hasil dari kejahatan, tapi karena cinta dan kasih sayang saya terhadapnya.
Akhirnya, saya teringat, sekali kali, sabda Prie GS, “Kebaikan tanpa ilmu ternyata bukan hanya tidak ada gunanya, tapi ia amat berbahaya. Kita bisa mencintai seseorang, sambil pelan-pelan membunuhnya tanpa menyadarinya.”[T]