Hari Jumat, 19 Januari 2023, saya diminta berbicara tentang Imlek dalam sebuah acara yang diinisiasi oleh RRI Singaraja dengan tajuk “Imlek di Singaraja dari waktu ke waktu”.
Selain saya, ada juga Wira Sanjaya (Chongsan) dan Eka Lanus yang diundang dalam acara itu. Mereka adalah warga Tionghoa Singaraja yang juga adalah pengurus TITD Lin Gwan Kiong dan Senghong Bio. Obrolan kami saat itu dimoderatori oleh Mbak Heny Botalia.
Penulis (paling kiri) saat menjadi pembicara di RRI Singaraja | Sumber : dokumen pribadi, Januari 2023
Di dalam tulisan ini, saya tertarik menguraikan pendapat bahwa Imlek adalah satu bentuk ekspresi kebudayaan warga Tionghoa Indonesia dan bahkan dunia meskipun disebut dengan nama yang berbeda. Sebagai satu bentuk ekspresi kebudayaan, Imlek telah identik dengan Cina. Dan memang itu adanya.
Di Nusantara saat itu, perayaan Imlek dibawa oleh pedagang-pedagang Cina. Mereka berdiaspora karena faktor ekonomi atau tekanan politik penguasa. Semakin tingginya gelombang migrasi itu disebabkan juga oleh alasan bahwa sejak awal abad masehi, Selat Malaka telah menarik perhatian pedagang-pedagang dari India maupun Cina. Selat Malaka dilirik sebagai alternatif menggantikan jalur sutra (silk road) yang popularitasnya mulai memudar sebagai dampak dari kurangnya rasa aman karena kekacauan politik dan faktor alam.
Hibridasi kebudayaan, atau secara normatif di bangku-bangku kuliah disebut “akulturasi” kebudayaan, telah menjadikan migran-migran Cina sebagai salah satu komunitas minor yang paling adaptif. Citra adaptif itu dimulai dari kelihaian sosial mereka memposisikan bargaining politik. Artinya, meskipun minoritas dari segi jumlah, tetapi untuk urusan perdagangan (baca : perekonomian) dalam hal penguasaan faktor-faktor produksi didominasi oleh orang-orang Cina. Hal ini menyebabkan posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat Nusantara cukup disegani.
Namun fenomena pribumiisasi pedagang Cina itu ke dalam struktur sosial masyarakat lokal tersendat setelah hadirnya kolonialisme Barat. Di Batavia (sebelumnya bernama Jayakarta di bawah Kesultanan Cirebon) misalnya, kongsi dagang Belanda, VOC sejak tahun 1619 telah menguasai wilayah itu di bawah Gubernur Jenderal J.P. Coen. Budak-budak didatangkan dari seantoro negeri. Mereka dipekerjakan sebagai pekerja bangunan, merabas hutan, pembantu rumah dan pengawas kebun. Agar tidak terjadi pembauran etnis, VOC menerapkan politik segregasi ras ; satu gagasan pemisahan pemukiman etnis satu dengan etnis lainnya. Mereka ditempatkan ke dalam enclave (pemukiman) yang bersifat homogen.
Etnis-entis Nusantara itu tidak diperkenankan berinteraksi menggunakan bahasa Belanda. Tidak hanya itu, mereka juga dilarang memakan makanan Barat dan berpakaian Barat seperti topi, jas dan sepatu. Alasannya, topi, jas dan sepatu hanya diperuntukkan bagi golongan Barat Kristen. Namun, aturan ini akhirnya diperuntukkan juga bagi golongan pribumi tetapi beragama Kristen. Sebagai gantinya, etnis-etnis Nusantara diwajibkan memakai pakaian khas daerahnya.
Gagasan segregasi ras ini selanjutnya diadopsi oleh Kolonial Belanda pasca Pax Neerlandica (penyatuan seluruh wilayah jajahan menjadi satu administrasi yang utuh). Setelah Perang Padri di Sumatera Barat (1830-1835) dan Perang Jawa (1825-1830), tampaknya kondisi politik di Hindia Belanda telah stabil. Budidaya tanaman dimulai. Tanaman-tanaman komersil endemik dari Amerika Latin dan Hindia Barat mulai dibudidayakan oleh petani Jawa dan segera menggantikan populisme rempah yang telah bertahan berabad-abad. Tanaman-tanaman itu khususnya dibudidayakan di Pulau Jawa dan dan sebagian Sumatera.
Masuknya tanaman komersil itu selain diinisiasi oleh culturstelsel era van den Bosch, didukung pula oleh dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (agrarische wet) tahun 1870 dan pemberlakuan Politik Pintu Terbuka. Akibatnya, muncul perkebunan-perkebunan lokal yang dimiliki oleh partikelir Eropa dan Cina, di mana pekerjanya adalah petani lokal yang dipaksa menanami tanah mereka dengan tanaman komersil seperti tebu, teh dan kopi.
Memasuki awal abad ke-20, politik ras VOC yang diadopsi oleh pemerintah kolonial Belanda telah menghasilkan tiga kategori sosial masyarakat. Kategori pertama adalah pribumi atau bumi putera. Kategori kedua adalah timur asing. Mereka terdiri dari orang-orang Cina, Arab, Jepang dan India. Dan ketiga adalah kategori Eropa yang terdiri dari bangsa-bangsa eropa. Politik ras ini didasarkan pada identifikasi fisik. Sebagaimana yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya “Pulau Buru” bahwa “tidak peduli seberapa pintar dirimu, jika warna kulitmu cokelat, rambutmu hitam dan memperlihatkan ciri-ciri pribumi, jangan pernah berharap untuk menjadi besar”.
Politik ras di masa kolonialisme Belanda ini sekaligus menandai tersendatnya upaya pribumiisasi orang-orang Cina yang telah dilakukan berabad-abad lamanya. Seketika, orang-orang Cina menjadi “warga lain” yang dibedakan dengan pribumi kebanyakan. Struktur sosial kolonial tidak hanya menghasilkan jarak sosial yang tegas antarras dan etnis, tetapi bagaimana akses pendidikan dinikmati juga menjadi perhatian. Orang-orang Cina dan Timur Asing lainnya bersekolah di warga kelas 2 yakni CIS, Chinese Inlandsche school, sedangkan pribumi sebagai warga kelas 3 bersekolah di Volk School atau sekolah rakyat.
Kuatnya nuansa ras dan etnis akibat politik diskriminatif kolonial menghasilkan satu pandangan negatif yang menginspirasi priyayi Jawa yang terpelajar dalam memperagakan kebencian ras melalui pendirian organisasi modern di era pergerakan nasional. Sarekat Islam yang didirikan pertama kali tahun 1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam di Bogor oleh Raden Tirto Adi Suryo memiliki visi menandingi dominasi ekonomi pedagang Cina dalam perdagangan batik kala itu. Spirit anti Cina SDI Tirto dilanjutkan oleh Haji Samanhudi di Solo yang mendirikan organisasi serupa. Puncaknya ketika SI dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto, pan Islamisme yang dibalut sentimen anti Cina dan Belanda menjadikan organisasi itu begitu populer, bahkan mengalahkan organisasi pendahulunya seperti Budi Utomo dan Indische Partij.
Jarak sosial yang dipancangkan sejak politik rasial kolonial Belanda terus berlanjut. Masalah-masalah rasial tidak pernah selesai dan selalu menjadi perdebatan yang tidak kunjung usai. Satu tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1946, Soekarno mengelurkan PP No.2/OEM-1946 yang salah satunya menyoal hari raya orang Tionghoa, Ada empat perayaan yang masuk dalam penetapan tersebut, yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu pada tanggal 18 bulan 2 Imlek, Ceng Beng, dan hari lahirnya Khonghucu pada tanggal 27 bulan 2 Imlek.
Pada masa itu, orang-orang Tionghoa berekspresi secara bebas, seperti berbahasa Mandarin, bahasa lokal, memeluk agama Konghucu, punya surat kabar berbahasa Mandarin, menyanyikan lagu Mandarin, dan memiliki nama Cina. Sekolah, toko, restoran, dan bengkel bisa memasang plang bertulisan Mandarin. Di era demokrasi Liberal 1955, masalah kewarganegaraan orang-orang Cina dibawa ke dalam KAA. Saat itu Perdana Menteri Indonesia adalah Ali Sostro Amijoyo. Pengagendaan tema ini membahas tentang pemilihan kewarganegaraan.
Orang-orang Cina di Indonesia diberikan pilihan kewarganegaraan, apakah memilih menjadi warga negara Cina atau warga negara Indonesia. Jika memilih warga negara Cina, berarti hak dan kewajiban warga negaranya terdahulu akan hilang, dan jika memilih kewarganegaraan Indonesia, mereka harus bersedia menyertakan identitas keindonesiaan.
Soekarno saat berpidato pada KAA di Bandung 1955 | Sumber : Dunia Tempo.co
Sebagian besar memilih kewarganegaraan Indonesia, sebagian yang lain memilih pulang kampung halaman. Sepuluh tahun setelah Dasa Sila Bandung dihasilkan di dalam Konferensi Asia Afrika, yakni pada tahun 1965, pecah Tragedi 30 September. Orde Baru dengan kudeta merangkaknya memenangkan konstelasi politik saat itu dan menempatkan Soeharto sebagai presiden. Pengukuhan Soeharto sebagai presiden baru dan tergulingnya Soekarno melanjutkan mimpi buruk warga Tionghoa di Indonesia.
Orde Baru melalui undang-undang Inpres No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina pada 6 Desember 1967. Instruksi tersebut menetapkan seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Karena itu, perayaan Imlek saat masa Soeharto umumnya tidak dilakukan, atau berlangsung tersembunyi.
Menurut sejarawan Petrik Matanasi dalam bukunya berjudul “Negeri Para Jenderal” menyebutkan bahwa pelarangan itu lebih disebabkan oleh latar belakang ideologis daripada kebudayaan. Warna merah yang identik pada perayaan Imlek diasosiasi sebagai PKI. Tentu saja ini bisa menggagalkan indoktrinasi “bahaya laten komunis” yang digalakkan Orde Baru saat itu.
Di sisi lain, beban ideologis yang harus ditanggung warga Tionghoa melalui undang undang itu yang melarang Imlek adalah karena bagi Orde Baru, komunisme Indonesia lebih dekat dengan komunisme Cina dibanding Rusia, secara ideologis, komunisme Indonesia memiliki karakter ideologis yang lebih dekat dengan basis petani ketimbang buruh sebagaimana komunisme Rusia.
Soeharto saat pelantikan Presiden menggantikan Soekarno | Sumber : Kompas.Com
Meskipun pada tataran sosial, warga Tionghoa yang minoritas ditekan secara kebudayaan, namun pada tataran ekonomi, mereka justru mendapatkan keistimewaan berupa pemberian akses ekonomi. Dengan cepat mereka menjelma menjadi konglomerat baru dan mitra bisnis yang menguntungkan Keluarga Cendana. Dengan demikian, Orde Baru telah melakukan standar ganda dalam memposisikan warga Tionghoa. Di satu sisi menekan eksresi kebudayaannya, namun di sisi lain memberikan previlege ekonomi kepada beberapa konglomerat Tionghoa.
Pada tahun 1998, seiring dengan kejatuhan Orde Baru, Indonesia bergejolak. Pada peristiwa amuk massa di tahun itu, warga Tionghoa menjadi salah satu sasaran rasial. Wanita diperkosa, anak-anak dibunuh dan toko-toko milik warga keturunan Tionghoa dibakar oleh pendemo yang juga menginginkan Soeharto lengser. Hanya warga Tionghoa yang memiliki kedekatan emosional yang tinggi dengan tetangganya yang muslim atau lokal saja yang berhasil lolos dari tindak kekerasan. Sisanya yang lain, terutama konglomerat Tionghoa Indonesia memilih pergi ke luar negeri dan bersembunyi di Singapura.
Pasca lengsernya Soeharto ke prabon, era reformasi dimulai, dan sejak tahun 2000-an, upaya-upaya mencarikan jarak sosial antara warga Tionghoa dengan warga lainnya dimulai. Gusdur memelopori agenda itu dengan mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 pada 17 Januari 2000. Sejak dicabutnya Inpres tersebut, masyarakat Tionghoa mendapatkan kebebasan lagi untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan upacara-upacara agama seperti imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya secara terbuka. Pada 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Hari libur fakultatif adalah hari libur yang tidak ditentukan pemerintah pusat secara langsung, melainkan oleh pemerintah daerah setempat atau instansi masing-masing.
Gusdur berpose saat Imlek 2001 di Jakarta | Sumber : NU online.com
Hingga saat ini, warisan dari tokoh reformasi untuk mencairkan jarak sosial antara Cina dengan pribumi masih terus dilakukan. Namun agaknya upaya itu akan selalu menemui hambatan sepanjang ingatan kolektif tentang ketionghoaan sebagai komunitas yang berbeda dengan pribumi tetap dipelihara. Ada kesengajaan dari pihak-pihak berkepentingan untuk mengawetkan ciri eksklusif, curang, kikir dan aseng pada orang Cina. Tentu saja ciri itu tidak sepenuhnya benar, tetapi juga tidak seluruhnya salah. Beberapa riset pada masyarakat Tionghoa di perdesaan Indonesia memperlihatkan hibridasi yang kuat antara orang Cina yang minoritas dengan dengan pribumi yang mayoritas.
Pada konteks ini, stereotipe pada orang Cina di atas menemui kegagalan. Namun gambaran yang agak berbeda justru ditemukan pada penelitian tentang orang Cina di perkotaan. Mereka justru memperlihatkan adanya kecenderungan stereotipe di atas.[T]
BACA artikel lain dari penulis Putu Hendra Mas Martayana