Tradisi menulis di universitas masih terbelenggu oleh dominasi besar teks ilmiah. Ragam tulisan personal, yang subjektif, dan emosional nyaris tidak dikenal. Bacaan mahasiswa seperti buku ajar, diktat, skripsi, tesis, laporan penelitian, atau jurnal, menjadi satu-satunya ekosistem teks. Tulisan-tulisan emosional, interpretatife, puitis, kaya metafora seperti surat pendek Einstein (1938), dan imajinatif yang sering “liar” hampir jadi barang haram.
Namun demikian, di samping kompetisi dan klinik menulis ilmiah yang berupa makalah atau laporan penelitian dengan turunannya berupa artikel ilmiah untuk publikasi jurnal; masih sering muncul lomba menulis esai (artikel populer dan personal). Biasanya jumlah peserta mencapai ratusan. Kampus-kampus melalui organisasi mahasiswa sering menyelenggarakan kompetisi esai tingkat nasional.
Pengalaman sebagai juri lomba esai mahasiswa, menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Panitia penyelenggara tidak memahami esensi, genre, dan format esai. Bagi mereka esai adalah karya tulis berupa artikel ilmiah yang strukturnya baku, beku, dan kaku, sebagaimana artikel-artikel di jurnal. Dalam brosur yang salah konsep itu atau pengumuman lomba tertera aturan struktur karya tulis seperti judul, abstrak (Indonesia, Inggris), latar belakang, landasan teori, metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran, dan daftar pustaka yang diacu atau digunakan.
Padahal pada praktiknya yang benar, struktur ini tidak dikenal. Lihat saja program NHK “At Home With Venetia in Kyoto”. Venitia adalah wanita Inggris yang jatuh cinta mati kepada budaya Jepang, menikah dengan pria setempat, bermukim di rumah tradisional yang menyatu alam Desa Ohara. Dalam program ini, Venetia dihadirkan dalam salah satu segmen “esai”. Pemirsa menikmati keindahan esainya yang dinarasikan oleh Venetia sendiri, misalnya ketika ia berada di kebun dan menulis tentang sekuntum bunga yang mekar indah.
Panitia pun mendapat kiriman karya tulis “esai” peserta yang sama sekali bukan esai tetapi karya ilmiah jurnal. Persoalan kedua yang dihadapi oleh lomba esai mahasiswa adalah menyangkut juri. Juri dipilih atau diundang adalah para dosen yang sudah barang tentu pada umumnya mereka terlalu terbiasa dengan ragam tulisan ilmiah jurnal. Sementara itu, para dosen juri lomba bukanlah penulis esai atau pasti juga sangat jarang membaca esai namun sudah terbiasa hidup dan berkembang tumbuh dalam tradisi jurnal. Keadaan ini tidak menghalangi mereka menerima undangan untuk menjadi juri. Maka lomba esai tinggal nama. Keadaan ini menunjukkan terjadinya salah konsep mengenai esai.
Para esais adalah penulis yang kesehariannya menulis dan mereka bukanlah dosen pengajar peneliti atau pengabdi. Namun memang ada sedikit saja dosen yang sangat hebat menulis esai. Tulisan-tulisan dosen esesis ini memang berbeda jauh dengan tulisan yang mereka susun untuk seminar atau jurnal. Bagi dosen-esais ini, sangat jauh beda roh tulisan artikel jurnal dengan esai itu sendiri. Dirinya dapat membedakannya dengan jelas.
Karena yang menjadi juri lomba esai dengan karya tulis yang dinilai adalah artikel ilmiah jurnal yang kaku dan formal atau telah dibakukan dalam suatu format struktur, adalah para dosen; maka yang mereka nilai sama sekali bukan esai tetapi jurnal ilmiah. Keadaan ini lazim terjadi. Lomba esai tetapi sejatinya lomba artikel jurnal ilmiah dan formal.
Esai adalah karangan bebas, personal dari segi struktur, gaya bahasa, sudut pandang. Esai tidak memiliki patokan apa-apa atau syarat dan ketentuan. Esai adalah kemerdekaan berekspresi dan bernalar mengenai apa saja (lihat esai-esai Vanetia). Aspek personalitas atau kebebasan adalah hal yang sangat mendasar dalam esai. Tidak ada kriteria baku untuk menilai sebuah esai. Esai yang bagus akan menarik setiap pembaca ke dalam ruang imajinasi, nalar, narasi, dan emosional penulisnya.
Yang terdepan dalam esai adalah ekspresi atau narasi yang kuat, tajam, dan menarik atau bahkan puitis. Informasi dalam esai atau hal apa yang ditulis atau hendak diungkap oleh si penulis; tidak terlalu penting. Yang terdepan adalah daya tarik tulisan sehingga pembaca masuk jauh ke dalam ruang-ruang tulisan yang sedang dibacanya. Karena kuatnya daya tarik, maka esai ada di antara puisi dan novel. Walaupun esai ditolah setengahnya sebagai karya sastra namun esai adalah karya sastra yang tidak hanya ditulis oleh sastrawan. Esai tidak menjual informasi kognitif tetapi esai adalah teks cahaya yang menerangi pembaca. Menulis esai adalah menyalakan lilin.
Data atau fakta dalam esai tidak harus tersurat tetapi hanya sekadar pijakan atau wawasan penulis yang memayunginya. Data, fakta, atau fenomena itu oleh esais diperlakukan sesuai dengan pandangan, imajinasi, atau paradigma yang dianutnya. Di luar esai data mendikte penulis. Dalam esai data tunduk pada penulis. Jika dalam karya ilmiah, teori yang dijadikan paradigma pemecahan masalah sering berubah sesuai dengan persoalan yang dipilih; maka dalam esai, seorang esais menggunakan paradigma atau teori sebagai ideologi kepenulisan yang konsisten. Hal ini memberi ciri personal seorang penulis esai sebagaimana dikenali secara ajeg.
Berpijak pada pengertian esai yang sudah sangat jelas; bisa dikatakan bertolak belakang dengan tradisi teks ilmiah formal di kampus; mahasiswa memang belum mengenal ekosistem esai. Karena itulah mereka gagal menulis esai. Sementara itu, esai jarang sekali dikenalkan kepada mahasiswa. Karena itu, jika terjadi lomba esai maka dapat dimaklumi jika karya tulis yang sampai di meja dewan juri adalah artikel ilmiah formal baku untuk jurnal. Juri yang setali tiga uang dengan panitia dan peserta; karangan yang masuk dibaca dan dinilai lalu diumumkan sebagai karya esai. Padahal yang terjadi adalah karya ilmiah artikel jurnal.
Energi menulis mahasiswa memang sangat mengagumkan. Setiap ada undangan lomba, mereka tidak peduli dengan esensi teks atau genre tulisan yang dilombakan; pun ragam tulisan artikel ilimah yang mereka tahu dijadikan format untuk menampung gagasan. Di dalam karangan-karangan ilmiah mereka, para mahasiswa sangat gemar dan getol mengutip data, fakta, fenomena, kebijakan, dll. yang sedang hangat dan mengambang dalam pemahaman umum masyarakat.
Tapi sayang data, fakta, fenomena, hukum dan undang-undang, dan kebijakan itu hanya mampu mereka deskripsikan dalam tulisan artikel mereka. Karangan ilmiah pun dipenuhi dengan kutipan mutakhir dengan deskripsi seadanya. Tampak nyata sikap epigon mereka yang sangat fasih mengutip. Mereka sepertinya sangat puas melakukannya. Pun artikel ini penuh dengan kutipan-kutipan yang sangat kuat. Memang ada kalanya ditemukan deskripsi namun terasa sangat minim, dangkal, dan normatif. Berhadapan dengan perlakukan data, fakta, kebijakan, dan fenomena seperti itu, mahasiswa, baru sampai pada tahap melakukan deskripsi-deskripsi formal.
Mereka gagal melakukan pembahasan fakta, data, fenomena, atau kebijakan yang mereka kutip. Mereka tidak sanggup melakukan dialog. Mereka tidak pernah sampai kepada kontemplasi atas data, fakta, fenomena, dan berbagai kebijakan sosial. Di atas semua kekagalan ini, mahasiswa menangkup kegagalan terbesarnya, yakni dalam berimajinasi dan berinterpretasi.
Karena itulah, segala fakta, data, fenomena, kebijakan telanjur diterima sebagai kebenaran dan ini hitam putih. Mereka gagal mengembangkan paradigma filosofis yang penuh skeptisisme untuk mempertanyakan ulang “kebenaran” dan mereposisikan apapun itu data, fakta, fenomena, dan kebijakan pada garis ulang alik. [T]
[][][]
BACA esai-esai lain dari penulis I WAYAN ARTIKA