Di samping karya, proses penciptaannya juga tidak kalah menarik. Kajian-kajian proses kreatif mengungkap bahwa suatu karya lahir dengan ceritanya tersendiri, seperti dalam penelitian Hasanah dan Siswanto (2013). Pengalaman hidup pada masa lalu memengaruhi proses kreatif sastrawan. Demikian pula keluarga, sekolah, akses bahan bacaan, pergaulan sehari-hari, dan lain sebagainya. Mengarang cerita selalu berkaitan dengan hal-hal lain, seperti tujuan yang ingin dicapai oleh pengarangnya yang pada umumnya tidak disadari. Cerita pun selalu memiliki keniscayaan mimesis (Abrams, 1953).
Empat pendekatan sastra yang dikemukakan oleh Abrams (1953) dapat digunakan untuk memahami proses penciptaan karya. Aksioma pendekatan ekspresif menyatakan bahwa karya sastra adalah ekspresi atau ungkapan dimensi-dimensi emosional, psikologi, pikiran (pandangan, perasaan, kekhawatiran, harapan, obsesi, romantisme, kenangan, trauma, pengalaman-pengalaman, kerinduan, kebencian, rasa kagum, protes, kontemplasi, pujian kepada Tuhan, nostalgia atau ziarah ke masa lalu, religositas, empati dan simpati, dan lain-lain) dari seorang pengarang.
Pendekatan ini bersifat biografis. Karya adalah representasi biografis pengarang. Karya adalah semacam riwayat hidup (Wellek dan Warren, 1989:75; Ratna, 2004:56). Namun demikian, hubungan biografis antara karya dan pengarang sering tidak jelas. Seakan ada penolakan terjadinya hubungan itu dari diri pengarang sendiri. Seolah dimensi-dimensi biografis akan mengurangi nilai kesusastraan pada sebuah novel, roman, cerpen, atau antologi puisi. Lantas, para ahli menrumuskan teri-teori teks untuk menjelaskan betapa tidak perlunya mengungkit hubungan sastra dan semesta yang dikenal dengan pendekatan objektif. Menurut Teeuw (1984:32) pendekatan objektif yaitu pendekatan yang memberikan perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom. Hal ini senada dengan penjelasan Atmazaki (1990: 17) yang dikutip sebagai berikut.
Madzhab formalis mengatakan, sastra bukanlah suatu kepercayaan, ilmu jiwa, atau ilmu sosial. Akan tetapi ia merupakan pemakaian bahasa yang mempunyai peraturan khusus, baik dari segi struktur maupun lainnya. Karya sastra bukanlah alat untuk menyampaikan ide-ide, refleksi kenyataan yang terdapat dalam masyarakat, atau jelmaan dari nilai-nilai kebenaran yang sukar untuk 27 dipahami. Tetapi karya sastra adalah kenyataan itu sendiri, dan keliru jika melihatnya sebagai ekspresi penulisnya.
Aksioma pendekatan mimesis menyatakan bahwa karya sastra adalah tiruan kehidupan. Dalam hal ini sastra dipandang selalu memiliki hubungan dengan sejarah, kebudayaan, tradisi, ekonomi, politik, nilai-nilai, perkembangan teknologi, industri, perubahan sosial, revolusi, filsafat, ilmu pengetahuan, lembaga-lembaga sosial, arsitektur, kesenian, ritus, lingkungan, perbudakan, dan lain lain. Apapun yang diceritakan di dalam karya selalu berkaitan dengan realitas. Namun demikian, sastra bersikukuh untuk tidak menyamakan diri dengan realitas itu sendiri. Bahwa sastra bukan berita. Bahwa sastra bukan buku filsafat. Tapi ada pandangan yang sangat menarik, seperti dikutip sebagai berikut.
Keduanya meski terkesan sebagai dua entitas yang berbeda, nyatanya keduanya mempunyai beragam persimpangan untuk bertaut sebagai sebuah wajah yang sama. Keduanya mempunyai tema-tema permasalahan yang sama untuk dibicarakan. Semisal masalah nasib, kepercayaan, alam, manusia, ataupun aktivitas dan peristiwa sosial. (Saputro, 2021)
Kajian-kajian postruktural pada ahirnya menyatakan bahwa tidak ada lagi batas yang jelas antara fakta dan fiksi. “Berhadapan dengan wilayah-wilayah sensitif seperti inilah, novel yang sering dikategorikan sebagai karya fiksi, tidak dianggap sekedar fiksi.” (Nurhadi). Buku novel adalah juga karya antropologi sehingga berkembang pesat kajian antropologi sastra, seperti satu contoh penelitian Suryani dan Rahmawati (2022).
Masih ada dua pendekatan yakni objektif dan pragmatik. Aksioma pendekatan objektif menegaskan bahwa karya sastra itu suatu objek yang terasing dan tertutup, baik dari diri pengarang dan semesta. Karya sastra memiliki otonominya sendiri. Dengan adanya rumusan aksioma tersebut, pendekatan objektif bertentangan dengan pendekatan mimesis dan ekspresif, demikian pula dengan pendekatan pragmatik.
Aksioma pendekatan pragmatik menyatakan bahwa karya sastra memiliki manfaat bagi masyarakat, negara, manusia, sekelompok suku, anggota partai politik, aliran kepercayaan, penganut agama, dll. Aksioma ini adalah roh realisme sosialis yang berkembang dalam kehidupan partai. Sastra digunakan sebagai organ ideologi. PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Lekra menggunakan puisi, cerpen, dan drama untuk mencapai tujuan revolusi Indonesia: perjuangan kelas, sebagaimana diteliti oleh Widariyanti (2022). Pendekatan ini telah melahirkan berbagai fungsi praktis sastra, seperti pendidikan, penyuluhan, penyebaran agama, pemujaan kepada raja-raja dalam tradisi sastra Kawi, pembentukan iman ahlak karakter, dan lain sebagaimnya.
Inti empat pendekatan Abrams adalah posisi penting seorang pengarang. Pengarang adalah episentrum. Seorang ahli sastra mengatakan bahwa pengarang adalah ibu dan ayahnya adalah semesta. Penulis adalah subjek yang melahirkan karya […] pengarang berperan sebagai ibu yang melahirkan (Widyastuti, 2012). Namun ketika karya sudah berada di masyarakat berupa buku bacaan atau digital, peran pengarang direduksi. Hal ini dirumuskan dengan pernyataan bahwa pengarang sudah mati atau matinya pengarang (The Death of Author); pertama kali dilontarkan oleh Roland Barthes pada 1968; kemudian menjadi sangat populer di kalangan penulis khususnya, dan juga di kalangan para pemerhati kebudayaan pada umumnya (Rofiqi 2017).
Mengapa pengarang enggan mengungkapkan proses kreatifnya? Dalam berbagai kesempatan perjumpaan pengarang dan pembaca, sosoknya selalu dikagumi. Para peserta selalu ingin tahu lebih banyak mengenai diri pengarang. Namun pengarang seperti berat hati untuk menyampaikan hubungan-hubungan biografis dirinya dengan karya-karyanya. Karena itu “dapur” pengarang tetap merupakan teka-teki. Padahal, pengetahuan soal proses kreatif pengarang sangat bermanfaat bagi kemajuan dunia sastra. “Dapur” sastra selalu menarik untuk diungkap.
Salah satu manfaat mempelajari proses kreatif adalah mengungkap bagaimana seseorang menciptakan suatu karya. Di samping itu, pembaca mudah memahami maksud dan tujuan penulis di dalam sebuah karyanya (dalam “8 Proses Kreatif Menulis yang Harus Diketahui”, https://penerbitdeepublish.com). Kajian proses kreatif membantu pembaca dalam memahami makna karya, sebagaimana kajian terhadap proses kreatif penyair Nusa Tenggara Timur, John Dami Mukese (Sehandi dan Bala, 2021). Hal itu merupakan pengetahuan bagi calon sastrawan. Pengetahuan ini dapat dijadikan model atau panutan dalam berkarya.
Pengalaman nyata seorang pengarang bisa dijadikan motivasi bagi calon pengarang. Hal inilah yang menjadi pertimbangan saya menyajikan uraian pada awal buku antologi cerpen ini. Menulis cerpen menyatu dengan kegiatan membaca sastra dan bacaan secara umum. Memang benar aksioma yang mengatakan bahwa, seorang penulis atau pengarang harus membaca banyak. Hal ini saya alami alami. Maka satu hal yang ingin ditegaskan adalah, menulis membutuhkan materi atau isi dan hal ini disediakan oleh para pengarang dalam buku-buku mereka.
Ketika memulai kegiatan menulis, pada waktu SMP, saya hanya menulis. Di sini ada perasaan lain ketimbang berbahasa lisan. Hal ini mirip dengan pengalaman batin seorang penulis yang dikuti di bawah ini.
Sama halnya diriku sendiri, yang juga termasuk golongan kedua. Kurasa, setelah dua tahun saya belajar menulis di sini, bukannya membuatku berhenti, malah semakin ingin, dan ingin menulis lagi. Istilah kekiniannya, bikin nagih! (Kompasiana, 2017)
Tulisan dapat dibaca dan dibaca. Perjuangan untuk mengabadikan yang hanya beberapa kalimat sederhana di atas kertas terasa aneh (atau nikmat) setelah dibaca kembali. Saya merasakan kepuasan. Pengalaman ini instinktif. Tidak dipelajari di sekolah. Demikian pula ketika ada pelajaran mengarang di SD dengan judul “Berburu Tikus”; saya tidak sampai memasuki sensasi dunia tulisan. Pada konteks ini saya ingin menegaskan bahwa, pelajaran bahasa Indonesia atau pelajaran bahasa asing lainnya, gagal.
Sensasi dunia tulisan ini tetap ingin saya buru tanpa alasan yang jelas sehingga saya selalu menulis. Ruang-ruang dunia menulis itu memang ada dan terbuka, seperti buku catatan harian, tulisan-tulisan pribadi dalam satu buku yang bertumbuh. Dunia buku harian adalah dunia yang bebas. Tidak ada aturan apapun dalam berbahasa dan menulis. Tidak dikenal teori mengarang. Tidak ada persyaratan judul karangan. Pokoknya: menulis! Titik!
Kebutuhan menikmati ekstase atau semacam masturbasi sensasi dunia tulisan itu, yang kontras dengan dominasi hegemonisme dunia lisan masa kanak-kanak saya di Desa Batungsel; kelak memberi warna seting desa pada cerpen-cerpen saya di dalam buku ini; itulah rupanya yang menyebabkan saya tetap menulis dan semakin terbiasa. Pun saya memasuki dunia baru yang sejatinya: kebudayaan tulis dan dengan paradigma literasi, saya sudah literat sejak usia SMP kelas I; fondasinya dibangun dari cita-cita anak petani untuk bisa membaca buku yang baru dicapai ketika awal kelas IV. Saya membaca sepanjang hari dan menulis di buku catatan, menulis ulang cerita anak-anak dari Koran Bali Post, “Niko dan Mimpinya” dan menganggap bahwa ini adalah karya saya sendiri.
Ketika itu saya telah melakukan plagiat. Ketika bersekolah di SD 1 Batungsel, sensasi dunia tulis telah menyentuh diri saya dengan sangat hebat ketika saya menemukan burung-burung pemakan padi dan ular sawah di sebuah buku berwarna berjudul Burung dan Ular. Mata membelalak dan hati terbuka. Kelak, betapa mengejutkan bagi saya ketika secara tidak sengaja mungkin, saya bertemu dengan hal-hal yang saya kenal pada kehidupan sehari-hari di dalam suatu buku; seperti informasi seorang wartawan dan penulis buku dan asal desanya, dari Desa Pujungan (desa yang saya kenal karena desa tetangga), Putu Setia, dalam sampul belakang buku Menggugat Bali. Sensasi yang lebih hebat ditemukan saat membaca bab-bab dalam buku ini terutama dua bab awal yang berbicara soal seorang tokoh dari Pupuan, desa yang menjadi ibu kota Kecamatan Pupuan, di Kabupaten Tabanan (Gurun Teko) dan Wayan Nesa Wiswanda yang sudah saya kenal dari cerita malam-malam orang tua saya, dengan sebutan (Guru Nesa), seorang pembaharu Hindu dari Desa Pujungan.
Sensasi dunia tulis sudah tidak penting bagi saya pada Menggugat Bali. Sebagai pembaca, saya memasuki fase baru: petualangan dalam rimba pengetahuan: pustaka. Buah membaca buku (membaca apa saja) adalah memanen pengetahuan. Fase selanjutnya adalah memberi respons atau tanggapan. Di sini terjadi dialog antara pembaca (saya) dan penulis. Maka pembaca berhenti membaca karena memeberi tanggapan secara tertulis. Hanya ini yang dapat dilakukan karena mereka tidak bersemuka. Ketidakhadiran penulis menjadi satu alasan mekanik lahirnya penulis baru lewat respons yang harus diberi kepada tulisan atau buku yang sedang atau sudah tamat dibaca.
Saya ingin menegaskan satu poin berikutnya; penulis itu lahir dari rangsangan tulisan yang dibaca dan respons yang hendak diberi kepada tulisan yang dibaca. Maka dalam hal ini rupanya teori behaviorisme relevan; mengingat behaviorisme menekankan pada perubahan tingkah laku yang didasari oleh prinsip stimulus dan respon (Asfar, dkk., 2019). Yang mana dalam hal ini saya telah mengalami perubahan tingkah laku dari dunia lisan ke dunia membaca dan menulis. Maka jika bersikeras hendak menyelenggarakan pelajaran mengarang, maka teori ini dapat digunakan. Betapa besar kesalahan yang terjadi ketika pelajaran mengarang dimulai dengan menjelaskan dan memahami sederet persyaratan karangan yang baik.
Pada proses ketika saya memasuki dunia tulis, sebagai antitesis dunia lisan di Desa Batungsel dan di keluarga; saya memulai dengan ketidaksengajaan yang instinktif ketika saya terbius oleh masturbasi sensasi dunia tulis. Fase kedua adalah merambah dunia pengetahuan yang tidak dapat ditemukan dalam dunia lisan, ketika buku memberi banyak pengetahuan baru; menuju fase ketiga adalah ketika ingin merespons tulisan. Pada fase inilah tulisan yang sebenarnya lahir.
Sensasi dunia tulis, tidak mudah dimengerti, kecuali sebatas kontras dengan dunia lisan, yang saya alami ketika SD; saat membaca buku tentang Nabi Ibrahim. Puluhan tahun kelak saya baru mengerti buku itu, yang berkaitan dengan perayaan Idul Adha. Kecuali cerita Nabi Ibrahim, saya menikmati sensasi dunia bacaan pada cerita-cerita di dalam Majalah anak-anak yang sangat legendaris Si Kuntjung, kemudian Bobo (saya masih membaca sampai 1998-2002, ketika menjadi mahasiswa S2 di UGM, Yogyakarta). Berkenalan pula dengan sensasi dunia novel anak-anak: Akhirnya Insjaf Juga. Awalnya saya tertarik dengan gambar sampulnya ketika ibu guru Dewa Sukarni (guru yang saya benci karena pernah memukul saya sampai terkencing, karena saya dinilai memilih jalan yang salah dalam menyelesaikan operasi perkalian 9×7) membacanya. Ketika itu tebersit di hati, saya ingin juga membaca buku itu agar bacaan saya menyamai guru. Tentang pengalaman buruk ini dan untuk mengabadikan kebencian itu, saya telah menulis satu cerpen yang juga berada di dalam antologi ini.
Sensasi dunia tulis, perambahan pada dunia pengetahuan dalam buku, dan respons pembaca; mengenalkan saya dengan sejumlah buku yang paling sering saya ceritakan dan dikutip. Hampir semua penulis memiliki bacaan pavorit. Saya mengenal berbagai aspek budaya Bali dari Menggugat Bali yang merupakan jurnalisme kritis. Menggugat Bali mengantarkan saya masuk ke suatu desa tradisional atau Bali Aga di Trunyan, di tepi Danau Batur, dalam Kaldera Gunung Batur Purba; melalui disertasi yang terbit jadi buku Kebudayaan Petani Desa Trunyan Bali. Lewat buku ini terasa seperti saya membaca Desa Batungsel, desa saya, karena sangat banyak persamannya. Buku lainnya masih soal Bali adalah Revolusi di Nusa Damai, catatan perjalanan K’tut Tantri yang selama 15 tahun menetap di Bali.
Buku yang memberi saya pengetahuan teknik menulis thick description adalah karya-karya Clifford Gerrtz, sepeti Agama dan Kebudayaan, Interpretasi Kebudayaan, Negara Teater, dan Agama Jawa. Terlalu banyak buku bagus yang telah ditulis untuk seluruh pembaca di dunia, seperti The Giving Tree, Tetralogi Buru, cerita-cerita kemilau emas dalam buku Doa Sang Katak 1, 2, cerita-cerita Tantri Kamandaka atau Canda Pinggala, dan masih terentang sederetan panjang yang tidak berujung; dan saya beruntung ada di dalamnya dan walaupun tidak akan pernah sampai di ujung semesta cerita terbaik umat manusia. Saya telah membaca hanya jumlah yang tidak terlalu banyak. Buku-buku itu menjadi fase hidup dari dunia lisan ke dunia tulis saya. Buku dan sejatinya adalah pengetahuan dalam arti yang tidak terbatas; tidak hanya memperkaya nalar dan jiwa tetapi juga telah mengantarkan saya kepada kehidupan dengan visi modern.
Modernisasi dan rasionalisme atau intelektualisme sering dipahami sebagai era dan kemasyarakatan atau massal. Tetapi saya menerima konsep itu dalam diri yang salah satu alasan terbesarnya adalah ketika masuk ke dalam fase literasi, istilah yang baru saya kenal 40 tahun kemudian sejak saya membaca ekstensif dan menulis sebagai rutinitas sehari-hari, di sekolah atau di kamar-kamar tempat saya mondok di dua kota di Bali, Tabanan dan Singaraja. Membaca dan hanya menulis tanpa untuk apa-apa, diterbitkan misalnya. Yang jelas saya membaca dan terutama menulis (yang secara teknis lebih rumit ketimbang membaca karena harus menyiapkan peralatan) untuk diri sendiri.
Setelah tulisan selesai saya merasa puas dan masih mendapat kepuasan lain ketika kali ini saya harus membaca apa kata atau kalimat yang baru saja saya tulis. Terkadang saya heran atau setengah tidak percaya dengan pilihan kata atau kalimat yang saya buat. Semua ini pada sunyi dan di dalamnya hanya ada saya dan kata-kata. Inikah yang dimaksud Gao Xinjiang dengan (dirinya) menulis untuk dirinya sendiri? Dua kutipan bacaan di bawah ini membuka makna dan alasan kesendirian dan jalan sunyi itu.
Selama tahun-tahun ketika Mao Zedong menerapkan kediktatoran total bahkan melarikan diri bukanlah pilihan. Biara-biara di pegunungan jauh yang menyediakan perlindungan bagi para sarjana di masa feodal benar-benar hancur dan untuk menulis bahkan secara rahasia adalah untuk mempertaruhkan nyawa seseorang. Untuk mempertahankan otonomi intelektual seseorang, seseorang hanya dapat berbicara dengan dirinya sendiri, dan itu harus dalam kerahasiaan maksimal. Saya harus menyebutkan hanya pada periode ini ketika sastra sama sekali tidak mungkin saya memahami mengapa itu sangat penting: sastra memungkinkan seseorang untuk melestarikan kesadaran manusia. (Kuliah Nobel Sastra [22] Gao Xingjian 2000)
Saya sendiri mengamini itu semua. Lebih-lebih, sudah banyak penulis telah mengalaminya. Menulis itu seperti berjalan di padang pasir kesunyian. Mungkin Robert Frost lebih tepat menggambarkannya. Ia mengatakan di hutan, ia menjumpai dua jalan. Satu jalan besar, mulus, lurus, dan sering dilalui orang. Satu jalan lain kecil, berkelok, penuh belukar, dan jarang dilalui orang. Frost dengan besar hati akhirnya memilih jalan yang jarang dilewati orang itu. (Kurniawan, 2020)
Holocaust telah melahirkan sederetan penulis catatan harian (Jutta Salzberg lahir tahun 1926 di Hamburg, Jerman, Lilly Cohn lahir tahun 1928 di Halberstadt, Jerman, Susi Hilsenrath lahir tahun 1929 di Bad Kreuznach, Jerman, dan Elisabeth Kaufmann lahir tahun 1926 di Wina, Austria; wafat tahun 2003, Klaus Langer lahir tahun 1924 di Gleiwitz, Dataran Tinggi Silesia, Peter Feigl lahir tahun 1929 di Berlin, Werner Angress lahir tahun 1920 di Berlin, Jerman; wafat tahun 2010, dan Leja Jedwab lahir tahun 1924 di Bialystok, Polandia) namun Anne Frank dalam ketakutan dan catatan-catatan mengenai perang dan ia hanya bersama Kitty-nyalah yang menutupi yang lainnya; saking terkenalnya ke seluruh dunia. Namun nasib catatan harian pribadi dalam sejarah sering tidak bisa dibendung karena dunia ingin membacanya.
Dalam kondisi inilah Anne Frank dan Soe Hok Gie berada dengan Catatan seorang Demonstran. Kedua catatan harian itu pun terbit dan dibaca di seluruh dunia. Tentu saja, saya sebatas merujuk Anne Frank dan Soe Hok Gie dan reputasi saya jauh tiada sebanding. Namun saya bangga karena menjadi insan yang berkarya dalam dunia kepenulisan, yang tetap saja sedikit jumlahnya. Saya percaya jika mengarang itu pekerjaan yang mudah tetapi mengapa tidak semua orang sanggup melakukannya?
Saya bersyukur karena sensasi dunia tulis yang telah menarik saya jauh dan saya tetap ada di dalamnya; merambah belantara pengetahuan dalam dunia buku; dan merespons apa yang saya baca, dan kelak merespons realitas tempat saya hidup yang sering kali berakibat fatal karena kurang pertimbangan dan hanya keyakinan besar itu benar (mungkin menurut saya dan tidak bagi orang lain) dan hanyalah kebernaian semata; seperti kasus cerita bersambung Sepasang Cinta. Cerita ini diprotes oleh segelintir warga desa Batungsel, desa yang saya cintai, namun bergerak menjadi persoalan adat di tingkat republik desa; membuat keluarga ketakutan di bawah teror adat dan untuk rasa aman pun saya bermalam di Polsek Pupuan. Sampai sidang desa adat yang sesak oleh warga desa yang tidak paham persoalan yang sedang diajukan oleh para provokator adat; menyimak pembacaan dua nomor cerbung Sepasang Cinta; bersorak sorai, memojokkan, dan menolak permohonan maaf dan berujung pada vonis yang sangat kuno: kasarnya saya dikeluarkan selama lima tahun dari Desa Batungsel. Ini hukuman kolot yang dulu pernah dijatuhkan kepada orang-orang di desa saya. Hari itu, di abad modern sejarah berulang dan menimpa saya dan keluarga.
Perjalanan saya dalam mengarang cerpen-cerpen selama periode panjang kepenulisan yang ada hampir seluruhnya berhasil dikumpulkan di dalam buku ini, kecuali cerpen yang diberi label cerpen remaja oleh Koran Bali Post, tempatnya dimuat, yang judulnya “Akhir Cinta Remaja” dan cerpen “Perempuan Senja”, berlatar pariwisata di Bali Utara; tidak berhasil saya cantumkan karena arsip hilang karena saya tidak pernah menyimpan klipingnya. Namun demikian, saya kira buku ini telah menampilkan hampir seluruh cerpen saya. Jumlahnya memang tidak terlalu banyak namun cukup untuk sebuah buku antologi.
Hanya ingin menyampaikan satu catatan saja; cerpen adalah salah satu genre tulisan yang saya lakoni, sebagaimana saya menulis esai, opini, sejumlah karya jurnalistik ketika saya menjalani program dosen bekerja di dunia industri dan dunia usaha dalam rangka, MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) di Koran Buleleng com, dan dua novel. Semua genre tulisan itu saya anggap hasil karya saya selama ini sebagai penulis. Saya bersyukur telah dapat mengumpulkannya dan membukukannya dan terbit karena mendapat dana dari berbagai lembaga, seperti untuk penerbitan antologi proses kreatif tahun ini, yang didanai kembali oleh LPPPM (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan Penjaminan Mutu), sebuah lembaga di bawah Universitas Pendidikan Ganesha.
Pada bagian ulasan buku antologi ini, dikemukakan suatu teori proses kreatif yang saya alami dan dipraktikkan selama saya menulis cerpen-cerpen ini. Posisi saya dalam buku ini perlu kiranya diberi penjelasan karena saya tidak hanya menulis cerpen walaupun secara aksiomatik dapat dinyatakan jika tidak satu pun pengarang di dunia menulis cerita berdasarkan suatu teori apapun itu; tetapi saya mempelajari teori sastra ketika di universitas, baik selama sarjana hingga pascasarjana, meneliti sastra, menyusun tesis sastra tentang Duka Cerita Jayaprana Layonsari (cerita dari Desa Kalianget, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali); semula menyiapkan rencana penelitian disertasi tentang gay di Bali dan sastra yang gagal dan beralih ke penelitian 100 cerpen dan 450 puisi Lekra untuk disertasi yang saya pertahankan di Universitas Udayana; dan memberi kuliah atau mempresentasikan makalah-makalah sastra.
Teori sastra yang saya geluti saya gunakan untuk mengkaji praktik kreatif sastra yang saya lakukan. Teori untuk mendiagnose diri sendiri. Pada satu sisi saya adalah objek kajian dan pada sisi lain saya adalah peneliti. Jadi telah terjadi masturbasi! Pada satu sisi saya adalah praktisi dan pada satu sisi lain saya adalah teoretisi dan peneliti. Pada konteks itu, tidak sulit bagi saya untuk menjalani peran-peran tersebut secara silih berganti. Pada berbagai kesempatan, yang paling sering dalam perkuliahan di kampus tempat saya bekerja, menggunakan diri saya sebagai contoh untuk menjelaskan aspek-aspek teori sastra tertentu, misalnya dalam perkara-perkara struktur cerita dan perkara-perkara lainnya semisal hubungan sastra dan masyarakat.
Di sinilah saya sering menandaskan bahwa banyak pengarang yang munafik, menyembunyikan hubungan dirinya dengan karyanya atas dalih apapun. Padahal dengan pendekatan eksprsif M.H. Abrams, suatu karya adalah ekspresi-ekspresi biografik pengarang dan saya sering menggunakan diri saya contoh. Dari sini saya mengajak mahasiswa untuk melihat kenyataan serupa pada pengarang Indonesia. Penjelasan saya mudah dipahami oleh mahasiswa karena pengalaman hidup atau aspek-aspek biografis saya sampaikan secara terbuka; sulit kiranya bagi pengarang lain karena mahasiswa memiliki keterbatasan informasi biografis, memang. Namun satu aksioma telah tertanan dalam pikiran bahasiswa bahwa karya sastra adalah ekspresi dimensi-dimensi biografik pengarangnya. Pengarang memang menjadi orang lain dalam karyanya dan di dalam rumus sederhana ini seorang pengarang ingin berkilah secara kreatif untuk memutus pertalian antara dirinya dengan cerita dalam karyanya.
Saya mulai dengan habitus Desa Batungsel, setelah desa ini melewati periode Tragedi 1965, hingga menjelang akhir 1980-an. Religositas yang berorientasi kepada masa lalu adalah hal yang paling umum. Narasi-narasi lisan kerap kali diulang oleh para penutur, seperti Kompyang Rejek yang sering hadir pada malam hari di rumah berpenerangan lampu minyak tanah; dan saya ikut menyimak diam-diam dari belakang punggung Bapak, ruang yang remang karena sinar lampu terhalang. Pada kesempatan lain, Bapak akan mengulangi narasi-narasi tutur itu kepada saya untuk mengisi jeda waktu malam. Saya menikmati dengan takjub.
Tesis yang paling umum menyatakan bahwa anak-anak di Bali menerima dongeng lisan atau satua dari kakek atau nenek sebelum tidur dan yang dimaksud dengan satua di sini adalah khazanah cerita Tantri Kamandaka yang di Bali dikenal Satua Ni Dyah Tantri, masuk Bali lewat Jawa karena di pulau ini dikenal cerita dalam kumpulan Canda Pinggala (Kamajaya). Tidak demikian halnya dengan pengalaman cerita saya di Desa Batungsel bersma Bapak.
Kelak, saya merumuskan dua genre narasi lisan: (1) tutur dan (2) satua. Tutur adalah narasai apapun itu dan cenderung faktual atau diyakini benar walaupun tidak ada lagi bukti. Satua adalah cerita-cerita umum yang dikenal di Bali yang semuanya bersumber dari Tantri Kamandaka India atau populer di Bali dengan Ni Dyah Tantri. Di samping khazanah Tantri, cerita rakyat atau satua juga bersifat asli atau lokal Bali karena tidak tercantum di dalam lontar-lontar Tantri. Desa Batungsel sangat kaya dengan khazanah cerita lokal atau asli, sperti Siap Badeng, I Kesah teken I Kesih, Nang Deke Deke, I Kepecit, Nang Temoro, dan I Kenengneng, Kaki Kendit, Nang Cakang, dan Daddong Taulan.
Genretutur lisan yang sering saya dengar dari Bapak adalah pengalaman-pengalaman orang Desa Batungsel di masa lalu. Pengalaman yang menggetarkan perasaan karena menegangkan; mengandung materi-materi yang seram, mistis, dan sedikit ada saja juga yang lucu. Genre ini menunjukkan proses produksi narasi dalam bentuk tutur lisan di Desa Batungsel. Biasanya hal ini dimulai dari peristiwa nyata lalu disebarkan pada berbagai kesempatan oleh para saksi mata atau pelaku. Ketika itu, narasi yang semula personal atau kelompok, telah menguasai dan menjadi milik sosial desa.
Yang paling baru yang dikisahkan oleh Bapak adalah sekelompok orang Karangasem yang bekerja di Batungsel sebagai buruh pemetik kopi; datang ketika mengungsi karena Gunung Agung meletus (1963). Mereka medunungan (mondok) di rumah Pan Mur yang juga memiliki asal-usul dari Karangasem. Musim kopi di Batungsel identik dengan udara dingin apalagi kala pagi. Untuk inilah pada pagi hari api di dapur dinyalakan tidak hanya untuk memasak tetapi untuk ngidu (menghangatkan tubuh) sambil minum kopi. Para buruh pemetik kopi inipun menyalakan api dan mereka duduk berhimpit di sekeliling. Hanya satu orang tidak mendapat tempat. Ia marah karena tidak ada yang bisa memberinya tempat. Ia menggigil karena suhu Batungsel sangat dingin pada pagi hari. Lantas, didapatnya akal; diambil minyak tanah untuk diam-diam disemburkan ke dalam nyala api. Maka api berkobar secara tiba-tiba sehingga mereka buyar. Ia yang tidak kebagian tempat tadi kini bisa leluasa menikmati hangatnya api.
Tutur lisan lainnya yang sering saya simak adalah yang berkaitan dengan sejarah desa dan berbagai kejadian gaib di masa lalu, seperti cerita berbagai pura megalitikum di perkebunan kopi hingga ke puncak Gunung Batukaru; Desa Batungsel yang pernah hilang dan ditemukan kembali berkat tuntutan seekor harimau putih; desa yang warganya kalah oleh serangan semut; cerita para kera merenteng membangun pura; batu bertulis atau tika yang tidak pernah terbaca; kentongan suci; batu-batu kali yang menyala untuk dijadikan sendi bangunan dan undak di pura desa; sanghyang jaran atau sanghyang dedari; lintah putih dan keskatian Pasek Nengah; I Kaki Kendit; gong kapiturun, hubungan Desa Batungsel dengan Puri Subamia di Tabanan; beras subak Babakan yang dapat menyembuhkan Anak Agung Tabanan (raja) sehingga membebaskan subak ini dari pajak, cerita orang-orang yang kalah mesiat atau jalanang anak di petenge, dan lain sebaginya.
Tutur lisan lainnya lebih bersifat sosial, seperti kehebatan ilmu hitam yang dikuasai oleh Men Suaka; para keluarga yang melahirkan anak manak salah (kembar berlainan jenis kelamin dan yang lahir terlebih dulu adalah yang perempuan) dan hukuman yang harus diterima berupa pembuangan di Tumpang Salu serta menanggung beban upacara pembersihan desa; penangkapan anggota gerombolan Dengkek Marsidi di Pulanasi; penembakan misterius di arena pertunjukan wayang nyalon arang di Desa Padagan; orang-orang hilang semasa 1966; atau seorang pemburu yang ditembak oleh teman sendiri karena dikira seekor ijah di perkebunan kopi; begitu pula mayat Kaki Muryas atau Pekak Gumbreg yang seperti diterbangkan angin kemarau Gunung Batukaru ditemukan jauh di ketinggian lereng.
Ketika Tragedi 1965, Bapak adalah seorang remaja, belum menikah dan bekerja sebagai petani tulang punggung keluarga karena kakek telah meninggal. Walaupun Bapak ikut partai mayoritas di desa, PNI (Partai Nasionalis Indonesia), ia tidak bisa aktif terus mengikuti kegiatan partai ketika Republik sedang hamil tua. Karena situasi sangat genting dan keselamatan jiwa sewaktu-waktu terancam di tengah relasi sosial yang tidak jelas siapa lawan dan siapa kawan; Bapak ikut bela diri pencak silat atau seperti yang dikatakan pepada saya: Muruk mencak, bertempat di Desa Pujungan. Kegiatan ini berlangsung sore hingga malam hari dan Bapak berjalan kaki seorang diri melewati jalan yang membelah perkebunan kopi di Sedayu. Di samping itu, Bapak juga memiliki sebilah pedang atau gelewang dan tentu saja pisau cabang senjata pokok bela diri pencak yang diikutinya.
Pengalaman Bapak selama 1966 banyak memberi saya cerita. Bapak pernah dicegat oleh musuh partainya, seorang PKI yang menawari Bapak agar sudi singgah ke rumahnya ketika pulang dari muruk mencak di Pujungan. Bapak menolak. Kelak setelah PNI berhasil menghancurkan PKI di Kecamatan Pupuan, Bapak baru tahu kalau tawaran itu sangat berbahaya karena di belakang pondoknya tersedia lubang kuburan. Bapak juga ikut membakar rumah-rumah orang Cina di Pempatan. Hampir semua kejadian mengerikan semasa 1966 Bapak ikuti kecuali menyaksikan, penyeretan orang PKI dengan jeep wilis, penebasan leher oleh para kokap (algojo). Bapak mengenal dengan baik siapa saja kokap yang ada di Desa Batungsel. Bapak mengatakan bahwa kokap yang masih hidup itu bagian putih matanya berwarna merah. Itu adalah darah korban yang ditebas lehernya karena seorang kokap wajib hukumnya menjilat darah di pedang. Cerita-cerita Bapak yang berkaitan dengan perode sejarah ini melahirkan dua cerita pendek, seperti “Ngaben” dan “Ideologi dan Cinta” yang ada di dalam antologi ini.
Di samping itu, masih ada tutur lisan Bapak yang lain, cerita crita sains dan astronomi. Bapak bercerita tentang gempa bumi dan gunung meletus dari pelajaran sejarahnya ketika SD, sejarah dan ilmu bumi Anwar Sanusi. Pada pagi hari yang dingin di bulan-bulan musim kopi, Bapak membangunkan saya dan mengajak melihat ufuk. Di sanalah bintang paling terang yang Bapak katakan kepada saya sebagai bintang siang, pertanda pagi. Cerita lainnya adalah soal rasi bintang waluku atau bintang tengala dan rasi bintang pari. Ceritanya tentang malam dan rasi, membawa saya terbang ke jarak dekat bintang-bintang di langit. Kata Bapak, kalau posisi bintang itu (rasi waluku), sekian derajat di ufuk Timur artinya musim tanam sudah tiba di subak-subak di Desa Batungsel. Cerita bintang yang paling mengerikan adalah bintang kukus tau komet; jika muncul adalah pertanda musibah. Sebelum Tragedi 1965, Bali menyaksikan kemunculan bintang ini di langit sore.
Sejak saya sekolah SMP di Tabanan, praktis semakin jarang menerima cerita. Bapak tidak hanya kehilangan waktu bersama saya tetapi juga pasti merasa sudah tidak cocok lagi bercerita; serta yang jelas mungkin hampir semua khazanah tutur yang dimilikinya sudah habis. Kalau Pekak Rejek atau sederetan tetua Desa Batungsel yang pintar nutur (menyampaikan narasi secara lisan dalam berbagai kesempatan, seperti jika ada orang desa memiliki hajatan, baik suka maupun duka; memiliki rasa percaya diri dalam berkisah di hadapan sekelompok orang; tidak demikian halnya dengan Bapak; cukup menjadi pendengar yang setia dan untuk menyerapnya. Sayalah yang menjadi pendengar satu-satunya. Bapak berhasil mewariskan tutur lisan dan semua satua yang diketainya kepada saya. Inilah kelak menjadi pemantik kegemaran saya bercerita dan kaena teknik dan media modern, saya menuturkan cerita-cerita itu kembali dalam cerpen-cerpen saya.
Maka semua cerpen di dalam buku antologi ini, tidak hanya dibaca sebagai karya sastra tetapi harus dipahami dalam penelusuran jalan ke masa lalu. Masa itu Bapak membentuk saya, mengisi dengan cerita tanpa ia pun pernah mengharap mencapai suatu tujuan; yang penting bercerita untuk mengisi malam yang dingin sambil ngidu di tepi api karena ketika itu Bapak selalu mengajak saya menunggu suara burung yang paling pagi. Jadi, cerpen-cerpen ini dapat saya hasilkan karena sejak kanak-kanak hinga saya meninggakan Desa Batungsel pada saat kelas I SMP, karena saya telah mendapat rangsangan atau stimulus yang kuat dan berkelanjutan, berupa narasi-narasi lisan malam hari dari Bapak. Semua cerita dan tutur lisan itu yang selalu menghangatkan malam dingin di Kaki Gunung Batukaru.
Pengaruh Bapak memang secara perlahan terhenti pun karena pertambahan usia dan juga karena saya telah mendapat sumber stimulus baru yang lebih beragam yakni media bacaan kertas, seperti buku di perpustakaan sekolah, surat kabar, dan majalah. Saya memang tidak sepenuhnya menuturkan cerita secara lisan seperti Bapak, kecuali ketika saya memberi kuliah dimana cerita itu adalah selipan memukai buat mahasiswa; namun menuturkan secara tertulis, sebagaimana semua cerpen dalam buku ini. Mungkin benar kata-kata Gao Xinjiang; pada awalnya ia menulis cerita untuk dirinya sendiri; sebelum cerita itu sampai kepada pembaca. Jika begitu, semua pengarang menulis cerita untuk dirinya sendiri karena ini hanyalah proses yang paling awal dan terjadi dalam diri pengarang. Tapi mungkin bukan itu yang dimaksud Gao. Mungkin lebih seperti Anne Frank atau bahkan R.A. Kartini.
Untuk kesekian kali saya nyatakan, kemampuan saya bercerita bukan karena buah pendidikan formal pelajaran mengarang guru bahasa. Ini semua dicapai karena stimulus Bapak lewat dua genre narasi-narasi lisan yang diberikan kepada saya: satua dan tutur-tutur lisan. Jika stimulus itu bagus dan kuat, maka seorang pendengar akan memberi respons pula. Inilah pemantik terpenting lahirnya penulis atau pengarang.
Bapak tidak memberi saya buku karena Batungsel sebagai tipe desa pada umumnya di Bali, sebagai desa agraris di kaki Gunung Batukaru; tidak mempunyai buku atau peninggalan media tulis yang lebih kuno, yaitu daun lontar. Kahidupan desa berlangsung penuh dalam tradisi lisan dan ingatan semata. Bahkan entah kebetulan atau karena alasan apa, di sini dianut nilai-nilai yang mengharamkan aksara dan hanya membenarkan suara atau yang lisan: \gamaswara. Namun demikian, lisan atau tulisan hanya medium. Saya justru mendapat banyak stimulus dari yang lisan di Desa Batungsel.
Tidak cukup memahami sastra secara utuh hanya dari satu sisi, semisal dari aspek teori. Demikian pula, namun jangan paksa seorang pengarang memberi penjelasan teoretis untuk karya-karya mereka. Saya beruntung karena mengalami keduanya. Saya dapat menerpakan konsep-konsep teori sastra atas atau pada diri saya. Saya juga mengarang. Imajinasi identik dengan sastra sebagai rekaan atau fiksi. Demikian pandangan umum yang ada namun imajinasi sejatinya tidak hanya milik sastra. Dia ada di dalam arsitektur, fashion, teknologi, kuliner, agama, upacara, negara, iklan, taman, kebun raya, dll. Ada kesan betapa imajinasi sangat rendah. Teks sastra dipandang bulat dan utuh sebagai produk imajinasi atau hasil lamunan. Teks yang menduduki peringkat kedua.
Ketika mengarang cerpen saya bekerja dengan imajinasi karena sejalan dengan Biarawati Urnoto El Barbary seorang penulis novel yang mengatakan dalam blognya “Novelis banyak bergelut dengan imajinasinya sendiri, karena itu adalah kekuatan utama untuk merancang semua peristiwa dan “takdir” atas tokoh-tokoh khayalannya (dalam Saragih dkk., 2021). Walaupun imajinasi direndahkan dan menyeret teks sastra ke dalam wilayah itu pula, tetap di dalamnya ditemukan kebenaran (Prihany). Rupanya selama ini ada kesalahan fatal dalam memahami imainasi karena keterbatasan pengetahuan. Harari mengubah pandangan lama terhadap imajinasi, dimana kata ini tidak ada kaitannya dengan sastra, wilayah yang dibangun untuk mengurungnya, sebagaimana dikutip di bawah ini.
Bagaimana spesies kita membuat spesies lain punah (selain perang). Lalu apa yang menyebabkan sapiens bertahan? Harari menuliskan setidaknya ada tiga hal yang membuat sapiens bertahan yang pertama bahasa membuat sapiens bisa berkomunikasi dan berkoordinasi, kedua bahasa dapat dipakai untuk bergosip dengan sesamanya, dan ketiga adalah imajinasi. (Harari,)
Hanya sedikit namun sangat penting imajinasi dalam cerita. Imajinasi digunakan untuk mengolah bahan-bahan cerita yang semuanya didapat dari kehidupan yang nyata. Pengalaman menulis cerpen memberi saya suatu kesadaran penting bahwa imajinasi itu adalah hal yang kedua dalam sastra; untuk melawan pandangan yang menyatakan bahwa sastra identik dengan imajinasi atau bahkan imajinasi itu sendiri adalah sastra. Yang pertama pada sastra adalah peristiwa cerita yang terjadi secara nyata dalam kehidupan dan sejarah manusia. Karena itu, cerita atau lebih moderatanya bibit cerita atau bahkan cerita yang sudah jadi, telah ada dalam realitas dan historis. Hal ini dijelaskan dalam teori sastra Julia Kristeva bahwa sastrawan hanyalah talang air atau saluran cerita dari sumbernya: kehidupan atau segala semesta. Tema atau cerita itu tentang apa; latar belakang; para tokoh dan karakter-karakternya; bahasa-bahasa tentu saja; nilai-nilai, semuanya telah disediakan oleh kehidupan atau semesta yang diistilahkan menjadi teks.
Pengarang hanya berperan kecil: mengalirkan cerita itu semua dari sumbernya dengan daya dan energy imajinasinya. Maka tugas pengarang hanyalah memetik dan menulis peristiwa itu. Di sinilah peran imajinasi. Imajinasi adalah alat untuk membantu pengarang menyusun peristiwa cerita menjadi cerpen, puisi, atau novel. Karena itu, sangat muluk-muluk jika ada pengarang yang menulis karyanya dengan seratus persen imajinasi. Imajinasi adalah kemampuan yang sangat terbatas. Karena itulah, imajinasi tak bisa memenuhi satu wilayah karya. Imajinasi hadir dalam bagian-bagian tertentu dari karya. Namun demikian, sebagai pembeda antara cerpen dengan laporan kenyataan maka imajinasi terpilih menjadi karakter yang signifikan dan telah teruji peradaban sebagaimana digunakan oleh Homo Sapien untuk menaklukan dunia. Maka salah kaprah pun harus tercipta dengan generalisasi besar bahwa cerpen adalah imajinatif. Namun sedemikian direndahkannya imajinasi dalam kerangka mengagungkan rasio atau pikiran; toh homo sapien bergeming dan tetap menikmati dunia imajinasi. Harari mengatakan kemampuan homo sapien dalam mengembangkan imajinasi dalam evolusinya yang panjang itu merupakan kekuatan yang tidak pernah dimiliki oleh spesies manusia purba manpun sehingga mereka punah. Pada zaman modern, Albert Einstein menyatakan bahwa imajinasi lebih penting ketimbang pengetahuan.
Yang paling mudah bagi saya dalam menjelaskan imajinasi, adalah dengan memperlakukan suatu realitas atau peristiwa cerita tidak seperti fakta aslinya. Di sini imajinasi bekerja pada ruang-ruang struktur atau infrastruktur cerita. Imajinasi bekerja pada deskripsi latar, urutan kejadian peristiwa, penciptaan tokoh, substitusi persoalan, dan interpretasi terhadap peristiwa cerita: fakta dan data. Di sinilah jika tidak hati-hati, seorang pengarang kena batunya karena imajinasi sering diterima sebagai penyimpangan fakta yang artinya menyampaikan kesalahan. Maka tidak hanya karya tetapi pengarang pun digugat dan diancam oleh masyarakat. Dalam cerita bersambung Sepasang Cinta yang judul aslinya ketika naskah ini ikut lomba Inses, dan tebit dengan judul Incest; saya mengalami sendiri.
Saya tidak bisa memaksa masyarakat Desa Batungsel, bahkan yang paling terpelajar pun agar bisa memilah mana fakta dan mana fiksi serta ini adalah produk imajinasi tempat saya berlindung dari segala tuduhan pelecehan desa; sehingga mereka untuk bagian tertentu dari cerbung ini dikateogirikan pelecehan adat Desa Batungsel dan berakibat fatal pada hukuman adat terhadap saya. Pada banyak kasus, lebih nyata lagi sebagaimana pengalaman saya di berhadapan dengan warga Desa Batungsel ketika saya diadili secara adat; saya berpendapat bahwa imajinasi itu tidak boleh salah atau menyimpang. Di sini tidak berlaku kata-kata Einstein yang menyatakan bahawa imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan. Orang-orang Desa Batungsel tidak membedakan gere fiksi dan fakta. Bahkan pada kasus yang saya alami, mereka tidak mengenal keduanya atau cenderung hanya menganut yang fakta. Jika ditelusuri lebih jauh kepada dunia mitos Desa Batungsel, semuanya adalah kebenaran atau realitas historis walaupun pada akhirnya mereka tidak sanggup menjelaskan lebih jauh.
Demikianlah saya bekerja dengan imajinasi sebagai alat saya mengubah peristiwa cerita yang nyata ke dalam cerpen-cerpen pada buku ini dalam proses mental yang sangat indah. Saya ingin menjelaskan dan menyatakan satu pengakuan untuk hanya hal berikut; biasanya pengarang tidak mau terbuka untuk menjelaskan cikal-bakal karyanyanya dalam kaitannya dengan realitas karena tampaknya hendak menolak konsep pengarang sebagai hanya talang air dari Julia Kristeva. Atau, jika cerita penciptaan itu disampaikan kepada masyarakat seolah-olah akan menodai kesucian karyanya. Cerita itu sudah terjadi dalam kehidupan dan tidak akan terjadi lagi. Setiap cerita pun unik karena bersumber dari peristiwa yang kuat dan berbeda. Kapan suatu peristiwa cerita atau peristiwa yang memiliki nilai cerita atau nilai kisah akan muncul dan dari siapa atau lewat peristiwa apa; sangat tidak bisa diramalkan. Semuanya terjadi secara tidak terduga. Karena itu, saya tidak pernah berpikir ilham. Ilham itu tidak ada dalam proses kreatif saya menulis seluruh cerpen dalam antologi ini. Yang memicu cerpen-cerpen saya hanyalah cerita nyata. Saya lalu memetik, menulis, dan di sinilah imajinasi nekerja.
Sebagai pengarang saya hanya harus peka menangkap peristiwa cerita. Karena itu saya dapat menyusun satu daftar peristiwa yang menjadi materi dasar dalam cerpen-cerpen ini. Ambil saja contoh cerpen “Di Mana Kepala Ular itu”. Peristiwa ceritanya adalah kepercayaan yang tidak jelas namun amat diyakini kebenarannya; jika membunuh ular dengan memotong putus kepala dan badannya, maka harus hati-hati; potongan kepalanya tetap hidup dan akan balas dendam dengan menyerang balik siapa yang menebasnya nanti pada malam hari ketika si penebas tengah tidur lelap. Peristiwa inilah yang diolah dengan daya imajinasi lalu ditata dalam infrastruktur cerita. Di dalam pengolahan itu imajinasi berperan penting untuk mengembangkan pokok cerita; membangun seting; memilih tokoh; mengembangkan dialog; dan membangun urutan peristiwa dalam cerpen.
Sebagai pengarang saya sangat bergantung dengan berkah baik realitas dan orang-orang yang saya jumpai yang memunculkan peristiwa cerita. Seperti pada suatu hari naik angkutan pedesaan dari Pasar Bajera ke Pupuan; seorang Jawa bercerita tentang pekerjaannya berburu taluh semangah yang laku keras di pasar untuk pakan burung. Masih dalam angkutan yang sejenis namun waktunya berbeda ketika saya secara kebetulan menyimak cerita seorang perempuan yang sudah berusia sekitar 60 tahun; baru datang dari penjara di Tabanan; menengok suaminya yang terpenjara karena membunuh. Cerita ini mengerikan tetapi yang lebih tidak bisa dipahami adalah cara perempuan itu menerima keadaan. Ia menerima dengan wajar-wajar saja! Hal itu tampak dari caranya bercerita, semangatnya, volume dan nada suaranya.
Dengan peristiwa cerita ini saya berkarya dan telah terbukti kuat dan mengandung nilai cerita atau nilai sastra sehingga tiga cerpen menang lomba; beberpa dicatat dalam sejumlah buku antologi atau bunga rampai, dan selebihnya lolos dari saringan redaktur sastra Bali Post. Tidak hanya peristiwa cerita, kejadian alam pun dapat dilihat dengan menggunakan paradigm imajinasi. Hai itu saya untuk kesekian kali naik Candi Borobudur. Mendung dan gerimis sejak pagi. Para pengunjung menyewa payung. Pada salah satu patung buda tanpa pelindung batu-batu stupa, yang takzim dalam semadi, gerimis memasukkan butir-butir air secara halus ke celah batu. Air itu pasti melewati celah dan alur bebatuan patung ini lalu di ujung hidungnya bergelayut Kristal gerimis yang indah. Deskripsi butiran air gerimis Borobudur yang menggantung tepat di ujung hidup Sang Budha itu, adalah cara saya menyaksikan peristiwa alam secara imajinatif. Maka imajinasi tiada utuh hanya dalam sastra tetapi juga dalam realitas terutama karena imajinasi adalah kompetensi emosional untuk melihat realitas. Kompetensi inilah yang mengubah realitas menjadi realitas baru: realitas imajiner.
Tidak banyak hal yang dapat saya lakukan pada peristiwa cerita; membawa saya kepada satu kesadaran bahwa sastra itu bukan berumah di dalam pikiran atau di tangan pengarang tetapi berumah di dalam kehidupan dan sejarah manusia. Pengarang hanya kebetulan memiliki talenta menangkapnya saja dan menggubah dengan imajinasi untuk melahirkan buku cerpen, buku novel, buku puisi, dan buku drama.
Saya menyadari jika produktivitas sebagai pengarang sangat bergantung kepada adanya berkah peristiwa cerita. Maka satu-satunya cara untuk tetap produktif adalah selalu ada di tengah-tengah kehidupan untuk selalu bersinggungan dengan para pelaku kehidupan itu sndiri. Tapi saya tidak bisa memaksa kehidupan sehari-hari agar bisa memberi peristiwa cerita kepada saya. Peristiwa ini tidak bisa diminta sekehendak hati. Keinginan menulis boleh ada namun terlepas dari peristiwa cerita. Bukankah ada teknik kreatif menulis sastra dengan suatu riset? Hal ini dilakukan oleh Dee Lestari ketika menulis novel Aroma Karsa demikian pula oleh penulis yang lain seperti Tere Liye.
“Riset Aroma Karsa dimulai pada November 2016, ketika aku ikutan sebuah kursus meracik parfum. Lalu aku berpindah riset ke dunia satunya lagi: Tempat Pembuangan Akhir di Bantar Gebang. Di situ aku meriset dan melihat sendiri kehidupan para pemulung, termasuk ragam bau di sana. TPA Bantar Gebang adalah kanvas (setting tempat) utama, karena tokoh utama tumbuh di sana. Sebagai penulisnya, aku harus tahu apa dan bagaimana karakter utamaku si Jati Wesi,” kata Dee Lestari di acara Gathering Aroma Karsa, di Institut Français d’Indonésie Yogyakarta, Minggu (22/4/2018). (Ramadhani,2018).
Para pengarang realisme sosialis, seperti sastrawan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) pada era 1950-1965 mengenal metode turba (turun ke bawah) yang artinya sebelum mengarang harus menemukan materi cerita dalam kehidupan dan duka derita kelas tertindas (Artika, 2018). Kusni Sulang (J.J. Kusni) menulis pengalaman ketika turba, sebagaimana dapat dikutip di bawah ini.
Saat turba, ia menyaksikan Gerakan Aksi Sefihak (asfek) yang terjadi di beberapa desa di Klaten. Pengamatannya selama turba tersebut menghasilkan drama Api di Pematang. Drama dua babak ini mengisahkan perjuangan para petani Klaten menghadapi lurah yang bersekongkol dengan tuantanah. Mereka menuntut pelaksanaan UUPA (Undang Undang Pokok Agraria 1960) dan UUPBH (Undang Undang Pokok Bagi Hasil 1960). Drama ini kemudian dipentaskan dalam Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR), yang diselenggarakan oleh PKI, di Jakarta, 27 Agustus-2 September 1964. Meski begitu, Kusni menyesalkan kritik-kritik yang dilontarkan beberapa pejabat PKI atas dramanya tersebut karena beberapa plot drama dianggap menyimpang dari garis partai. (Sjarifah, 2020)
Saya berjuang menjadi pengarang ketika mahasiswa; membayangkan rasa terhormat ketika cerpen dimuat di koran. Karena itulah saya menulis, apalagi saya mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra, seakan ada tanggung jawab moral. Pada suatu senja di Desa Batungsel, seorang kawan ketika di SD dan SMP menanyai saya mengenai sebuah tulisan di Bali Post (yang tentunya telah dibacanya). Dari beberapa pokok persoalan yang ia sampaikan, terutama pada bagian perjalanan tokoh bersembahyang ke Pura Luhur Batukaru di Desa Wongaya Gede, saya yakin itu adalah cerpen “Akhir Cinta Pertama” yang saya kirim ke koran tersebut dan sejak di post-kan sebagai pengarang yang belum dikenal di jagat sastra di Bali, saya tidak boleh berharap kalau karya itu akan dimuat. Yang penting sudah dikirim, entah sampi atau tidak ke meja redaktur sastra, entah dibaca atau tidak, dan entah ditolak; bukan urusan saya.
Namun demikian saya tetap menulis dan menulis seperti ungkapan the show must go on atau anjing menggonggong khafilah tetap berlalu. Saya gembira sekali karena Gedong Kirtya Singaraja, menyimpan koran tempat “Akhir Cinta Pertama” dimuat. Saya lantas membuat satu kopi. Rasa percaya diri tumbuh dan semangat menulis cerpen menggebu namun tidak bisa dipaksakan karena harus menunggu berkah hidup: memberi peristiwa cerita. Sedikit perjuangan yang saya lakukan untuk mengejar peristiwa cerita; saya biasanya pergi ke masa lalu sehingga pengalaman bersama Bapak dengan narasi-narasi tutur lisannya seperti kembali terdengar, membawa saya ke pagi dingin Batungsel, ketika Bapak menunjuk ufuk timur yang masih gelap dan menyatakan bahwa bintang siang itu pertanda pagi; pun beberpa menit kedis kerong-kerong bersahutan di perkebunan kopi; maka lahirlah cerpen “Selip” (mesin penggiling padi). Cerita yang saya miliki adalah ketika hama wereng menyerang padi di seluruh subak di Desa Batungsel dan mungkin di Bali, ada dalih bahwa mesin pengilingan padi milik seorang warga (I Nyoman Kamajaya) adalah penyebab hama ini.
Fase kepengarangan saya yang paling berat adalah proses untuk mendapat tempat publikasi di koran. Saya bersyukur karena hampir seluruh cerpen yang saya tulis pernah menghiasi halaman koran Bali Post. Koran ini bereputasi tinggi dalam jagat sastra di negara Indonesia. Saya tidak pernah henti berkarya, memburu peristiwa cerita. Pemburuan itu membuahkan hasil baik. Cerpen “Rambut” terpilih ke dalam 10 cerpen terbaik dan demikian pula pada tahun berikutnya untuk cerpen “Operasi Saesar”. “Rambut” adalah cerpen yang ditulis berdasarkan cerita nyata yang saya dengar sepintas di Desa Batungsel, soal kaul membali bali. Seseorang yang membawa kaul ini (bukan orang yang mengucap kaul), pada umumnya laki-laki, pantang memotong rambutnya sebelum kaul dilaksanakan karena di atas upacara korban kerbau bertanduk emas ia akan duduk dan pada kesempatan yang suci ini, dipotong rambutnya untuk kali pertama.
Cerita yang berkembang di desa saya menyatakan bahwa seorang warga desa tidak pernah memotong rambutnya selama ia hidup karena orang tuanya tidak pernah bisa membayar kaul itu karena biaya semakin besar dan perubahan ekonomi yang tidak menguntungkan. Ia meninggal bersama rambutnya yang ia bawa sejak bayi dan tidak pernah dipotong demi kaul tadi. “Operasi Saesar” bersumber pada cerita Mbah Warni yang anaknya merantau ke Denpasar ikut sanak keluarga menjadi pembantu rumah tangga. Nama anak perempuan Mbah Warni adalah I Nyoman Lesung (nama tidak baiknya di desa dan penulis tidak tahu siapa nama baiknya yang ditulis di dokumen resmi, seperti STTB –Surat Tanda Tamat Belajar, atau KTP). Nyoman Lesung menikah dengan laki-laki berkasta tinggi.
Ia pun hamil dan menjalani operasi saesar ketika melahirkan bukan sebagai alasan medis tetapi alasan kasta. Bagi Mbah Warni, cucunya tidak boleh lahir secara normal karena berdarah triwangsa atau ningrat ala Bali. Mbah Warni amat bangga dengan pandangan dan alasan tindakan medis yang berbahaya itu. Bagi Mbah Warni yang berkasta kebanyakan atau jaba dan hidup di Desa Batungsel yang sama sekali tidak mengenal sistem ini, anaknya dinikahi oleh kalangan triwangsa adalah kehormatan yang luar biasa. Seorang ibu yang bergelar jero atau penanda identitas untuk melabeli yang bersangkutan adalah perempuan bawah atau rendah; wajib menjaga kesucian atau kemurnian anaknya. Untuk ini ia tidak boleh lahir secara normal karena kotor dan ternoda. Maka jalan medis modern dipraktikkan di Bali dengan paradigma yang sedikit gila.
Pada masa print capitalism, ruang publikasi cerpen sangat terbatas. Produktivitas yang bergantung pada indikator bahwa karya sudah dipbulikasikan di koran, sangat ditentukan oleh ruang yang tersedia dan kebijakan redaktur. Ada kesan bahwa redaktur hanya mengutamakan nama pengarang yang sudah populer atau memiliki nama besar. Sementara sastrawan pemula diabaikan sehingga tidak perlu diberi ruang; adalah praktik jahat redaktur sastra kapitalisme cetak yang tidak memberi sumbangan kepada pembinaan pengarang. Bali Post dan sosok Umbu Landu Paranggi adalah perkecualian di Indonesia pada masa segala keangkuhan para redakstur sastra kapitalisme cetak berjaya. Bali Post Minggu adalah sekolah sastra.
Di ruang itu Umbu menjalankan tugas peradaban sastra. Dari situlah Bali melahirkan banyak sastrawan. Saya beruntung karena dikenal oleh Umbu. Mana ada redaktur pada zaman itu mau mengenal pengarang pemula? Pada bagian buku ini, tepat di titik inilah saya untuk pertama kali merasa diperhatikan oleh Umbu setelah saya kontraskan deretan redaktur sastra kapitalisme cetak yang terlalu angkuh. Umbu tidak hanya berada di kantor Bali Post di Jalan Kepundung 67 A (Denpasar). Ia mengunjungi para calon sastrawan di rumahnya yang jauh di luar Denpasar. Mana ada redaktur yang dengan jiwa tulus murni melakukan hal itu? Karena itu, banyak bibit sastrawan mati muda. Cerpen-cerpen dalam buku ini lahir di tengah konteks tersebut; setidaknya menunjukkan sebuah kegigihan dalam menulis cerpen dan kontinyuitas yang panjang, di tengah kesibukan sebagai dosen.
Mengapa masih menulis cerpen? Yang jelas hal ini bukan untuk mendapat honor. Menulis cerpen adalah untuk tetap berkarya dan mendapat prestise sosial. Saya ingin menjadi dosen yang mengajarkan sastra dan memiliki karya. Pada kondisi ini saya sedang memberi satu garansi kepada para mahasiswa bahwa saya juga adalah pengarang. Dosen sastra mereka bukanlah ahli teori sastra tok tapi juga pengarang dengan karya nyata. Keadaan ini terbukti ampuh untuk percaya diri di hadapan mahasiswa di atas mimbar kelas. Garansi lain saya tujukan kepada alasan dan pertimbangan penting, mengapa saya lolos diangkat sebagai dosen di almamater saya: mencari dosen sastra. Hal ini semua telah saya buktikan hingga malam ini (25 Juli, 2022), saat saya menulis ulasan bagi penjelasan buku antologi cerpen ini. Saya pun boleh jemawa berkata di hadapan mahasiswa bahwa saya bukan guru teoretis tetapi saya adalah penulis. Dan garansi lain adalah saya telah memenuhi harapan prodi yakni saya menyandang gelar doktor ilmu sastra.
Garansi itu telah saya berikan. Namun demikian adanya, saya ingin mengemukakan perjuangan berat sebagai pengarang era penuh kesombongan kapitalisme cetak dan barisan redakturnya untuk mengendalikan wacana, termasuk sastra, lewat satu standar mutu. Di luar kuasa para redaktur sastra seperti itu di tengah-tengah masyarakat tumbuh komunitas sastra. Saya tidak pernah menjadi bagiannya sehingga hal ini akan memberi suatu dampak pada kepengarangan saya di Bali. Saya kurang diakui karena saya tidak aktif di salah satu komunitas. Karya-karya saya tidak disambut. Raudal Tanjung Banua adalah orang yang sangat berjasa dalam menerbitkan Novel Sepasang Cinta yang tersandung kasus adat. Kawan-kawan sastrawan di Bali tidak menunjukkan simpati apa-apa pada diri saya. Akhirnya novel tersebut terbit dengan judul dikembalikan ke awal naskah yang dikirim kepada panitia Lomba Novel Bali Post, Inses dalam ejaan asing Incest, mengalami cetak ulang ketiga dan mendapat predikat novel best seller nasional. Di sini pun tidak ada kawan-kawan sastrawan di Bali yang menyambut. Sebab hal ini sudah jelas, yakni karena saya tidak aktif dimanapun sebagai anggota komunitas.
Dalam fase kepengarangan saya selanjutnya terutama sejak mahasiswa dan sesudah itu, menerbitkan karangan di media massa cetak (koran atau majalah umum) adalah untuk mencapai tujuan yang bergengsi. Kegiatan menulis berpadu dengan diskusi dan membaca. Koran Bali Post memiliki ruang opini, puisi, dan cerpen. Ke media inilah saya mengirim cerpen dan opini serta esai-esai saya. Hampir semua cerpen dalam buku ini telah dimuat di Bali Post. Koran ini berjasa besar dalam melahirkan saya sebagai pengarang cerpen, penulis esai dan opini. Bisa saya tegaskan, cerpen antologi ini adalah antologi cerpen saya di Bali Post. Koran ini pernah jaya semasa kapitalisme cetak dan kini sudah memasuki senja kala. Ketika masa jaya itulah, hampir semua cerpen yang saya tulis bisa dimuat. Untuk mengenang itu dan menuliskan ungkapan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada para redaktur sastra; saya persembahkan antologi ini; tentu juga persembahan kepada Bali Post sebagai sebuah lembaga media komunikasi massa. Kenangan itu tinggi dan besar buat saya dan mungkin tidak relevan kini ketika Bali Post harus memasuki abad kejatuhan.
Sastra mengalami salah konsep bahwa karya adalah hasil kerja orang yang suka melamun atau mengkhayal. Hal ini muncul karena salah menerapkan kata imajinasi. Dalam kesalahpahaman itu, imajinasi dipandang sebelah mata atau rendahan. Demikian pula, merembet kepada karya sastra. Imajinasi adalah alat menulis karangan dan bukan karangan itu seluruhnya adalah imajinasi. Saya sebagai pengarang dapat menjelaskan secara praktis; bagaimana saya menerapkan imajinasi secara teknik dalam menulis novel dan seluruh cerpen di dalam buku ini.
Realitas tidak hanya memberi fakta tetapi juga memanjakan manusia dengan berbagai ragam cerita. Cerita atau kejadian itu lalu diceritakan lagi secara berantai lalu bercokol lama dalam ingatan sosial. Saya beruntung sering kali mendapat suguhan cerita dalam berbagai kesempatan. Saya tidak hanya menyimak dan kagum tetapi juga menyiapkan satu rencana untuk menulis menjadi cerpen. Cerita yang menarik, bagus, sedikit lucu, menggelikan, mengharukan, romantis, tragis, puitis, mitologis, filosofis, historis, didaktik, apologis; sangat mudah saya tangkap dan langsung bisa saya kembangkan dalam pikiran menjadi cerita. Tahap selanjutnya adalah mengetik atau menulis; memindahkan cerita dalam pikiran menjadi cerita di atas kertas atau dalam komputer.
Ketika saya mengembangkan atau menyusun cerita dalam pikiran; yang cikal-bakalnya adalah cerita yang saya dapati dengan cara kebetulan; saya bekerja dengan imajinasi. Agar lebih jelas dan sederhana, saya kemukakan teknik imajinasi dalam menulis cerpen-cerpen saya. Secara teknik, imajinasi saya aplikasikan di dalam struktur intrinsik cerpen. Karena itu, aspek struktur sangat penting bagi pengarang. Imajinasi digunakan untuk mengembangkan struktur karya. Tema adalah hal yang stabil atau tidak bisa banyak diubah oleh daya dan teknik imajinasi. Tema cerpen saya terkait dengan cerita-cerita nyata yang ditemukan secara tidak terduga dalam kehidupan sehari-hari.
Pengembangan peristiwa cerita biasanya terjadi secara simultan pada beberapa aspek seperti alur, latar cerita, dan tokoh. Alur berkaitan dengan sejumlah peristiwa di dalam cerpen dan satu sama lain saling berhubungan. Peristiwa cerita yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari sering kali sangat sederhana atau pendek. Namun demikian pada umumnya sangat lengkap dari segi 5 W 1 H. Jadi, utuh sebagai cerita. Imajinasi digunakan untuk mengembangkan struktur tersebut dan sampai tercipta struktur yang baru yang sama sekali berbeda dengan kenyataan: genetiknya. Pada aspek alur, imajinasi bekerja untuk menciptakan peristiwa baru, yang mungkin masih ada kaitannya dengan peristiwa cerita. Bisa juga menghubungan peristiwa yang dikenal umum dengan peristiwa cerita yang sedang dijadikan bahan baku cerpen. Teknik imajinasi pengaluran berkaitan dengan berbagai ragam peristiwa yang saling berhubungan; imajinasi digunakan oleh pengarang untuk membangun berbagai peristiwa; dan berkaitan pula dengan urutan dalam cerpen. Dalam hal ini imajinasi memberi sejumlah kemungkinan, seperti (1) kronologi atau berurutan secara historis, (2) sorot balik, (3) acak, dan (4) paralel. Alur dasar cerpen adalah kronologi historis. Daya dan teknik imajinasi lalu melahirkan kreativitas penyusunan peristiwa-peristiwa di dalam cerpen.
Dari alur kronologi historis dikembangkan sorot balik dan acak. Pengaluran acak adalah pengurutan peristiwa dalam cerpen dengan menampilkan satuan-satuan peristiwa dengan bebas sehingga cerpen yang dihasilkan adalah bangun peristiwa yang tidak teratur. Pengaluran pararel adalah dua peristiwa yang saling berhubungan terjadi bersamaan namun tidak bisa disajikan secara simultan. Dalam hal ini, pembacalah nantinya yang menyusun ulang peristiwa cerita ini sesuai dengan kronologi historis. Hal ini terjadi dalam proses membaca dan konstruksi alur dasar yang dilakukan pembaca adalah peristiwa mental. Kerja imajinasi sering kali tidak metodis atau tidak bisa direncanakan langkah-langkah tekniknya. Karena itu, apa yang menjadi pertimbangan menggunakan alur kronologis, alur sorot balik, atau alur acak? Tidak bisa direncanakan. Pada cerpen “Selip” seluruh peristiwa cerpen terjadi pada masa kini; ketika sebuah selip beroperasi di desa. Peristiwa yang menyusun cerpen ini disusun secara kronologi historis; yang di dalamnya muncul dua peristiwa paralel, yaitu selip yang sedang beroperasi dan hama wereng.
Imajinasi juga digunakan untuk membangun seting cerpen. Pada beberapa cerpen awal perancangan seting masih konvensional atau tidak spesifik. Jadi seting sangat umum dan normal. Pada cerpen “Akhir Cinta Pertama” saya menggunakan tempat-tempat yang nyata. Tidak sebatas deskripsi tetapi nama aslinya, seperti Kota Tabanan, Pantai Pasut, Desa Senganan, Pura Batukaru (di Kecamatan Penebel). Setelah beberapa kali menulis cerpen saya merasakan kenikmatan jika menggunakan seting yang nyata. Entah kapan, akhirnya imajinasi mengantarkan saya kepada satu pilihan seting untuk semua semua cerpen yang saya tulis, berseting sama di Desa Batungsel, desa kelahiran saya. Puncak dan terakhir saya menggunakan Batungsel ketika gara-gara novel Sepasang Cinta menggunakan Batungsel sebagai seting membuat saya berurusan dengan adat. Nama Desa Batungsel tidak terkenal di Bali dan sulit diucapkan. Ini merupakan satu alasan menjadikan seting. Jika nama desa ini sering muncul dalam cerpen saya maka desa ini akan semakin terkenal. Alasan lain adalah karena saya sangat mencintai desa ini. Masa anak-anak saya jalani di sini tentu dengan berbagai peristiwa yang indah. Semakin lama meninggalkan awalnya karena sekolah di Tabanan lalu ke Singaraja, bekerja di Singaraja dan sekolah ke Yogyakarta lalu ke Denpasar, semakin rindu.
Puncak-puncak kenangan dan kerinduan itu adalah pada formula seting yang saya ciptakan untuk cerpen saya. Maka Batungsel adalah Gunung Batukaru, mitologi batu purba, perjalanan pikiran ke masa lalu, ketakutan untuk berubah, aroma bunga kopi, semak bambu atau ilalang, jalan setapak di bawah perkebunan kopi, pematang subak, deru trail dan gergaji mesin, ritus di bawah temaram bulan, gang yang sempit, rumah-rumah yang sangat padat, musim kopi, jalan provinsi berbentuk huruf S membelah desa secara simetris, malam yang dingin, upacara purba, balian manak terakhir, dan lain sebagainya. Kenyataan seting yang sangat jelas dan permanen, dilukiskan secara realistis; mengaburkan cerpen sebagai fiksi dengan kisah nyata. Hal ini semakin diperkuat oleh pemilihan nama orang untuk tokoh, seperti Marhen dalam cerpen “Wayang Kaca” yang memang ada orangnya. Marhen dalam cerpen ini adalah Marhen dalam Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (Cindy Adams). Saya yakin sekali Marhen di Batungsel juga didapat dari Marhenisme-nya Bung Karno.
Ada keasikan atau sensasi yang luar biasa hebat rasanya ketika saya mendeskripsi Desa Batungsel. Di luar cerpen dan novel, Batungsel bagi saya adalah titik keindahan Bali. Tapi mungkin tidak dianggap indah oleh orang-orang sedesa. Sejak saya membangun rumah yang digunakan untuk tempat kegiatan Komunitas Desa Belajar Bali yang bergerak dalam gerakan literasi akar rumput, saya selalu mengarungi keindahan desa ini: sayong, gerimis, mendung, gelegar petir, kerja keras para petani, plastik di sungai, sampah, jamur tidak bernama, dll. Mungkin saya memiliki alasan tersendiri. Saya lama meningglkan desa dan pulang bukan untuk kerja tetapi untuk seperti berlibur. Semua terasa indah tentu saja. Jangan-jangan saya telah jadi turis. Tidak! Saya menolak menjadi turis.
Prinsip saya bahwa bahan cerpen yang terutama adalah peristiwa cerita nyata dalam kehidupan didukung oleh seting yang juga nyata dan tetap, ada kaitannya dengan bahwa saya memilih jalan sastra realis. Saya menerapkan pendekatan mimesis dan ekspresif. Realitas itu nikmat. Kenyataan itu indah. Imajinasi tentu lebih menjadikannya puisi.
Cerpen-cerpen saya adalah masa lalu. Semuanya sudah terjadi. Saya menceritakan ulang secara kreatif dengan peralatan dan teknik imajinasi. Karena itu, pada beberpa cerpen, waktunya adalah sekarang atau sama dengan waktu ketika kapan saja cerita ini dibaca oleh pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1953. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. London: Oxford Univerity Press.
Artika, I Wayan. 2018. “Ideologi Sastra Lekra” (Disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Asfar, A.M.Irfan Taufan , A.M.Iqbal Akbar Asfar, Mercy F Halamury. 2019. “Teori Behaviorisme (Theory of Behaviorism)” dalam https://www.researchgate.net
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Hasanah, Mukibatul dan Siswanto Wahyudi, 2013. Mengenal Proses Kreatif Sastrawan Indonesia. Malang: Cakrawala Indonesia.
Harari,Yuval Noah. 2017. Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Kompasian, 2017. “Sensasi Menulis, Membuatmu Makin Ketagihan!”
Kurniawan, Sigit. 2020. “Jalan Sunyi Seorang Penulis” dalam scriboer
Nurhadi. “Batas antara Fakta dan Fiksi dalam Tema Religiusitas”
Prihany, Mahrus. “Fiksi, Imajinasi, dan Realitas yang Terbagi” https://www.litera.co.id
Ramadhani, Yulaika. 2018. “Semesta Riset Dee Lestari dalam Novel Aroma Karsa” dalam https://tirto.id/cJfR
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metodologi, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Rofiqi, Zaim. 2017. “Pengarang “Mati”, Pembaca Lahir” Geotimes
Saputro, Muhammad Teguh. 2021. “Sastra dan Jalan Lain Filsafat” Geotime.
Saragih, Amoy Krismawati, Nola Sari Manik, Rosenna Rema Yunia Br Samosir. 2021. “Hubungan Imajinasi dengan Karya Sastra Novel” dalam Asas: Jurnal Sastra Volume 10 No. 2, Juli 2021
Sehandi, Yohanes dan Bala, Alexander. 2021. “Membaca Jejak Proses Kreatif Penyair Nusa Tenggara Timur, John Dami Mukese” dalam Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya.
Sjarifah, Rolah. 2020. “Turba, Inovasi Khas Indonesia”, IndoProgress.
Suryani, Syahroma Eka dan Rahmawati, Endang. 2022. “Unsur-unsur Budaya Suku Bajo dalam Novel Mata dan Manusia Laut Karya Okky Madasari: Kajian Antropologi Sastra” dalam SEMIOTIKA Volume 23 Nomor 1 Januari 2022 Halaman 46-64
“8 Proses Kreatif Menulis yang Harus Diketahui” dalam https://penerbitdeepublish.com
“Kuliah Nobel Sastra [22] Gao Xingjian 2000” Terjemahan oleh Mabel Lee, dan diterjemah [Prof Apollo Guru Besar Universitas Mercu Buana Jakarta, dalam bahasa Indonesia]. Hak Cipta The Nobel Foundation 2000; Gao Xingjian – Nobel Lecture. NobelPrize.org
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya
Wellek, Renne dan Warren, Austin. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Widariyanti, Cici. 2022. “Eksistensi LEKRA dalam Pusaran Manifesto Kebudayaan Demokrasi
Terpimpin” ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Volume 18, No 1, Maret 2022
Widyastuti , Sri Harti. 2012. “Pengarang, Karya dan Teks” eprints.uny.ac.id