Selama empat hari, 22 Juli, 25 Juli, 26 Juli, dan berakhir di tanggal berdirinya komunitas Gurat Institute, yakni 27 Juli 2022, terjadilah kehangatan penuh warna dan keceriaan penuh makna dalam acara Gurat Gurit 2022.
Para seniman, antara lain seniman rupa, seniman sastra, seniman musik, pengamat seni, seniman tari, tidak hanya bertemu semata. Mereka berkolaborasi. Mereka saling gesek ide, saling lempar gagasan. Maka cerialah empat hari itu.
Pada rangkaian acara Gurat Gurit hari pertama yakni ‘Mebalih Jahhh’ berupa acara screening film yang berlangsung di Nonfrasa Gallery, Ubud.
Acara yang berlangsung pada hari Jumat, 22 Juli 2022 tersebut menghadirkan film karya sineas muda Agung Yudha atau Bli Gung Yudha dari komunitas Film Sarad. Ada enam film yang ditayangkan yang semuanya bergenre dokumenter, diantaranya Pekak Kukuruyuk, Astungkara, Royal Pelebon Ida Pedanda Ring Sanur, Tutur Kota, Professor Kolok, dan WITA.
Selain pemutaran film, acara ‘Mebalih Jahhh’ diakhiri dengan diskusi yang dipandu oleh perupa muda Ketut Nugi. Dalam sesi diskusi Bli Gung Yudha berbagi cerita tentang proses kreatifnya dalam mensutradarai film-film dokumenternya.
Bli Gung memaparkan tentang apa itu film dokumenter, apa perbedaan mendasar antara dokumentasi dan dokumenter. Menurut Bli Gung Yuda dokumentasi adalah bahan dari sebuah karya film dokumenter.
“Dokumentasi itu bahannya, dokumenter itu adalah rangkaian kisah atas dokumentasi-dokumentasi itu,” kata Bli Gung Yudha.
Bli Gung Yudha mengimbuhi bahwa dalam pemilihan tema karya-karya film dokumenternya ia lebih tertarik berangkat dari tema atau persoalan yang dekat dengan dirinya. Sesi diskusi kemudian berlanjut dengan tanggapan dan pertanyaan-pertanyaan dari para audiens yang hadir.
Ada suasana dialogis yang sangat cair terjadi dalam diskusi tersebut. Para penonton yang hadir dari berbagai kalangan ikut urun rembug memberikan tanggapan, saran, masukan, hingga pertanyaan-pertanyaan seputar film yang ditampilkan oleh Bli Gung Yudha.
Memasuki hari kedua kegiatan Gurat Gurit, diadakan acara Marbar Buku yakni acara bedah buku. Buku yang dibedah adalah buku biografi I Wayan Karja hasil karya dan riset tim Gurat Institute.
Acara ini menghadirkan Wayan Karja sebagai narasumber dan I Wayan Sujana Suklu selaku penanggap, juga menghadirkan tim penulis dari Gurat Institute. Wayan Karja memaparkan tentang perjalanan keseniannya dari Bali dan memasuki medan seni rupa Barat.
Sedangkan Suklu menanggapi dan mengapresiasi buku yang ditulis Gurat tentang biografi Wayan Karja ini sebagai model dari metode penulisan diakronis dan sinkronis, melihat sisi biografi seorang seniman sekaligus mengaitkan dengan konteks historis seni rupa Bali yang lebih luas pada periode waktu tersebut. Suklu juga tertarik pada metode art healing yang dikembangkan Wayan Karja mulai tahun 2006.
Acara yang dipandu dengan hangat dan cair oleh Gek Sri Pande W ini memantik sejumlah tanggapan dan pertanyaan dari para peserta bedah buku yang hadir antara lain perupa Made Jirna, akademisi Made Ruta, perupa Nyoman Erawan dan I Wayan Arsana.
Para peserta mengapresiasi upaya-upaya penerbitan buku biografi perupa Bali seperti yang dilakukan oleh Gurat Institute dan Wayan Karja. I Wayan Arsana juga menekankan bahwa buku biografi seperti yang dikerjakan Gurat ini sangat berpeluang untuk terus dikembangkan dalam kerangka paradigmatik. Aspek teorotik dan pengetahuan bisa diketengahkan dibalik narasi dan deskripsi biografi Wayan Karja.
Acara Gurat Gurit hari ketiga menghadirkan acara Ngorta Geles” #1 yang membincangkan tentang penulisan sastra Bali Modern. Tampil sebagai narasumber adalah Gede Gita Purnama (Bayu) dan Putu Supartika. Dalam pemaparannya Gede Gita Purnama menyoal tentang keterkaitan antara sastra khususnya sastra Bali Modern dengan dunia seni rupa.
Gede Gita berdasarkan pengamatannya merunut keterkaitan ini dengan memaparkan dinamika penulisan buku-buku sastra Bali Modern dengan ilustrasi dan perwajahanya (cover) dari masa kolonial, kemerdekaan hingga kini.
Gede Gita juga menekankan agar kedepanya sangat penting dunia sastra Bali Modern melakukan lebih banyak kolaborasi dengan dunia seni rupa Bali agar tercipta kemungkinan kemungkinan baru yang bisa terjadi diantara keduanya.
Sedangkan Putu Supartika memperbincangkan tentang dinamika terbitan terbitan berkala seperti majalah, buletin, dan media masa lainya yang berfokus pada sastra Bali Modern. Supartika juga memaparkan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi dalam dunia sastra Bali modern. Salah satunya pentingnya regenerasi dalam sastra Bali Modern.
Acara diskusi yang dipandu oleh Wayan Nuriarta ini juga memantik tanggapan dari para peserta yang hadir menyimak diskusi ini. Nyoman Erawan menanggapi tentang kolaborasi antara dunia sastra dan dunia seni rupa khususnya dalam hal ilustrasi. Erawan menekankan soal kolaborasi antara perupa dan sastrawan kini bisa diarahkan pada upaya saling menginterpretasi.
Perupa sekaligus pegiat sastra I Wayan Redika menyoroti soal dinamika dunia sastra Bali Modern kini. Redika dan juga Erawan memberikan motivasi bagi tumbuhnya semangat anak-anak muda seperti Supartika yang gigih mengelola majalah sastra Bali Modern di tengah berbagai tantangan dan dinamika yang terjadi.
Dewa Purwita memberi tanggapan tentang kemungkinan penggunaan bahasa Bali dalam penulisan seni rupa. Sedangkan Wayan Seriyoga Parta memberikan tanggapan soal pentingnya ruang-ruang inisiatif dalam pengembangan diskursus maupun perbincangan tentang sastra Bali Modern.
Memasuki hari terakhir Gurat Gurit diisi dengan berbagai acara di Kulidan Kitchen & Space. Peken Senggol Gurat yang berkolaborasi dengan 15 perupa dan brand kreatif masih tetap berlangsung, di areal itu Gurat juga berlangsung Ngorta Geles #2 yang memperbincangkan Seni Rupa Dalam Kebijakan Pemerintah Daerah.
Acara ini menghadirkan Dwi Wahyuning Kristiansanti seorang penari yang kini menjabat sebagai sekretaris Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan penanggap I Komang Adiarta seorang pegiat ruang inisiatif dan owner Kulidan Kitchen & Space, dipandu oleh akademisi, penulis, dan perupa Dewa Gede Purwita.
Diskusi yang mencoba mempertemukan antara pemerintah sebagai pembuat regulasi dan fasilitator dengan para praktisi seni dan budaya selalu berlangsung dengan seru. Berbagai kebijakan yang telah dijalankan pemerintah yang diniatkan untuk memajukan seni dan budaya mendapatkan respon dari para praktisi seni budaya khususnya seni rupa berupa dukungan maupun kritik sebagai upaya untuk pembenahan bersama dalam suasana diskusi yang bernas namun tetap hadir dalam suasana cair.
Setelah acara Ngorta Geles dilanjutkan dengan acara potong tumpeng sebagai perayaan simbolik hari jadi gurat yang ke-8. Acara ini dirangkai dengan peluncuran buku ‘HARD-IMAN’, sebuah buku bunga rampai yang ditulis oleh para penulis Gurat dan para penulis muda lainnya yang didedikasikan sebagai kenang-kenangan Purna Tugas Dr. Hardiman M.Si–akademisi sekaligus kurator dan penulis seni rupa.
Keceriaan acara Gurat Gurit di hari keempat berlanjut dengan tampilnya perupa muda @kuncirsv yang menghadirkan performen interactive art berupa permainan yang digali dari khasanah permainan tradisional yakni ‘mekocokan’ atau permainan dadu, Kuncir menamainya Kocokan Sad Ripu, permainan yang mampu mengajak para pengunjung untuk menikmati suasana dengan penuh keceriaan. Dalam acara tersebut juga tampil dua grup musik yakni Germo dan Kadapat, dua grup musik yang digawangi para musikus muda dengan mencoba menggabungkan antara instrumen musik etnik Bali dengan musik elektronik.
Keceriaan malam itu berakhir dalam suasana penuh keakraban. Suksma semeton, sampai jumpa pada acara Gurat Gurit di tahun-tahun berikutnya. [T][Ole/*]