Setelah bekerja selama 2 tahun 3 bulan di Niseko, Hokkaido, Jepang, akhirnya keluarga dan saya memutuskan agar diri saya kembali melanjutkan karir di Jepang. Kali ini di lain prefektur, tepatnya di Shizuoka, Kota Atami. Kota tepi laut, yang panasnya hampir sama dengan Bali, hanya saja Bali tak punya musim gugur dan musim dingin.
Pulang ke Bali selama satu bulan seusai bekerja di Niseko kemudian kembali ke Jepang, membuat saya masih terbawa-bawa suasana di rumah. Masih ingin lebih lama merasakan kehangatan bersama keluarga. Maka itu, di sini saya menolak kesepian. Saya menyibukkan diri dengan kursus omotenashi (hospitality), meningkatkan kemampuan korespondensi, serta mengumpulkan informasi tentang Atami.
Tiba! Stasiun Atami | Foto: Riris Sanjaya
Ini shopping street di sebelah stasiun Atami. Tapi sayangnya toko-toko sudah tutup ketika saya sampai. | Foto: Riris Sanjaya
Akhirnya melihat motor di Jepang, hihiii | Foto: Riris Sanjaya
Saya tiba di Kota Atami 1 minggu lebih awal dari hari pertama bekerja. Saya ingin meng-explore daerah sekitar, terutama objek wisata dan sarana transportasi yang tersedia di Atami. Kali ini, saya berusaha menjalani hari-hari mengikuti pola orang lokal.
Saya akhirnya sudah punya sim-card jepang, dan pertama kalinya mengurus kartu identitas ke shiyakusho (balai kota) tanpa ditemani. Kali ini saya satu-satunya orang Indonesia di perusahaan saya bekerja. Dan rekan-rekan kerja pun tidak cakap berbicara bahasa Inggris seperti di Niseko yang pegawainya campuran dari berbagai negara meskipun tetap didominasi warga Jepang.
Terbayang kan betapa saya ingin ngopi sambil ngerumpi dengan teman-teman berbahasa Indonesia? Setidaknya, dalam bahasa Inggris.
Ini pemandangan dari salah satu sudut lantai paling atas hotel | Foto: Riris Sanjaya
Hotel tempat saya bekerja kali ini adalah 100 % perusahaan Jepang. Saya sudah nervous semenjak lulus interview karena akan full berbahasa Jepang. Termasuk baca dan tulis huruf kanji, yang saya sudah tidak ingat lagi.
Sistemnya baru, seragamnya baru, rekan-rekan kerja baru, semuanya baru. Semuanya sesuai dengan film-film dan drama-drama jepang yang pernah saya tonton. Semuanya jelas, teratur, dan disiplin. Untuk orang yang asalnya dari Indonesia, saya harus benar-benar ubah pola pikir dan kebiasaan. Paham kan maksudnya ya? Hahaaa…
Ini adalah Atami Castle, foto yang saya ambil langsung dari jendela kamar saya. Bagus ya! | Foto: Riris Sanjaya
*****
Di Atami inilah saya jelas melihat hal yang pernah terkabar di media, adanya permasalahan gap antara generasi usia dini dan usia lanjut. Dominan penduduk di sini adalah para kakek dan nenek dan paruh baya. Atau, apa hanya karena saya tidak pergi ke daerah yang banyak anak mudanya?
Kepala auto-pusing melihat jadwal busnya, belum paham rute yang mana ke mana | Foto: Riris Sanjaya
Ketika saya pergi jalan-jalan ke daerah dekat stasiun kereta, kecuali Sabtu dan Minggu, yang ada hanya para paman dan bibi pemilik kedai dan para pembelinya. Tapi jangan salah, tampilannya tidak seperti yang diduga. Mereka sunguh awet muda. Atami akan ramai oleh para pasangan muda-mudi ketika akhir pekan atau liburan musim panas. Terutama saat malam kembang api yang diselenggarakan pemerintah kota.
Saat pergi ke sebuah kissaten (kedai kopi) yang terlihat cantik dari luar, di dalamnya penuh dengan para nenek. Beruntung saya ke sana. Yukiko-san, pemiliknya yang sekaligus penyaji kopinya sangat ramah dan baik hati. Para nenek lainnya pun melibatkan saya dalam obrolan mereka. Saya bahkan mendapat banyak petuah untuk bertahan di negeri orang, untuk menjadi nyaman di Atami. Senangnya.
Atami terkenal akan seafoodnya karena kota tepi laut | Foto: Riris Sanjaya
Segaaaaarrr semuaaa | Foto: Riris Sanjaya
Lain hari saya mencoba pergi ke yakitori-ya (kedai sate) yang juga menyuguhkan minuman beralkohol. Di sini sate adalah peneman minum. Saya pesan segelas bir, dan segelas air putih dengan es batu. Tempatnya sangat sempit, menunya semua ditulis dalam huruf kanji di atas papan-papan kayu yang ditata di atas tembok.
Saya pura-pura membaca dan asal tunjuk saja menu satenya hahhaaaa…. Kemudian setelah saya yang adalah tamu pertama, sekitar pukul 5 sore mulailah para tamu lain berdatangan. Lagi-lagi, 2 orang kakek, dan 1 orang nenek. Sudah tua semua.
Kami seketika menjadi akrab dan bercengkrama seakan sudah kenal lama dan berusia sama. Entah saya yang menjadi tua atau mereka yang berjiwa muda.
Ini adalah Yukiko-san, pemilik Kedai Kopi Kuronbo.| Foto: Riris Sanjaya
Sayang fotonya terlambat, beberapa nenek lainnya sudah pulang duluan | Foto: Riris Sanjaya
Setelah saya perhatikan, tamu-tamu yang datang menginap ke hotel pun separuhnya adalah kakek dan nenek. Mungkin karena Atami terkenal akan ofuro onsen (pemandian air panas) yang disukai para lansia, berbeda dengan Niseko yang adalah area terkenal untuk skiing dan snowboarding. Bahkan sering juga ada kunjungan makan siang dari nenek-nenek yang tinggal di panti jompo sekitar.
Pertanyaan saya dalam hati, apakah karena penduduknya dominan adalah lansia, atau saya yang berjiwa nenek ini suka pergi ke tempat-tempat yang sama? Di mana-mana lansia. Herannya, aktivitas para lansia d isini sungguh berbeda dengan di asal saya. Mereka berdandan dan punya waktu khusus untuk bercengkrama.
Yeaaayy! Makan abalone sebagai streetfood 😂 | Foto: Riris Sanjaya
Ini kedai satenya, sungguh sempit kan? Makanannya disajikan menggunakan papan kayu panjang dari tempat kokinya berdiri! | Foto: Riris Sanjaya
Begitulah kesan awal saya tinggal di Atami. Meskipun sudah pernah tinggal selama 2 tahun di Jepang, tetapi karena berbeda pulau, sepertinya akan ada banyak kisah yang menarik ke depannya. Atami Shizuoka, saya ijin tinggal di sini ya.[T]
_____
BACA KABAR LAIN DARI JEPANG BERSAMA PENULIS RIRIS SANJAYA