Dua orang dari 22 peserta lomba melukis Wayang Klasik di Kalangan Ayodya, areal Taman Werdhi Budaya Art Centre, Bali di Denpasar menyajikan karya yang nampak berbeda. Mereka adalah Ni Made Adinda Gandari Sartika dan I Dewa Gede Ari Yoga, dua orang yang direkrut dan dipercaya oleh Komunitas Gurat Institute dan Dinas Kebudayaan Kota Denpasar sebagai duta dalam wimbakara melukis wayang klasik dengan tema “Danu Kerthi” pada hari Selasa, 21 Juni 2022.
Sebelumnya, kurang lebih selama tiga bulan mereka mendapatkan pembinaan khusus di posko Gurat Budaya Indonesia, tampil sebagai pembina adalah Vincent Chandra dan I Kadek Wiradinata adalah dua orang anggota muda Gurat Institute yang berbakat dalam seni visual.
Yang berbeda dari karya wimbakara duta Kota Denpasar adalah style yang mereka hadirkan dengan mantap merepresentasikan gaya lukisan I Gusti Made Deblog, master seni lukis dengan capaian teknik realis melalui jalan naturalistik atau yang dikenal dengan Realisme Deblog.
I Gusti Made Deblog 1906-1986 | Arsip Gurat Institute foto atas kebaikan keluarga
Sejak awal, antara koordinator (Gurat Institute), pembina dan peserta bersepakat menyatukan misi untuk menggaungkan warisan budaya tak benda yang lahir di tanah Kota Denpasar, tentu yang dimaksud adalah Realisme Deblog.
Hal ini dilakukan dengan tujuan mengangkat ketokohan Deblog sebagai salah satu kosa bahasa rupa milik Kota Denpasar ke panggung seni rupa global, mengukuhkan kembali ketokohan I Gusti Made Deblog sebagai ikon seniman rupa Kota Denpasar, menekankan ruh capaian kreativitas pengembangan wayang klasik Bali sebagai kekuatan atas keberlanjutan narasi sejarah seni rupa Bali-Indonesia.
Sejalan dengan kisah hidup dan capaian estetiknya, Deblog menunjukkan perbedaan pada era perkumpulan Pitamaha yang sebagian besar karya anggotanya berkutat dalam bahasa tradisi yang kuat melalui pakem ikonografi dan figur yang ketat, dengan logika penyelesaian gambar melalui garis kontur yang mengikat objek,
Saat itu Deblog justru tampil dengan karya yang menekankan lelaku kebebasan penggambaran gerak figur, memainkan dinamika gelap terang secara nyata sehingga tubuh figur dan objek menjadi lebih plastis dan bervolume, memainkan perspektif matematis, mereduksi ikonografi atribut figur sehingga karyanya-karyanya menjadi arus minor yang kuat di tengah-tengah pakem tradisi Ubud yang penuh pengulangan. Deblog dengan demikian menjadi patron perkembangan baru seni lukis Bali.
Foto: Hasil karya Dewa Ari Yoga – Duta Kota Denpasar
Karya-karya awal Deblog memang lebih banyak diciptakan melalui puncak capaian teknik olahan tinta hitam di atas bidang putih yang ia pelajari dari gurunya yang bernama Yap Sin Tin seorang ekspatriat Taiwan, menetap di bilangan Banjar Grenceng pada tahun 1930an.
Pada tahun 1970-an karya Deblog terlihat mulai berubah ketika ia dengan berani beralih dengan medium warna. Hitam putih mengesankan sensasi magis, detail, dan ritmik nan rumit melalui lapisan-lapisan tinta hitam di atas permukaan putih baik itu kertas dan kanvas, karya berwarnanya kemudian menghasilkan sensasi lebih menusuk sisi emosional nan dinamis yang disebabkan oleh ketepatan pengaplikasian warna, keahliannya memaknai ulang narasi klasik wiracerita epos menjadikannya dramatis melalui wujud rupa karya.
Proses Pembinaan Lomba
Pada proses pembinaan lomba oleh dua orang pembina, menekankan pada pengaplikasian warna, metode ini dipergunakan mengingat jangka waktu lomba yang diberikan panitian selama tiga jam, sedangkan jika mengaplikasikan hitam putih akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai kesan volume sebagaimana capaian Deblog.
Warna lebih mudah untuk dipraktikan dalam jangka waktu tiga jam perlombaan dengan teknik Deblog yang dalam pandangan pembina terutama Vincent Chandra bahwa untuk dapat memahami teknik Deblog harus memahami logika realis. Dari capaian dua peserta lomba duta Kota Denpasar maka hal tersebut sekiranya mereka pahami.
Foto: Proses melukis Adinda saat lomba
Ketika sebagian besar peserta melukis dengan teknik mewarnai seperti gaya wayang wayang Kamasan maka duta Kota Denpasar hadir dengan ciri khas Deblog. Tema Dewa Ruci ketika Bima mendapatkan Amretha di samudra digarap oleh Adinda Gandari sedangkan Ari Yoga melukiskan Sang Bima yang berperang dengan naga menyelamatkan Guru Drona di dasar samudra.
Apabila dilihat secara visual maka karya mereka menjadi oposisi atas karya-karya peserta lainnya yang lebih banyak menggambarkan gaya wayang Kamasan. Secara langsung terjadi juga sebentuk pemahaman bahwa rujukan wayang klasik yang digambarkan tidak harus menggambar layaknya wayang Kamasan.
Proses Pembinaan di Gurat InstituteFoto:
Perlombaan bukanlah perihal menang atau kalah, juara atau pecundang, apabila ukuran seni lukis wayang klasik diarahkan hanya kepada gaya wayang Kamasan misalkan, lantas mengapa pementasan gong kebyar oleh kabupaten/kota di Bali tidak bermain layaknya gaya kakebyaran Buleleng yang notabene tanah kelahiran gong kebyar?
Dengan demikian, maka jiwa wimbakara seharusnya lebih dari sekedar kultus gaya sebagai tolok ukur, lebih juga dari pada sebuah kompetensi. Wimbakara adalah bagian dari muara ketika kita berjumpa dengan kawan, teman, atau sahabat, ruang ketika kita mengetengahkan keragaman capaian visual, dan bagaimana misi itu dihadirkan dalam bentuk karya visual di dalam satu momemtum. Seni sebagai sebuah jalan kesadaran dan bagaimana perkembangan peradaban pemikiran visual tersebut telah dicapai. [T]
Pohmamis, 24 Juni 2022