Kamis, 16 Juni 2022, saya meniatkan diri untuk menonton parade Gong Kebyar Duta Kabupaten Gianyar. Datang lebih awal untuk mendapatkan tempat duduk yang nyaman, agar dapat melihat seluruh pementasan tanpa halangan tiang lampu Ardha Candra.
Berdasarkan pengalaman kalau ada pertunjukan di Ardha Candra pasti ribuan yang akan megarang tempat duduk. Saya saja, datang 18.30 Wita, deretan bangku di depan panggung sudah full, rapet, singset, sing misi bolong nyang besik.
Alhasil saya berulang kali mencoba tempat duduk, agar plong untuk menonton. Mungkin sampai lima kali saya pindah, karena berbagai alasan. Pindah karena, misalnya, terlalu rendah jarak pandang, terhalang lampu,atau terlalu tinggi sehingga yang pentas kelihatan kecil. Atau, susah akses keluar kalau duduk di satu titik, atau memilih kemungkinan besar tempat duduk yang tidak akan dilewati dagang taluh puyuh, aqua, kacang, dan dagang chiki.
OKE sip, nemu, sebelah kiri panggung, agak pojok, di atas, dekat jalan lalu lintas penonton. Kenapa seribet itu sih, milih tempat duduk saja?
Menonton tiga parade Gong Kebyar di atas panggung itu, sama saja seperti merasakan perjalanan dari Denpasar menuju Buleleng dengan kecepatan santai, tapi lewat Tegallalang, Kintamani, Bengkala, tembus di Kubutambahan, lantas ke Kota Singaraja. Kurang lebih 3,5 jam to waktune. Terbayang kan?
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Nah, sepanjang 3,5 jam itu tabuh-tabuh dan tarian dari Duta Gianyar seakan mengantarkan perjalanan dari Denpasar ke Singaraja via Tegallalang. Kita akan disuguhi garapan yang dinamis seperti ketika berjalan dari Denpasar menuju Tegallalang, lalu kita mendengar musik yang sejuk, lengkap dengan nyanyian burung-burung dan pemandangan alam di sekitarnya seperti saat memasuki wilayah Kintamani menuju Tajun atau Bengkala.
Pementasan mulai pukul 19.00 Wita hingga 22.21Wita. Kok tahu? Entah kebetulan atau apa, saya sempat melihat jam di layar gawai ketika awal dan usai pementasan terakhir.
Lalu, saat masuk Kubutambahan di wilayah pesisir utara menuju Kota Singaraja kita mendengar desir angina yang cukup keras dan cukup panas. Di sepanjang jalan bisa saja kita bertemu truk pasir, atau pasar yang gaduh dan cukup ramai. Artinya, secara total, kita sangat menikmati perjalanan, meski kadang kita harus berhenti untuk kencing atau sekadar melepas lelah.
Sama-sama Gianyar
Tiga parade gong kebyar dari Duta Kabupaten Gianyar yang saya tonton; Pertama, Gong Kebyar Anak-anak yang diwakili Sekaa Gong Kumara Satya Kencana, Lingkungan Sengguan Kangin, Kelurahan Gianyar, Kecamatan Gianyar. Kedua, Gong Kebyar Wanita yang disuguhkan oleh Komunitas Pancaka Tirta, Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring. Dan, ketiga, Gong Kebyar Dewasa dari Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana, Desa Adat Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh.
Perlu dicatat, pada PKB 2022 ini sistem parade Gong Kebyar tidak menggunakan sistem mebarung dengan kabupaten lain. Jadi semua ditumplek plek jadi satu hari dari kabupaten yang sama. Hal ini membuat perubahan signifikan pada perilaku penonton, tertumben saya menonton tidak ada suryak siu, tidak ada celetukan, tidak ada teriakan untuk menantang. Seperti “Ne Gianyar ne, Bos!” “Ne lawan ne!” “Gianyar tooop!” dan sejenisnya.
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Jadi suasana menonton sungguh tenang, damai, tentram, sesekali bersorak karena melihat pementasan dengan suguhan tarian yang bagus. Atau melihat adegan lucu, tertawa bersama-sama. Ya bener sih begitu. Masak iya, pituru nyama saling nagih ngelawan, ngejot bangke adane penonton ne nto. Tapi vibe yang saya rasa sungguh berbeda dari parade-parade sebelumnya yang menampilkan dua kabupaten berbeda. Atau sistem ini memang sengaja dibuat untuk mengurangi tensi yang panas semacam itu.
Secara bergantian ketiga kelompok Gong Kebyar itu pentas, setiap pergantian pentas akan ada pasukan khusus untuk menyetting properti di bagian tengah, setelah itu pembawa acara akan membacakan sinopsis yang saya rasa (selalu) panjang. Lampu padam, barulah pementasan dimulai.
Sambutan Meriah
Penampilan Duta Kabupaten Gianyar ini diawali dengan lagu Bungan Pucuk yang diiringi gong anak-anak. Lagu itu dibawakan seorang pria dan wanita itu yang kemudian menjadi semacam MC yang memandu setiap penampilan masing-masing gong kebyar dari tiga seniman yang berbeda kategori itu.
Ketika masing-masing sekaa gong itu diperkenalkan oleh MC, masing-masing memberi salam perkenalan dengan memainkan sepenggal tabuh yang memang digarap secara khusus. Aksi dari masing-masing sekaa gong itu tentu saja mendapat sambutan meriah dari pengunjung PKB.
Dalam penampilannya, Duta Kabupaten Gianyar ini memakai konsep Tridatu, sebuah gagasan konsep ajaran Agama Hindu terkait dengan Tri Kona.
Sekaa gong wanita menggunakaan busana warna merah sebagai konsep penciptaan. Sebab, dari rahim ibu-ibu itu melahirkan putra-putra yang luar biasa membangun dunia secara utuh. Sementara sekaa gong pria memakai busana warna hitam simbol Dewa Wisnu melambangkan air. Sedangkan sekaa gong anak-anak memakai busana warna putih, seperti kertas tisu, sebagai simbol mudah menyerap apapun, berharap anak-anak mampu menyerap ilmu pengetahuan.
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Sekaa Gong Komunitas Bali Agung Pancaka Tirta Manukkaya Let Tampak Siring mengawali pementasannya dengan menampilkan “Tarian Ritus Ngwayon”. Tari ini mengambarkan prosesi ritual keagamaan dengan berbagai sarana upakara dan uperengga sebagai makna hubungan harmonisasi dengan Hyang Widhi Yang Maha Agung.
Kemegahan dan kewibawaan suasana upacara tampak dengan ditarikanmya beragam kesenian baris gede dan rejang sesutrian sebagai wujud syukur sradda bakti umat akan karunia dan kebesaran Tuhan, dan seolah-olah Ida Betara pun ikut menari di alam kedewataan.
Ritus Ngewayon dihadirkan dengan menekankan gagasan, serta pikiran pokok dalam menjaga khasanah ritual, kebudayaan dan Agama Tirta di Bali. Ngewayon memberikan spirit dan pemaknaan pada esensi dasar seni sebagai persembahan, persembahan tulus iklas menjadi semangat dalam menjaga tatanan Bali.
Ngewayon Pura Tirta Empul juga merupakan persembahan kepada tirtha atau air, sehingga Pemaknaan Danu Kerthi Huluning Mertha yaitu memuliakan air sebagai sumber kehidupan, dapat terwujud. Tari ini digarap I kadek Sugiata (Dek Olih) dari penata musik oleh I Wayan Darya.
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Sekaa Gong Anak-Anak Kumara Satya Kencana kemudian menampilkan Tabuh Pepanggulan Gong Kebyar Anak-Anak Kumara Sada yang digarap oleh I Ketut Cater dan I Gusti Ngurah Jaya Kesuma.
Tabuh ini terinspirasi dari nafas kehidupan niskala ring natar Pura Sada Sengguan Gianyar yang sedang asyik bermain berbaur dengan anak-anak yang ngayah saat Puja Wali. Bali memiliki kesatuan gotong royong dengan rasa kebersamaan sebagai modal semangat bersatu untuk menuju Danu Kerthi dengan menjaga keseimbangan rasa, alam bumi kehidupan. Hal itu dilestarikan melalui nunas tirta penawaratnaan kehidupan dengan kekompakan, keindahan sebagai modal bermain dalam seni tabuh pepanggulan Kumara Sada ini.
Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana kemudian menyajikan Tari Kreasi “Ki Pasung Grigis” yang digarap oleh I Made Sudiasa dan I Nyoman Sunarta sebagai penata karawitan dan gerong. Tari kreasi ini semula diciptakan untuk memenuhi persyaratan ujian tugas akhir sarjana S1 di STSI Denpasar pada 1996, terus dilestarikan dengan penyempurnaan hingga pada 2003 tampil pada event festival Negara.
Tari ini mengisahkan keteguhan, kesaktian, dan kesetiaan maha patih Ki Pasung Grigis. Ia sangat setia pada Raja Tubagus Macuet yang bergelar Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten di kerajaan Bada Hulu.
Namun, Siasat Majapahit dan ambisi Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara membuat Ki Pasunggrigis berhasil ditawan. Menyadari akan pentingnya menyatukan Nusantara dan untuk menghindari korban yg lebih banyak dari rakyat Bali maupun Majapahit akhirnya Ki Pasung Grigis rela berkorban demi kejayaan dan kesatuan Nusantara dengan “Aku dan bumiku, aku serahkan demi satu, Nusantara”.
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Sekaa Gong Wanita ini kemudian menyajikan Kreasi Kembang Laras “Gina Ginung” Kembang Laras adalah jalinan musik dan tembang yang tertata apik sebagai sebuah sajian komposisi tabuh, sedangkan Guna Gina Ginung dapat diartikan sebagai kesadaran akan kewajiban dalam menjalankan swadarma kehidupan sesuai kemampuan dan potensi diri yang dimiliki, guna menata langkah kedamaian hidup bermasyarakat yang nyaman dan santun.
Tabuh Kreasi I Wayan Darya ini mengajak kita untuk kembali menata langkah prilaku kehidupan yang selalu mengedepankan makna keharmonisan yang demokratis, selaras, paras-paros, silih-asih, menuju kasukertan jagat.
Sekaa Gong Kumara Satya Kencana lalu menampilklan Tari Kreasi “Nawa Ratna” sebuah tari penyembutan. Karya yang ditata Agung Giri Putra dan I Ketut Cater sebagai penata iringan terinspirasi dari Pusaka Permata Nawaratna yang disucikan di Puri Agung Gianyar.
Sembilan warna yang terdapat pada permata Nawaratna, memiliki kekuatan mistik “Sembilan Dewa Surgawi” serta nilai kesucian yang mampu memberikan spirit dan aura positif. Nawaratna diturunkan pada waktu tertentu dengan sebuah ritual khusus untuk meminta air suci, yang nantinya digunakan sebagai “Tirtha Pengruwatan”
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana lalu menyuguhkan Tabuh Kreasi “Mirah Banyu” yang digarap I Wayan Dibya Adi Guna. Sungai Pakerisan, merupakan sungai yang melintasi wilayah Desa Adat Tegallinggah yang terdapat sebuah goa mengeluarkan sumber mata air bening dan bersih. Ketika terpapar sinar matahari, membias dengan banyak warna bagaikan permata nan indah yang disebut mirah. Tempat ini akhirnya disucikan sebagai tempat pasiraman khayangan tiga, panglukatan sekaligus sebagai sumber irigasi dan mata air ini sebagai sumber kehidupan.
Pengunjung PKB kemudin Tari Kreasi “Kembang Janger” oleh Sekaa Gong Komunitas Bali Agung Pancaka Tirta Manukkaya. Tarian ini merupakan bentuk baru dari seni janger yang telah dikembangkan menjadi sebuah tarian kreasi dengan iringan musik gamelan Gong Kebyar. Identitas dan kekhasan seni Janger sebagai tarian sosial pergaulan muda-mudi yang bernuansa keceriaan dan kebersamaan masih tampak kuat melekat dalam karya ini. Tari ini digarap A A Gde Oka Dalem dan I Wayan Darya sebagai penata music.
Tari kreasi dengan judul “Rare Sada” suguhan Sekaa Gong Anak-Anak Kumara Satya Kencana juga tak kalah menariknya. Karya tari ini, implementasi dari Danu Kerthi Huluning Amertha atau memuliakan air sebagai sumber kehidupan yaitu bertujuan ingin merubah jiwa “preman” menjadi seniman. Tari ini ditata Dewa Memet dan penata karawitan Anak Agung Raka Jaya Kesuma.
Sajian pamungkas duta Kabupaten Gianyar sebuah pragmentari “Ki Tunjung Tutur” yang disajikan Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana. Garapan seni ini mengangkat sebuah cermin pemimpin era baru yang memetik filsafat dari cerita kemuliaan bunga teratai. Meninggi mengikuti ruang, merendah untuk bersama.
Keteguhan membuatnya tak terpengaruh, untuk menjadi yang lain, tetapi tetap pada pancarannya. Petuah ini melahirkan sosok pemimpin di Puri Tojan Blahbatuh. I Gusti Gede Oka (Djelantik IX) yang diberikan wilayah kekuasaan di bagian selatan Danau Batur, Sebelah timur Sungai Petanu, dan sebelah barat Sungai Pakerisan, oleh kakeknya Ki Gusti Panji Sakti dan dibekali sebuah pusaka yang sarat akan filsafat bernama “Ki Tunjung Tutur”.
I Gusti Gede Oka Djelantik menugaskan putranya I Gusti Gede Geso untuk menjajagi wilayah Blahbatuh bagian utara yang belum pernah dijamah, di tengah perjalan I Gusti Gede Geso bertemu dengan I Gusti Ngurah Pacung yang akan menuju Alas Bengkel, karena kondisi jalan yang sempit maka terjadilah pertempuran hingga tak ada yang menang ataupun kalah dan ternyata keduanya memilih jalan damai. Atas kejadian tersebut tempat ini diberi nama “Marga Sengkala” dan mereka saling bertukar selendang sebagai tanda perdamaian.
I Gusti Gede Geso melanjutkan perjalanan hingga sampai di Tegal Gora, karena para pengikut beliau sangat kelelahan maka beliau memilih untuk beristirahat dan bersemedi memuja Bhatara di Pura Masceti, Keramas. Seketika muncul angin yang diikuti kepulan asap wangi dan para pengikut beliau seketika pulih kembali. Atas anugrah ini, dibangunlah sebuah pura dengan nama “Pura Tegalwangi”.
Suatu ketika serangan hama yang tak terkendali memorak porandakan lahan pertanian masyarakat di wilayah Tegal Gora, maka I Gusti Gede Geso memutuskan untuk membangun tapa kembali di pura Tegalwangi dan hamapun dapat dikendalikan, maka dibangunlah peli
Sejumlah Catatan
Beberapa catatan saya secara keseluruhan, kalau satu persatu saya bahas, nanti tulisan ini semacam novel atau roman tentang kisah cinta yang pupus karena orang ketiga, lantang melembat.
Pertama – Kesan Glamor
Kesan glamor ini saya rasakan pada properti yang sifatnya tidak bergerak, seperti dua topeng ulatan bambu di panggung sebelah kiri dan kanan, dengan ukuran gigantik – besar. Hiasan di sekitar gambelan, penyangga gong didominasi warna emas, semua gamelan juga didominasi warna tersebut. Lampul-lampu pada gapura Ardha Candra yang mekrenyep, pada bagian-bagian tertentu.
Kesan ini juga saya rasakan pada kostum pada Gong Kebyar Anak-Anak dan Wanita. Anak-anak dengan balutan baju warna putih namun beraksen emas, serta udeng, kamen, saput, secara keseluruhan. Memang terlihat putihnya mencolok, kemudian emaslah yang menyelimuti putih itu. Gong Kebyar Wanita juga demikian, dengan menggunakan kebaya warna merah, isi aksen bling-bling emas. Para wanita jika bergerak pantulan bling-bling itu memberi perhatian lebih, kemudian hiasan kepala dengan bunga warna emas, kamen juga di dominasi warna yang sama.
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Sementara Gong Kebyar Dewasa, baju mereka lengan panjang warna hitam-polos, ada bros dan kerah emas, udengnya, kamen, saput, juga ada warna emasnya, tapi sedikit. Baju mereka yang hitam itu tampak meredam emas pada pakaian lainnya. Jadi tidak terlalu terlihat.
Dominasi warna emas ini, dapat dijumpai pada pakaian-pakaian para penarinya. Penari kecak pada Gong Kebyar Wanita misalnya kendati didominasi warna biru muda, tapi tetap saja emasnya lebih. Pada penari Anak-anak juga demikian, hingga tubuh mereka pun dibaluri warna emas. Properti bergerak juga pada pola warna yang sama, bahkan ada satu pementasan tari kreasi pada Gong Kebyar Wanita yang menambah properti tugu warna hijau, dengan balutan ukiran emas, serta dua gunungan emas, yang perlahan naik ke atas, di panggung bagian belakang. Gilaaaaaaaa, besaaaar sekali.
Emas-emas-emas di mana-mana emaaaas. Wao seglamor inikah pementasan gong kebyar, saya baru menyadari dengan teliti dan menelisik ke belakang.
Sejak kapan pementasan diidentikan dengan warna emas yah? Akankah posisi, rekaan pakaian dan properti yang saya sebutkan di atas, menjadi contoh kepada warga yang menonton. Seperti film sinetron Indosiar akhir tahun 90-an dan awal 2000, selalu menampilkan kemewahan, rumah besar, mobil mewah, harta berlimpah, dan konflik soal harta benda. Namun rating-nya paling tinggi, yang menonton kebanyakan warga yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Hal itu mempengaruhi kehidupan para penonton bahwa kebudayaan materi menjadi tolak ukur kehidupan, maka dari itu ada banyak berita kita dengar tentang pertengkaran debt kolektor dengan penghutang.
Bagi saya ya, yang hidup serba pas-pasan, pas meli kopi, pas meli roko, pas untuk beli bensin, pas untuk berpacaran. Melihat pementasan Gong Kebyar itu, langsung minder, saya tidak mungkin membuat pementasan semacam ini. Pasti akan banyak menggelontorkan biaya, hanya untuk properti, kostum, dan hal-hal yang terlihat kepada penonton agar mempesona dan menghipnotis. Makanya dana PKB untuk gong kebyar saya dengar jor-joran, bahkan dana itu juga disokong oleh pemerintah kabupaten jika seandainya kurang, angkanya mencapai ratusan juta lho.. fantastis.
Jomplang yang Berbeda
Kemudian muncul pertanyaan, apakah harus warna emas – yang melambangkan kemegahan itu? Tidak adakah warna lain yang memiliki arti penting?
Tapi tenang, pementasan Ki Tunjung Tutur dari Gong Kebyar Dewasa menjawab pertanyaan saya, mereka terlihat tampil jomplang dengan pementasan lain. Jomplang memiliki arti yang melegakan pada konteks ini, tentu saja pada penglihatan saya yang sifatnya sangat subjektif.
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Pada pementasan Ki Tunjung Tutur, warna yang mendominasi adalah warna alam, warna tanah, warna bumi yang tidak berlebihan mendapat sentuhan estetika warna emas. Kalaupun ada hanya aksen pada raja, ratu, dan beberapa tokoh utama. Pemain yang memerankan prajurit nampak sederhana berpakaiannya, tidak ada kesan melebihkan, namun jangan di tanya agemya, ya prajurit gagah lah, walau tidak memakai warna keemasan.
Saya suka baju yang dikenakan orang-orang desa, ada merah padam, dan abu-abu. Saya lupa bagian apanya, yang jelas mereka memakai kamen, penutup dada, dan penutup kepala. Kesan yang saya tangkap, sebuah penyegaran mata dari pementasan sebelum-sebelumnya.
Kostum serangga yang menyerang desa, didominasi warna coklat muda. Sayap, topeng kepala, sulur baju, sulur pada bagian kaki, penutup badan pada ulat, properti pohon besar yang diletakkan pada bagian tengah panggung, rumput-rumput ilalang bagian kiri dan kanan, , senjata yang dibawa oleh prajurit, semuanyaaa warna soooooklat mudaaaa.
Saya penasaran dengan properti serangga itu, usai pentas saya ngeloyor ke belakang panggung. Ternyata itu terbuat dari rotan ukuran kecil, sebitan batang pohon pisang yang kering, serta rotan yang terbelah dua, kemudian diulat secara tak beraturan, tak berpola, namun pada bentuk yang diinginkan.
Untung saja pohon properti itu besar, sehingga dapat menutupi payasan mekrenyep di belakang panggung, coba saja pohon itu berukuran kecil, atau tidak ada pohon. Pasti dari estetika warna terlihat singkuh. Saya haturkan terimakasih pada tim Ki Tunjung Tutur, siapapun itu, suksma. Berani berbeda dengan estetika warna-warna sederhana. Bagi saya itu memiliki nilai lebih, mungkin orang lain yang memiliki pendapat berbeda, properti semacam itu pastilah dikatakan properti kurang payasan, properti setengah-setengah, properti yang tidak ikut pada zaman emas, dan lain-lain.
Ya sah-sah saja, semua penonton kan memang seperti penonton sepak bola, banyak maunya. Termasuk saya ini.
Terimakasih pada Dewa Memet
Entah pada pukul berapa orang-orang di sebelah saya, sudah ngiah-ngiuh ingin meninggalkan Ardha Candra. Saya rasa hal ini karena pergantian dan pemasangan properti yang memakan waktu lama. Saya mengerti setiap pentas memiliki konsep propertinya, tapi pernahkan membayangkan kami yang menonton, harus menunggu lama, melihat panggung gelap, hanya kelebat orang-orang memasang properti, tanpa hiburan apapun, tanpa percakapan apapun dengan MC.
Biasanya kalau di konser-konser band atau acara-acara gerak jalan, waktu kosong seperti itu diisi dengan kejenakaan pembawa acara, atau kuis, atau pantun, atau lomba, apapun lah. Yang jelas berguna untuk mempertahankan penonton, tetap duduk dan menikmati pementasan.
Saya saja harus menahan kantuk, sudah berapa dagang saya stop. Air mineral, taluh puyuh, kacang dan chiki-chikan. Agar mulut mengunyah dan kantuk hilang, kuang dagang kopi gen sebenarnya. Sing tepuk-tepuk polone…
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Keluarga di sebelah kanan saya, membawa anak kecil, berulang kali anak tersebut meminta pulang karena bosan. Tapi mama, papa, dan bibinya merayu untuk menonton satu kali lagi, yaitu pementasan tari dari Gong Kebyar Anak-anak berjudul Rare Sada garapan Dewa Selamet atau akrab dipanggil Dewa Memet.
Benar saja, tarian itu mengisahkan kenakalan anak-anak, pisuhan anak-anak, yang kemudian dialokasikan menjadi tenaga untuk latihan bela diri. Adegannya mudah dimengerti, tidak ada metafora tubuh yang sulit dicerna. Anak keluarga di sebelah saya, terpukau melihat tarian yang menjaga kejutan itu.
Ada adegan akrobatik, salto, bertarung, melompat, melangkahi temannya, ada adegan jenaka saat memecahkan patung, ada adegan keren saat latihan bersama, energi nya terasa pada kami. Tapi seluruh adegan tubuh itu tidak lepas dari pakem tari Bali, pencampuran tersebut ketara, tapi asik. Atau memang sengaja diperlihatkan.
Penampilan gong kebyar duta Kabupaten Gianyar di PKB 2022 | Foto: Tim Dokumentasi Disbud Bali
Pantat saya seketika hilang rasa sakitnya, karena sibuk tepuk tangan, keluarga sebelah anaknya tidak merengek lagi, bahkan sibuk mengomentari penari di depan panggung.
“Neh kan untung tuni sing mulih, luung kan tari anak-anakne!”
“Nah yen keto, mebalih buin cepok ya, kan terakhir suud to langsung mulih!”
Akhirnya keluarga itu tidak jadi pulang, mereka menonton pementasan terakhir Ki Tunjung Tutur, mungkin mereka tidak memperhatikan MC saat membaca nama koreografernya – penggarap yang sama dengan Rare Sada Ialah Dewa Memet. Tidak akan rugi.
Terimakasih Dewa Memet, mungkin keluarga itu akan pulang jika tidak menonton garapan tari anak-anak. [T]