Musik. Melodi, harmoni, ritme, dan timbre. Tidak ada yang tahu kapan Homo sapiens mulai mengenal seni dan musik. Namun para arkeolog memperkirakan sekitar 180.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Percaya saja, toh kita juga tidak paham ilmunya.
Sedangkan teori pra sejarah musik didasarkan pada temuan situs arkeologi paleolitik—-bahasa aneh yang “terpaksa” penulis gunakan supaya terlihat intelek. Seruling merupakan alat musik yang banyak diutamakan pada zaman pra sejarah. Di Jepang ada shakuhachi. Lalu ada seruling Divje Babe (namanya aneh-aneh) yang terbuat dari tulang paha beruang gua, yang diperkirakan sudah digunakan sekitar 40.000 tahun yang lalu.
Di Lembah Sungai Indus, India, berbagai jenis seruling dan alat musik yang terbuat dari dawai atau senar telah ada sejak zaman dulu (tahun?). India, dalam sejarah musik, dipercaya sebagai peradaban yang memiliki tradisi musik tertua di dunia—-musik yang berasal dari kitab Weda. Namun, penemuan terbesar dan tertua dari alat musik pra sejarah justru berlokasi di Cina, yang bisa dilacak balik antara 7.000 dan 6.600 SM. Sedangkan lagu-lagu Hurri adalah kumpulan musik tertulis dalam tulisan kuno yang digali dari Hurrian di kota Ugarit yang diperkirakan telah ada sekitar 1.400 SM.
Sudah cukup “sok tahu”-nya tentang sejarah musik. Mari kita bergeser ke forum Tatkala May May May yang diselenggarakan media tatkala.co di Rumah Belajar Mahima, Singaraja. Pada Minggu, 22 Mei 2022, seorang wartawan, dosen, dan penulis musik, Made Adnyana, berbagi ilmu dan cerita tentang penulisan musik dengan tajuk “Belajar Menulis Ulasan Musik Bersama Made Adnyana”.
Yang menarik, ada dua “Made Adnyana” di forum itu. Bedanya, yang satu “Made Adnyana” saja; sedangkan satunya lagi “Made Adnyana Ole”. Memang benar, pada kesempatan kali ini, Made Adnyana Ole, tokoh tukang cerita dan tukang berita ini, yang juga sosok pendiri media tatkala.co, bertindak langsung sebagai moderator. Klop sudah. Dua sahabat, sama-sama memiliki nama “Made Adnyana”; sama-sama tokoh, duduk bersama dalam satu forum, maka sudah dapat dibayangkan bagaimana suasana diskusinya.
Dan benar, Made Adnyana (tanpa Ole), membuka diskusi dengan sangat bagus, tanpa bertele-tele (seperti tulisan ini), langsung pada inti, pokok bahasan diskusi.
“Siapa pun bisa jadi penyanyi. Makanya penyanyi tidak akan ada habisnya. Dan ini bahan yang selalu menarik untuk ditulis,” kata Adnyana, sekali lagi, tanpa Ole.
Mengulas lagu atau dalam bahasa lainnya meresensi, adalah sebuah kegiatan membahas, mengkritik, menilai, dan mengungkapkan isi yang ada dalam lagu dengan bentuk sinopsis, kritikan atau data-data mengenai suatu karya.
Kalau menurut Irzal Amin dalam Terampil Menulis Sinopsis dan Resensi Karya Sastra (2021), resensi dapat digolongkan sebagai salah satu cabang kerja kritik karya seni. “Karena nilai aktualisnya sangat penting, biasanya resensi akan dimuat dalam surat kabar atau majalah. Resensi menilai kelebihan dan kekurangan karya seni dalam tiga kategori yaitu kesan pribadi (impresionistik), standar nilai seni sezaman (juducial), dan segi teknis artis yang membawakannya.”
Sementara menurut Made Adnyana, dalam menulis seni seperti musik, berbeda dengan menulis karya ilmiah yang memiliki pakem, struktur tulisan. Ia berpendapat bahwa menulis musik itu mengalir saja, “jangan terpaku pada teori apa!” ujarnya. Tetapi, ia menegaskan, “bukan berarti kemudian kita sama sekali tidak punya bekal apa untuk menulis musik.”
Made Adnyana lahir dari keluarga pecinta musik. Kakaknya pecinta lagu-lagu The Beatles. Kedua orang tuanya pecinta Titiek Sandhora. Sedangkan Om-nya, penggemar lagu-lagu India. “Tiap hari musik aja yang didengar. Makanya sebelum SD, belum bisa baca, saya sudah tahu lagu-lagu D’Lloyd, The Panbers.”
Berawal dari suka mendengarkan musik, Made Adnyana akhirnya menjadi seorang penulis musik.
Made Adnyana dan Made Adnyana Ole
Lebih lanjut, Adnyana mengatakan bahwa harga yang harus dibayar seseorang sebelum mulai menulis musik adalah; menyukai musik terlebih dahulu. Perkara teknis bisa dipelajari belakangan. Untuk belajar soal teknis penulisan musik, seorang Made Adnyana bahkan meluangkan waktu untuk menonton Akademi Fantasi yang disiarkan Indosiar. “Bukan (untuk) melihat pesertanya, (tapi) saya suka mendengar komentarnya Trie Utami. Karena dari sana saya belajar (berkomentar).”
Dalam menulis ulasan musik, hal terpenting menurut Made Adnyana adalah “jangan pernah alergi terhadap satu jenis musik.” Artinya, penulis ulasan musik yang baik harus melepaskan diri dari fanatisme genre. “Jadi penulis ulasan musik itu harus netral. Netral artinya kita harus menyukai semua.” Ini memang susah. Kalau dari awal kita suka jazz, misalnya, pasti bakal kerepotan menulis tentang rock. Atau sebaliknya. Tapi coba posisikan diri sebagai pendengar, penulis, penikmat yang “sedang” mencari tahu tentang musikalitas band atau penyanyi itu. Lepaskan fanatisme itu, Saudara. Lepaskan!
Ulasan musik selalu disajikan melalui sudut pandang penulis. Ketika seorang penulis musik tidak menyukai suatu karya musik, apa pun alasannya, maka boleh jadi dia akan menulis buruk tentang karya tersebut. Begitu pun sebaliknya. Meski pada satu sisi, ulasan musik juga dituntut menyajikan keberimbangan opini dan fakta-fakta objektif tentang suatu karya. Ketika seorang penulis ulasan musik menuliskan penilaian negatif atas karya tersebut, seharusnya tidak berhenti pada aspek celaan atau penilaian permukaan semata. Penulis ulasan yang baik justru membutuhkan pemaparan argumen yang komprehensif untuk menjelaskan alasan baik/buruk sebuah karya.
Sebagai seorang penulis ulasan musik, Adnyana mengungkapkan bahwa dalam seni tidak ada kasta tinggi-rendah. “Seni itu semua memiliki ke khasan, kenikmatan masing-masing.”
Penilaian tinggi-rendah seni musik ini terekam dengan baik dalam Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya (2018) karya Idhar Resmadi. Pada tahun 1970-an, terdapat dua genre musik yang saat itu tumbuh besar di Indonesia yaitu rock dan dangdut. Dari sini kemudian muncul istilah “Kampungan versus Gedongan”. Majalah Aktuil, menurut Idhar, “punya peran besar dalam membentuk selera anak muda agar menyukai musik rock sebagai musik keren dan gaul atau musik gedongan.”
Sementara pada era yang sama, “dangdut sering dimunculkan di halaman-halaman Aktuil dan media cetak populer lainnya yang cenderung mengejek atau mengolok dangdut sebagai kampungan dan kolot,” lanjut Idhar dalam bukunya.
Ulasan musik mencakup wilayah-wilayah seperti teknis musik (ritme, akor, melodi, dan lirik) hingga pertunjukan musik (dekorasi panggung, latar panggung, tata lampu, kostum, hingga gerakan tari).
Sebagai moderator, Made Adnyana—-kali ini dengan “Ole”—-menyampaikan kesimpulan sementara sebelum sesi diskusi, “penulis ulasan musik itu sama seperti penulis lain. Artinya, dia harus membekali ilmu-ilmu tentang musik terutama, juga ilmu-ilmu lain; ilmu politik, sosial, lingkungan, psikologi, filsafat. Kalau penyanyi lebih banyak bermain musik; kalau penulis musik lebih banyak membaca. Selain membaca buku ya membaca situasi; membaca perkembangan politik sekarang itu seperti apa pengaruhnya dengan musik.”
Menulis musik sama pentingnya dengan menulis seni yang lain. Dalam tulisanya Apakah Ulasan Musik Masih Penting?, Aris Setyawan menyampaikan, “ulasan musik—atau jika tulisan itu lebih panjang, mendalam, dan komprehensif bisa disebut sebagai kritik musik—itu penting. Kenapa? Karena ia berperan layaknya legislatif yang mengawasi dan menjaga musik sebagai eksekutif agar bekerja dengan sebaik-baiknya.”
Maka menuliskan ulasan musik. Perkara apakah ulasan musik itu kemudian diamini oleh pembaca yang lantas mendengarkan album musik yang diulas atau tidak, itu urusan belakangan. Ya namanya juga panduan kan? Ia tidak selalu harus dituruti. Yang jelas, dengan mengulas musik, kita telah melakukan sesuatu yang penting: berbagi ilmu pengetahuan. Ya, musik adalah bentuk ilmu pengetahuan, bukan sekadar sebuah hiburan semata. Itu.[T]
Tonton video selengkapnya…