— Catatan Harian Sugi Lanus, 31 Mei 2022
1. Rentang dunia Bali Aga yang bisa dilihat di Pedawa tidaklah terbatas pada dunia pegunungan yang tertutup. Pedawa yang lekuk alamnya dalam lembah dan seperti terisolasi, jika kita lihat dari “rekaman lama” yang tersimpan dalam bentuk pemujaan, ternyata punya relasi dengan belahan dunia yang luas, bahkan kemungkinan sampai ke belahan Sri Wijaya, Melayu, dan mungkin sampai India Barat?
Dari ruang intim pemujaan masyarakat Pedawa, dengan melihat Roh Suci yang dimuliakan (Bhatara-Bhatari) di Pedawa, kita mendapati:
— Ratu Ngurah Wates (yang dipercaya sebagai Gajah Mada?)
— Ratu Ngurah Melayu tabeng wijang, yang persembahannya di sana dengan persembahan kijang, masih tanda tanya belahan dunia mana yang dirujuk sebagai Melayu.
— Ida Bhatara Surat-Melayu, ini dibedakan dengan Ngurah Melayu. Tampaknya merujuk pada peta geografis yang berbeda, dan jika dicarikan peta dunia yang dirujuk oleh istilah Surat adalah wilayah India Barat dalam peta modern sekarang. Surat adalah sebuah pelabuhan kuno di India Barat.
— Di Pura Desa Pedawa terdapat pemujaan Bhatara Keling, ini juga menjadi pemicu pada kita: Apakah gelar Keling ini merujuk pada peta geografis, atau Keling bisa diartikan ‘hitam atau warna? Dałam Prasasti Patakan (angka tahun aus), sebuah prasasti Jawa Kuno, disebutkan: “ńikaŋ wārggā kilalān kliŋ āryyā sińhala paņdikira dravida campa rĕmĕn kmir…” Kliŋ (Kalingga) adalah salah satu suku dari India kuno yang telah melanglang buana berlayar dari era yang sangat kuno. Sementara itu Sińhala adalah Srilanka, āryyā adalah salah masyarakat kono India (non Dravida), Pandikira merjük pada warga Asia Selatan(Pandya dan Kerala), Dravida sendiri adalah suku dari Asia Selatan (Tamil), Campa merupakan bagian dari Vietnam sekarang (atua Cam), Kmir adalah Khmer, dan Rĕmĕn atau Mon merupakan suku dari Burma. Dałam konteks persebaran bangsa-bangsa asing di era Nusantara kuno ini Pedawa punya sisipan ingatan: Bhatara Keling.
2. Jika kita lihat pemuliaan Ratu Ngurah Melayu dan Ida Bhatara Surat-Melayu; dunia atau alam pikir masyarakat Pedawa menyimpan ingatan atau konektivitas dengan “dunia Melayu”.
“Melayu kuno” atau “Melayu tua” adalah mengandung banyak penjelasan sejarah kuno Nusantara. Melayu bukan sebatas bahasa (yang menjadi muasal bahasa Indonesia modern) tapi juga ranah peradaban kuno yang terkait dengan Kerajaan Sri Wijaya. Sriwijaya adalah pusat kerajaan dan tata pemerintahannya. Sementara Melayu adalah bahasa, wilayah dan budaya yang menjadikan denyut Kerajaan Sriwijaya punya rekam jejak dan legasi sampai kini bisa kita jejaki.
Ratu Ngurah Melayu dan Ida Bhatara Surat-Melayu menarik kita renungkan: Apakah Pedawa menyimpan ingatan pada kejayaan Kerajaan Sriwijaya atau negeri Melayu?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Pemuliaan Ratu Ngurah Melayu dan Bhatara Surat-Melayu mengingatkan kita pada prasasti yang disimpan di desa Gobleg tidak jauh dari desa Pedawa. Prasasti tersebut menyebutkan gelar Ratu dengan nama Sriwijaya Mahadewi. Pada periode salah satu pemimpin pemerintahan Bali, disebutkan yang dimuliakan adalah Sri Wijaya Mahadewi, berangka tahun 983, kembali mengisyaratkan bahwa pulau Bali menghormati ratu Sriwijaya Mahadewi. Terbaca dalam prasasti Gobleg Pura Desa II “padukanda siwi yam dini di bali” (Goris, 1954 79) yang artinya “beliau yang dihormati di sini di Bali”.
Kita tidak akan pernah mendapat jawaban pasti siapa sosok Śri Wijaya Mahadewi (yang masa berkuasa 983-989 M), seorang ratu perempuan pertama di Bali. Para ahli menaruh perkiraan bahawa sang ratu adalah putri dari Mpu Sindok dari kerajaan Mataram Kuno. Berdasarkan gelar Mahadewi yang punya penjelasan kata Śri Wijaya, pembaca prasasti ulung bernama P.V. van Stein Callenfels (1924:30) berpendapat bahwa ada kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Dalam artikelnya yang berjudul ”De Stamboom van Erlangga”, yang terbit tahun 1950, pakar sejarah Jawa Kuno J.L. Moens menghubungkan sosok ini terkait dengan kerajaan Jawa Timur.
Melihat jejak pemuliaan Ratu Melayu di Pedawa, saya membuka kembali kemungkinan dan dukungan pada pendapat P.V. van Stein Callenfels. Dengan beberapa alasan bahwa:
— Ratu Sri Wijaya Mahadewi yang diduga mangkat pada tahun 911 Saka (989 M) digantikan oleh Sri Dharmodayana Warmadewa. Sumber dari Jawa Timur menyebutkan bahwa Sri Dharmodayana Warmadewa adalah raja dengan trah tinggi yang sangat dihormati. Karena ia adalah pengganti Ratu Sri Wijaya Mahadewi, kemungkinan Sri Dharmodayana Warmadewa adalah putra dari Ratu Sri Wijaya Mahadewi.
— Ayah dari Udayana, menurut informasi di Jawa Timur, adalah Udayana I. Dan Sri Dharmodayana Warmadewa adalah Udayana II. Terbuka kemungkinan bahwa Udayana I menikah dengan Ratu Sri Wijaya Mahadewi, yang ketika mangkat diganti oleh permaisurinya.
Pendapat P.V. van Stein Callenfels perlu kembali dibuka dan sangat penting dipertimbangkan.
Relasi Bali dan kerajaan Sri Wijaya, dengan melihat peninggalan banyaknya situs candi agama Buddha yang diperkirakan satu era dengan situs Buddha Sriwijaya, yang ditemukan berserakan di Kalibubuk yang tidak jauh dari Pedawa dan Gobleg; relasi Bali dan Sri Wijaya bukan sulit kita pungkiri.
Para pakar yang menolak relasi Bali dan Sri Wijaya ini ada yang beralasan bahwa Udayana trah Warmadewa yang berujung pada Kesari Warmadewa. Padahal, jika kita lihat lebih rinci gelar penguasa Kerajaan Sri Wijaya sendiri, gelar yang dipakaipun Warmadewa. Bali dan Sri Wijaya memakai gelar Warmadewa. Setelah periode Balaputradewa atau Walaprabhu tahun 860 M menjadi raja di Sri Wijaya, pelanjutnya adalah trah dengan gelar Warmadewa, sebagai berikut:
— Sri Udayaditya Warmadewa (960–988 M)
— Sri Cudamani Warmadewa (988–1008 M)
— Sri Mara-Wijayottunggawarman (1008–1017 M)
— Sangrama-Vijayottunggawarman (1017–1030 M).
4. Desa Pedawa dinyatakan berkaitan atau “berhulu” di Gobleg. Pendapat ini sering disebut oleh banyak warga Pedawa, sekalipun tidak menjadi pemikiran atau rujukan sejarah desa secara terbuka, tetapi kenyataan bahwa “berhulu di Gobleg” ini menjadi kesadaran atau “ingatan” yang kerap disebut dalam perbincangan di masyarakat Pedawa.
Mengkaitkan prasasti Gobleg Pura Desa II yang menyebutkan “padukanda siwi yam dini di bali” (Goris, 1954 79) yang artinya “beliau yang dihormati di sini di Bali” yaitu Ratu Sri Wijaya Mahadewi (Mahadewi berasal dari Sriwijaya?) dengan pemujaan dan pemuliaan Ratu Ngurah Melayu dan Ratu Surat-Melayu mungkin akan mengundang banyak pertanyaan.
Dalam dunia tutur atau sejarah lisan hampir tidak ada yang merujuk penyebutan bentang Sumatera atau kerajaan Sri Wijaya. Tetapi yang disebut adalah Melayu. Melayu merujuk pada ranah budaya, bahasa, dan bentang alam atau kerajaan-kerajaan di Sumatera, ini yang dirujuk ketika masyarakat Bali menyebut atau memuliakan Bhatara Melayu atau Ratu Melayu.
Situs Buddha di Kalibubuk yang tidak jauh dari Pedawa pun jarang dikaitkan dengan Pedawa; setidaknya memang tidak ada informasi yang diingat lagi oleh masyarakat Pedawa. Yang diingat atau masih dirayakan oleh masyarakat Pedawa adalah Labuhan Haji — Haji berarti Raja dalam gelar lengkap Paduka Haji.
Di wilayah yang disebut sebagai Labuhan Haji di pesisir Utara Bali ini disebut dan diingat oleh masyarakat Pedawa sebagai ujung batas utara wilayah Pedawa kuno. Masih ada jejak pemujaan di batas Labuhan Haji yang menjadi tempat pemujaan kuno masyarakat Pedawa, yang menjadi wajib dipelihara oleh masyarakat Pedawa sampai kini oleh beberapa keluarga. Di sinilah sisi terluar atau pesisir atau pelabuhan kuno yang menjadi pintu luar Pedawa terkait dengan dunia luar, pesisir atau pelabuhan yang punya kemungkinan masyarakat Pedawa punya jejak hubungan dengan Melayu.
5. Ratu Ngurah Melayu yang dimuliakan di Pedawa punya versi legendanya.
Disebutkan bahwa Ratu Ngurah Melayu adalah seorang yang memang berasal dari Melayu. Penduduk Pedawa memuliakannya karena sang tokoh berpulang di Pedawa. Jika kita telisik apakah legenda ini sebatas legenda yang tidak ada akar historisnya? Apakah pemuliaan “sosok dari tanah Melayu” ini sebagai “penanda” bahwa adanya “trah Melayu kuno” di Pedawa?
Merenungi pemuliaan Ratu Ngurah Melayu dan Ratu Surat-Melayu,kita diajak belajar kembali di Pedawa tentang masa silam Bali yang tidak sederhana.
Setidaknya apa yang disebut sebagai Kawasan Bali Aga/Mula di Pedawa, kita bisa telisik, bukanlah sebuah wilayah atau ranah budaya yang manusianya tertutup dengan relasi luar negeri di masa silam. Belajar dari Pedawa, kita melihat masa silam Bali tidak tertutup pada dunia luar. Terbentang kemungkinan bahwa kita mungkin saja abai bahwa leluhur kita telah demikian terbuka pada dunia dan relasinya pada kesejagatan tidak sesederhana yang kita pikirkan.
Dari ritual Ratu Ngurah Melayu di Pedawa yang dirayakan dengan upacara khusus yang bernama MUGA I MELAYU — upakara ini disertai dengan pembuatan miniatur perahu dan berbagai peralatan pelayaran atau dunia transportasi laut lainnya, membuat masyarakat Pedawa percaya bahwa sosok Ratu Ngurah Melayu bukan sekedar sosok mitologis atau legenda, tapi adalah “leluhur yang harus dimuliakan dan dikenang”: Terbentang bagaimana dunia pelayaran antar pulau dan kaitan dengan migrasi atau perjalanan ke dunia luar bisa dilihat dalam ekspresi upakara suci MUGA I MELAYU di Pedawa.
Sekali lagi, Pedawa yang selama ini dilihat sebagai desa terisolasi, bukanlah sebuah desa yang tertutup. Pedawa adalah sebuah pintu ke masa lalu yang jauh. Pedawa adalah sebuah gerbang melihat hubungan manusia kuno Bali dengan dunia luar yang bentangnya jauh sampai ke pulau-pulau seberang.[T]