Sekilas memandang hasil foto udara di atas yang menampilkan potret area Gili Menjangan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali, tak pelak akan mudah mengundang decak kagum bagi mereka yang mempunyai naluri keindahan dan kehebatan penguasa alam semesta. Bentangan alam semacam ini mudah pula menghasilkan predikat betapa eksotiknya pulau ini lewat beberapa keunggulan yang biasa dijadikan bahan promosi oleh pelaku wisata.
Kekayaan lautnya berupa terumbu karang, ikan hias, goa laut dan warna gradasi laut setidaknya dipandang sebagai daya tarik bagi mereka yang gemar menikkmati alam bawah laut. Oleh karenanya Gili Menjangan masuk dalam katagori tempat diving pilihan selain Tulamben di Karangasem. Pulau yang diperkirakan memiliki luas 6.000 hektar tempat hunian binatang langka menjangan (sesuai nama pulaunya) pesonanya dilengkapi dengan kehadiran sejumlah pelinggih yang berjejer di pinggiran tebing pantai.
Kehadiran pelinggih di Gili Menjangan tak pelak menyedot kehadiran pemedek dari mulai didirikan (tahun 1999) sampai saat ini. Perjalanan spiritual ke Menjangan untuk kedua kalinya bukan lagi hanya masyuk pada khusuknya persembahyangan, eksotiknya alam menjangan, jinaknya hewan menjangan, gradasi laut nan elok namun,tak terduga muncul pertanyaan yang mengusik naluri kritis penulis tentang apa yang salah dalam pengajaran sejarah tentang Tokoh Gajah Mada.
Bermula dari pertanyaan menggelitik datang dari seorang anak muda (Komang Tri) yang saat ini berstatus sebagai mahasiswa semester II Jurusan Desain komunikasi Visual di ITS Surabaya. Ada beberapa pertanyaan yang terlontar saat rehat di Pura Segara Rupek, di tengah Hutan Lindung Taman Nasional Bali Barat,yang menggugah untuk didialogkan.
Pertanyaan yang dimunculkan sangat menarik, tatkala dikaitkan dengan kepentingan pengajaran sejarah kritis yang notabene perlu diperkenalkan kepada generasi muda tentang cara belajar sejarah yang bermakna, agar bisa keluar dari belajar sejarah yang terkurung dalam ikatan jejak-jejak sejarah yang dibakukan.
Perjalanan penulis di awal ke Gili Menjangan sesungguhnya hanya diniatkan melakukan persembahyangan sebagaimana umat Hindu pada umumnya, sembari mengisi liburan panjang Hari raya Idul Fitri tahun 2021. Namun, tak dinyana, perjalanan kali ini menyisakan situasi dialogis antara sekumpulan anak muda dengan orang tua tentang Tokoh Gajah Mada yang memang pelinggihnya hadir dan merupakan bagian dari sejumlah pelinggih yang ada di pulau ini, yakni Pendopo Agung tempat berstananya Ida Bhatara Lingsinr Gajah Mada.
Tempat persembahyangannya dibuat menyerupai pendopo sebagaimana pemberitaan yang seringkali diajarkan kepada para siswa dalam materi sejarah Majapahit bahwa pendopo adalah tempat bersidangnya Raja dengan para pejabat tinggi. Sensasi pendopo memang sangat kental dihadirkan dalam ruangan ini.
Pertanyaan yang datang dari Mang Trik akhirnya memicu dialog panjang saat tiba di Bale Panjang Pura Segara Rupek dengan anggota rombongan lainnya yakni Eka Jayanti (Sarjana Sastra Inggris Universitas Gajah Mada) dan Bapak Ketut Margi (Dosen Undiksha).
***
Catatan dialognya sebagai berikut,
- Mang Trik :
“Mengapa Gajah Mada tidak jadi Raja, padahal dia kan orang besar. Harusnya dia bisa jadi raja?
“Mengapa Gajah Mada hanya mau jadi patih ? Menjadi raja kan lebih keren, punya kekuasaan?”.
“Mengapa Kebo Ireng harus menjadi korban ambisinya Gajah Mada?”
- Eka Jayanti :
“Memang harus jadi raja?”
- Mang Trik :
“Iya dong, raja itu kan cerminan orang besar, lagi pula untuk apa dia mempersatukan Nusantara, kalau ujung-ujungnya masih tetap jadi patih?”
- Eka Jayanti :
“Bukannya menyandang status sebagai Orang Besar, tidak harus menjadi Raja?”
- Mang Trik :
“Menurutku Gajah Mada itu cocok jadi Raja, jasanya besar”
- Eka Jayanti :
“Menurutku tak haruslah, tanpa jadi Raja, Gajah Mada sudah tokoh besar yang dihormati”
Pak Ketut Margi tak kuasa menahan diri untuk menengahi, lewat gaya dosen sejarah dengan tampilan kritis, tanpa canda memulai masuk dalam dialog.
- Pak Tut Margi :
“Wah, pertanyaan Mang Trik Bagus itu. Kritis dan langka. Mengapa langka? Yach, karena dalam belajar sejarah tentang Majapahit dengan Pesona Gajah Mada, murid hanya disuguhi fakta fakta tentang Amukti Palapa, prestasi seorang Patih Gajah Mada yang mampu mempersatukan Nusantara, bahkan ada guru sejarah yang mengajak muridnya memahami kehidupan tokoh ini lewat cerita mitos bahwa Gajah Mada adalah anak biologis dari Raja Hayam Wuruk.
Memang dalam batas tertentu, kita harus akui bahwa pengajaran sejarah dalam jangka waktu yang sangat lama acapkali membawa siswa ke hutan pemikiran yang bisa membuat anak tersesat dalam pemikiran yang sempit dan tidak menemukan makna belajar sejarah. Kali ini Mang Trik menjadi salah salah satu anak muda yang mencoba melihat cara memandang masa lampau dari perspektif yang berbeda. Karena Mang Trik mengawali cara memandang Gajah Mada lewat pertanyaan kritis, maka untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu diperlukan frame teori untuk memahami jawabannya, mengingat fungsi teori adalah melatihkan kita untuk paham tentang sesuatu.
Ada beberapa teori yang bisa menjelaskan mengapa Gajah Mada tidak menjadi raja. Teori fenomenalnya adalah Teori Struktural Fungsional. Intinya, teori ini mengajarkan kita melihat keterkaitan antar komponen struktur yang saling berkaitan lewat fungsinya masing-masing untuk menciptakan keharmonisan. Demikian pulalah tatkala kita melihat posisi Gajah Mada lewat teori ini. Bisa dijelaskan di aras teori ini Tokoh Gajah Mada terikat pada dimensi kultur dan struktur.
Secara kultural Gajah Mada sangat terikat dengan kultur yang menjeratnya lewat dalil tautan Tuan-Hamba – seorang hamba akan ada di bawah aturan main tuannya. Hal ini biasanya dikuatkan lewat petatah-petitih yang tidak boleh dilanggar. Secara struktur jelas, posisi bawahan – atasan merupakan gambaran hirarki yang sekaligus memuat relasi kuasa satu sama lainnya. Perkara kultur dan struktur inilah yang bisa menjadi kondisi yang membuat kita tidak mewarisi kisah Gajah Mada Menjadi raja.
Di tengah seriusnya Pak Margi menjelaskan, tiba-tiba Mang Trik menyela
- Mang Trik :
“Bukankah Gajah Mada punya kemampuan untuk berontak sama raja untuk merebut kekuasaan”, Apa memang harus tunduk ?
- Pak Margi :
“Yach betul ketika Mang Trik melihat Gajah Mada dari frame teori kritis, yakni Trik melihat dari pemilikan modal dalam diri Gajah Mada. Ini sesuai dengan teori Modal dari Pierre Bourdieu. Lewat teori ini dijelaskan bahwa pemilikan modal akan dapat dijadikan alat untuk melakukan perubahan sosial. Bourdieu memilah pemilikan modal berupa Modal intelektual; Modal Ekonomi; Modal Sosial dan ada yang melebarkannya dalam sebutan pemilikan Modal Tubuh.
Semua modal yang dimiliki seseorang bisa saling berkelindan dalam menciptakan perubahan sosial. Tatkala Gajah Mada dibidik dari kacamata Teori Modal Bourdieu sebagaimana Mang Trik melihatnya, Why Not Gajah Mada bisa menjadi raja, tapi……. Kan fakta sejarah menunjukkan dia tidak pernah menjadi raja. Berarti ada penjelasan lain di luar penjelasan ala Bourdieu tentang pertanyaan mengapa Gajah mada tidak menjadi raja.”
- Eka Jayanti :
“Benar Trik, jadi raja atau pun tidak, itu adalah pilihan”, dalam hidup itu, kita lebih banyak dihadapkan pada pilihan dari sekian banyak keharusan yang harus dijalankan, dan ingat setiap pilihan adan konsekuensinya. Gajah Mada memilih tidak menjadi raja, konsekuensinya dia harus tunduk pada perintah raja.
Aku sih melihat Tokoh Gajah Mada tokoh yang punya kuasa secara hidden di balik kuasa Raja Hayam Wuruk”. Benar kata Wak Tut Margi, memahami masa lampau perlu bekal teori agar kita generasi muda bisa paham arti belajar sejarah dan sekaligus menemukan makna hidup, bukan menghafal fakta kering.”
- Pak Margi :
”Kalian semua diharapkan menjadi generasi yang punya kesadaran sejarah kritis lewat proses dialogis yang sehat dan jauh dari syak wasangka. Dialog hari ini sesungguhnya telah membuka cakrawala berpikir antar generasi yang menjadikan liburan kali ini menjadi lebih bermakna. Demikian pula ketika kita mencoba untuk paham mengapa Gajah Mada menggunakan tipu muslihat terhadap Kebo Iwa?
Dari frame kultur politik, hendaknya dipahami tipu muslihat adalah bunga rampai dunia perpolitikan. Makna yang bisa dipetik, jika Anda masuk ke dunia politik maka Anda memang harus mempersiapkan mental untuk berhadapan dengan mereka yang acapkali menggunakan tipu muslihat dalam mencapai tujuan.
Cara kompromi untuk menyelamatkan semua pihak biasanya hanya sisi imajiner (hal yang dibayangkan, dicita-citakan dalam kultur politik), empiriknya- tipu muslihat adalah strategi yang lebih mempesona ketimbang kompromi. Dari sisi lain, bisa juga dijelaskan, bahwa pengorbanan adalah dimensi lain dari suatu pengabdian.”
***
Perjalanan ke Gili Menjangan kali ini menyuguhkan pula pemahaman sejarah yang monumental bagi kejernihan pikiran kita, bahwa apapun pewarisan yang telah ditorehkan dari tokoh-tokoh sejarah di tempat ini beliau di-stanakan, dipuja, dihormati sehingga terpahami dalam kejernihan pikiran bahwa Masa Lampau punya arti besar dalam proses pendewasaan pribadi kita”. Ingat Mang Trik, benar kata Eka, dalam hidup kita dihadapkan pada pilihan dengan segala konsekuensinya”.
Pesona Gili Menjangan dalam catatan dialog yang penulis tonton dan simak kali ini ternyata telah menambah predikat pulau ini bukan hanya sebagai arena yang memanjakan fisik dan batin, namun telah bertambah menjadi wisata sejarah yang bisa saja menjadi arena untuk melahirkan kelompok pecinta sejarah yang mampu membangun kesadaran sejarah kritis yang mampu merajut pemikiran yang jernih tentang arti belajar sejarah. Paham sejarah = Paham Jaman = Paham Jati diri.
Kembali ke sosok Mang Trik. Kentara sekali dia bisa dikategorikan mewakili jiwa muda yang berontak terhadap cara berpikir yang mapan dan tidak memuaskan dirinya kalau hanya disuguhkan hal-hal yang biasa. Ini tampak dari ekspresinya yang gigih terhadap prinsip yang dipegangnya.
Saya agak curiga, jangan-jangan sosok semacam ini barisannya panjang, namun karena banyak yang masih terjebak dalam kubangan belajar sejarah yang telah dibakukan lewat fakta-fakta sejarah, sehingga tetap terkurung dengan sejarah hafalan yang menjerumuskan dan melahirkan sterioty belajar sejarah yang menjemukan.Kini, sudah saatnya anak didik dibiasakan belajar sejarah lewat kontruktivis pengetahuan kesejarahan yang mendudukkan fakta sejarah sebagai stimulus agar tercipta kebaruan pengetahuan sejarah yang memberi tempat pada cara pandang generasi muda tentang masa lampau yang dipelajarinya. [T]