Pertumbuhan ekonomi Bali minus 12 persen. Paling buruk dibandingkan daerah lain di Indonesia. Untuk cepat pulih, mesti ada “traffic”. Tanpa aktivitas masyarakat, tidak akan terjadi geliat ekonomi.
Awal Covid-19 melanda Indonesia (seluruh dunia), sektor ekonomi kita (Bali) langsung terpukul. Sektor usaha langsung anjlok. Penjualan turun 60 hingga 70 persen dari situasi normal.
Data ini, hasil kompilasi dari ngobrol tipis-tipis dengan sesama pebisnis. Diskusi dari para pelaku bisnis kecil (UMKM).
Ketika awal covid-19 mewabah di bulan Maret 2020, penjualan masih normal di masa ini. Memasuki bulan April, penjualan masih pada kisaran 40-45 persen. Kondisi ini berlangsung hingga bulan Juli 2020. Memasuki bulan Agustus -saat pemerintah meluncurkan kebijakan new normal- ekonomi mulai menggeliat. Sekejap saja, penjualan merangkak naik ke angka 50 persen.
Ini kabar menggembirakan. Ekonomi makin membaik pada bulan Agustus-September 2020. Pendapatan merangkak ke angka 75 persen. Tak hanya sektor UMKM yang memilki harapan ekonomi bakal cepat pulih. Sektor ekonomi lainnya pun sama menggeliat. Misalnya, data menunjukkan penjualan mobil di bulan ini juga ikut terkerek naik.
Pelaku ekonomi ketika itu, memiliki harapan bahwa kondisi ekonomi akan berangsur pulih pada bulan ke bulan berikutnya.
Kenapa pada bulan September lonjakannya signifikan, untuk ukuran pandemi?, jawabannya adalah aktivitas masyarakat mulai berangsur normal. Warga mulai keluar rumah beraktivitas setelah lima bulan sebelumnya berada di rumah saja. Aktivitas warga secara masif, dalam ukuran new normal pada waktu itu, berdampak pada sektor ekonomi.
Tiba-tiba saja manusia yang sebelumnya diam rumah, begitu bisa keluar rumah, ada yang ingin membeli tipat cantok, jaje gula bali, makan di restoran. Hasrat nongkrong dan minum di kafe tersalurkan. Mulai berani belanja ke pasar, swalayan, dan aktivitas lainnya. Imbasnya, ekonomi kecil mulai berputar.
Ada lonjakan juga karena masyarakat bisa bertransaksi karena masih memiliki simpanan uang. Saldo di rekening masih aman. Tabungan hasil bekerja dari tahun sebelumnya masih ada di brangkas rumah.
Melihat suasana membaik, pelaku usaha, termasuk saya, mulai memasang target bahwa Januari 2021 ekonomi bakal pulih seiring turunnya kasus Covid-19.
Tapi apa daya, prediksi itu melenceng jauh. Setelah ekokomi merangkak naik pada bulan Setember, justru kembali melemah di bulan Oktober. Saat itu, pelaku usaha masih bisa tenang. Mungkin, warga masih bernafas sejenak. Mereka menahan diri tidak banyak membelanjakan uangnya.
Memasuki bukan November lanjut ke bulan Desember situasi ekonomi Bali ternyata semakin sulit. Saat pertumbuhan ekonomi di provinsi lain minus pada kisaran satu digit, misalnya minus 3 sampai 5, Bali justru pertumbuhannya minus dua digit di angka minus 12. Ini mulai jadi pertanda buruk.
Setelah mencermati data BPS tentang kunjungan wisatawan mancanegara pada bulan April hingga Desember 2020, ternyata hanya sebanyak 808 orang wisman yang datang ke Bali. Maka dapat disimpulkan bahwa menurunnya sektor ekonomi akibat dari anjloknya sektor pariwisata Bali.
Memasuki bulan Januari dan Februari, perkembangan sektor ekonomi Bali makin parah. Kondisi Bali berbanding terbalik dengan daerah lainnya. Kebijakan pemerintah memberlakukan PPKM kemudian menjadi PPKM mikro makin mencekik perekonomian Bali.
Yang membuat makin cemas, ternyata penjualan di bulan Januari dan Februari 2021 sudah hampir mendekati kondisi bulan April hingga Juli 2020. Penjualan turun lagi pada kisaran 40-45 persen. Angka yang mengkhawatirkan.
Mengapa penjualannya turun lagi? Penyebabnya adalah tabungan masyarakat Bali sudah mulai menipis bahkan mungkin sudah ada yang mulai habis.
Tidak ada pergerakan masyarakat juga membuat perputaran roda ekonomi melambat.
Kondisi ini tidak bisa dianggap remeh temeh oleh pemerintah Bali. Gubernur Bali dan bupati/walikota harus mampu membuat terobosan untuk mengkerek kembali sektor ekonomi Bali.
Penerapan kebijakan PPKM mikro jangan membatasi aktivitas ekonomi Bali terlalu ketat. Jangan ada lagi Satpol PP menutup paksa lapak pedagang nasi jinggo di pinggir jalan. Jangan lagi menjatuhkan denda Rp 100 ribu kepada warga. Itu semua akan membuat pelaku usaha putus asa, dan warga juga enggan keluar rumah untuk berbelanja karena beranggapan pelaku usaha menutup lapaknya lebih awal.
Jika aktivitas warga terus terkunci, maka lama-kelamaan ekonomi menjadi lumpuh. Karena dengan tidak adanya kegiatan masyarakat berdampak pada pertumbuhan ekonomi menjadi semakin turun. Istilahnya, “No Traffic, No Business”.
Untuk itu, PPKM mikro mestinya diartikan aktivitas masyarakat tetap normal namun taat melaksanakan protokol kesehatan. Persilahkan masyarakat melakukan aktivitas ekonomi secara normal namun selalu diedukasi menerapkan protokol kesehatan. Kerahkan SDM pemerintah untuk memberikan edukasi ke semua strata ekonomi masyarakat. Mengedukasi pedagang berbeda caranya dengan mengedukasi pegawai kantoran, berbeda juga caranya jika mengedukasi kaum milenial.
Jika menemukam warga yang lalai, lakukan pendekatan humanis. Tegur, sapa, senyum. Jika perlu, berikan masker gratis bagi yang tidak menggunakan masker.
Kebijakan yang diambil juga tidak boleh ada kesenjangan dengan realitas. Masyarakat saat ini butuh kebijakan yang terkait dengan kesehatan dan ekonomi rakyat. Selain kebijakan ini, kesampingan dulu.
Jika membuat kebijakan, nalar kebijakan pemerintah sesuaikan dengan logika perut rakyat. Jika sejalan maka, niscaya secara perlahan, ekonomi akan mulai pulih dan kesehatan terjaga.
Namun, jika pemerintah abai dengan kondisi Bali pada awal tahun 2021, maka dikhawatirkan sektor ekonomi Bali akan makin terpuruk. Memulihkannya akan butuh waktu dan upaya yang lebih keras lagi.