- Cerpen Florence W. Williams
- Diterjemahkan dari dari Old English Folk Tales oleh Juli Sastrawan
- Ilustrasi oleh Florence W. Williams
____
Si Ayam Betina Merah tinggal di sebuah lumbung. Dia menghabiskan hampir seluruh waktunya berjalan-jalan di sekitar lumbung untuk mencari cacing. Dia sangat menyukai cacing yang gemuk dan lezat dan baginya, cacing sangat penting untuk kesehatan anak-anaknya. Seringkali ketika menemukan sebuah cacing dia akan berseru.
“Kok-kok-petok!” kepada anak-anaknya. Ketika sudah berkumpul, dia akan membagikan potongan makanan terenak itu dari paruhnya.
Si kucing biasanya tidur dan bermalas-malasan di pintu gudang, dia bahkan tidak repot-repot menakut-nakuti si tikus yang berlarian kesana kemari. Begitu pula si babi yang tinggal di dalam kandangnya—dia tidak peduli apa yang terjadi selama dia bisa makan dan menjadi gemuk.
Suatu hari si Ayam Betina Merah menemukan biji. Itu adalah Biji Gandum, tetapi si Ayam Betina Merah begitu terbiasa dengan serangga dan cacing sehingga dia mengira ini adalah jenis daging yang baru dan mungkin sangat lezat. Dia menggigitnya dengan lembut dan menemukan bahwa rasanya sama sekali tidak mirip cacing meskipun bentuknya panjang dan ramping, si Ayam Betina Merah mungkin mudah tertipu oleh penampilannya.
Dia membawa biji itu dan bertanya-tanya. Dia menemukan itu adalah Biji Gandum dan, jika ditanam, akan tumbuh dan ketika matang bisa dibuat menjadi tepung dan kemudian menjadi roti.
Saat dia menemukannya, dia tahu itu seharusnya untuk ditanam. Dia begitu sibuknya berburu makanan untuk diri dan keluarganya, tentu saja, dia pikir dia tidak seharusnya meluangkan waktu untuk menanamnya.
Jadi dia memikirkan si babi—yang suka bengong dan si kucing yang tidak punya pekerjaan, dan si tikus gendut dengan jam-jam kosongnya, dan dia berteriak:
“Siapa yang akan menanam benih ini?”
Tapi si babi berkata, “Bukan aku,”
dan si kucing berkata, “Bukan aku,”
dan si tikus berkata, “Bukan aku.”
“Baiklah,” kata si Ayam Betina Merah, “Aku saja, kalau begitu.” Dan dia melakukannya.
Kemudian dia melanjutkan tugas hariannya melalui hari-hari musim panas yang panjang, sambil menggaruk-garuk mencari cacing dan memberi makan anak-anaknya.
Si babi menjadi gemuk,
dan si kucing menjadi gemuk,
dan si tikus menjadi gemuk,
dan gandumnya tumbuh tinggi dan siap untuk dipanen.
Suatu hari si Ayam Betina Merah kebetulan melihat gandumnya sudah besar dan ternyata bijinya juga sudah matang, jadi dia berlari ke sana kemari sambil berteriak dengan cepat: “Siapa yang akan memotong gandumnya?”
Si babi berkata, “Bukan aku,”
Si kucing berkata, “Bukan aku,”
dan si tikus berkata, “Bukan aku.”
“Baiklah,” kata si Ayam Betina Merah, “Aku saja, kalau begitu.” Dan dia melakukannya.
Dia mengambil sabit dari peralatan-peralatan petani di gudang dan mulai memotong semua gandum yang besar. Di atas tanah tergeletak gandum yang telah dipotong dengan rapi, siap untuk dikumpulkan dan diirik, tetapi anak ayam yang paling baru, paling kecil dan paling berbulu halus “mengintip-intip” dengan bersemangat, menyerukan kepada dunia luas, terutama pada ibunya, bahwa ibunya mengabaikan mereka. Si Ayam Betina Merah yang malang! Dia merasa sangat bingung dan hampir tidak tahu ke mana harus berpaling.
Perhatiannya terpecah antara tugasnya untuk anak-anaknya dan tugasnya pada gandum, yang membuatnya merasa bertanggung jawab. Jadi, sekali lagi, dengan nada penuh harapan, dia berseru, “Siapa yang akan mengirik gandumnya?” Tapi si Babi, sambil mendengus, berkata, “Bukan aku,” dan si kucing, sambil mengeong, berkata, “Bukan aku,” dan si tikus, dengan mencicit, berkata, “Bukan aku”. Si Ayam Betina Merah, harus mengakui, sedikit putus asa, berkata, “Baiklah, aku saja, kalau begitu.” Dan dia melakukannya.
Tentu saja, dia harus memberi makan anak-anaknya dulu, dan ketika mereka semua sudah tertidur untuk tidur siang, dia pergi keluar dan mengirik gandum. Kemudian dia berseru: “Siapa yang akan membawa gandum ke penggilingan untuk digiling?”
Membalik punggung mereka dengan gembira, si babi berkata, “Bukan aku,” dan si kucing berkata, “Bukan aku,” dan si tikus itu berkata, “Bukan aku”.
Si Ayam Betina Merah yang baik tidak bisa berbuat apa-apa selain berkata, “Baiklah, aku saja kalau begitu.” Dan dia melakukannya.
Sambil membawa karung gandum, dia berjalan dengan susah payah ke pabrik yang jauh. Di sana dia memesan gandum yang digiling menjadi tepung putih yang indah. Ketika penggiling membawakan tepung untuknya, dia berjalan perlahan kembali ke lumbung miliknya sendiri.
Dia bahkan berhasil mengatur semuanya, lepas dari bebannya, menangkap cacing lezat dan menyisakan satu untuk anak-anaknya ketika dia bertemu mereka. Bola bulu kecil itu sangat senang melihat ibu mereka datang. Untuk pertama kalinya, mereka sangat menghargainya.
Setelah hari yang sangat berat ini, dia beristirahat lebih awal dari biasanya—bahkan sebelum warna-warni muncul di langit untuk menandai terbenamnya matahari, jam tidurnya yang biasa.
Dia ingin tidur larut di pagi hari, tapi anak-anaknya, bergabung dalam paduan suara pagi di kandang ayam, mengusir semua harapan akan kemewahan itu. Bahkan ketika dia mengantuk dengan setengah membuka satu matanya, di benaknya terpikir bahwa hari ini gandum harus, entah bagaimana caranya, dibuat menjadi roti.
Dia tidak terbiasa membuat roti, meskipun, tentu saja, siapa pun bisa membuatnya jika dia mengikuti resep dengan hati-hati, dan dia tahu betul bahwa dia bisa melakukannya jika perlu. Jadi setelah anak-anaknya diberi makan dan dibuat tampak manis dan segar untuk hari itu, dia menemui si babi, si kucing dan si tikus. Masih yakin bahwa mereka pasti akan membantunya suatu hari nanti dia bertanya, “Siapa yang akan membuat roti?”
Si Ayam Betina Merah yang malang. Sekali lagi harapannya pupus. Si babi berkata, “Bukan aku,” dan si kucing berkata, “Bukan aku,” dan si tikus itu berkata, “Bukan aku”.
Si ayam merah kecil berkata sekali lagi, “Baiklah, aku saja kalau begitu.” Dan dia melakukannya.
Merasa bahwa dia mungkin tahu sepanjang waktu bahwa dia harus melakukan semuanya sendiri, dia pergi dan memakai celemek baru dan topi juru masak yang bersih. Pertama-tama dia mengatur adonan, sebagaimana mestinya. Ketika tiba waktunya dia mengeluarkan papan cetakan dan loyang, membentuk roti, membaginya kecil-kecil, dan memasukkannya ke dalam oven untuk dipanggang. Si kucing duduk dengan malas, terkekeh dan cekikikan. Dan tak jauh dari sana, si tikus yang sia-sia membedaki hidungnya dan mengagumi dirinya sendiri di depan cermin. Di kejauhan terdengar dengkuran keras si babi yang sedang tidur.
Akhirnya saat yang luar biasa tiba. Aroma sedap berhembus di atas angin musim gugur. Di mana-mana warga lumbung mengendus udara kegirangan.
Si Ayam Betina Merah berjalan dengan cepat menuju sumber dari semua kegembiraan itu. Meskipun dia tampak sangat tenang, pada kenyataannya dia hanya bisa dengan susah payah menahan dorongan untuk menari dan bernyanyi, sedikit heran bahwa dia adalah orang yang paling bersemangat di lumbung ini! Dia tidak tahu apakah roti itu cocok untuk dimakan, tetapi—dia begitu gembira!—Ketika roti cokelat yang indah keluar dari oven, roti itu matang dengan sempurna.
Kemudian, mungkin karena dia telah terbiasa, si Ayam Betina Merah berseru:“Siapa yang akan makan Roti?”
Semua hewan di lumbung melihatnya dengan lapar dan liur mereka menetes.
Si babi berkata, “Aku mau,”Si kucing berkata, “Aku mau,”Si tikus berkata, “Saya mau.”
Tapi si Ayam Betina Merah berkata,“Tidak, kalian tidak mau. Aku saja.” dan dia melakukannya. [T]