NASI MEN DARTA
: Made Adnyana Ole
Setelah kubaca sajak nasimu,
ada ruang sempit bagi pengelana
buat hilang rasa lapar
Maka saat lapar berikutnya,
kuingat kembali cerita pengantar pulang itu
kupesan seporsi nasi men darta, seperti katamu
Tak terbayangkan bisik rempah hangatkan tubuh
kutambah sedikit garam,
kubiarkan waktu sambung tali sejarah
biar kuah bening tulang kaki tambah resah
Sebab jarak masa lalu
serakkan kata-kata persinggahan denpasar – singaraja
telah dilindas kendaraan-kendaraan
pencari kenangan
(2019)
DUA BUTIR SOAL UJIAN PUISI YANG ABADI
- Apakah yang tak terjadi jika puisimu ditulis tanpa kata senja?
- Yang terjadi bak nyala cinta pada sebatang kayu yang tak kukenal, tetap kupilih jadi tubuh-tubuh puisiku
- Yang terjadi adalah di tubuh kata-kata tercium wangi biji kopi dan aku tak bosan bercerita tentang hal-hal rahasia, kota tua, cara sia-sia, terbiar di kepala
- Yang terjadi adalah seorang perempuan, lelaki paruh baya, bertukar duka pada segelas arabika
- Yang terjadi adalah tak ada puisi pembunuh kecemasan di hadapan pembaca
- Bagaimana kau hendak mengukur jarak antara puisi dan hati?
- Diukur dengan sejengkal laut yang kugenggam erat dalam dekap hingga hangat
- Diukur dengan waktu pada panas terik yang lalu masuk celah-celah kata
- Diukur dengan harapan matahari mulai layu lalu kembali rapikan rindu
- Diukur dengan hitung panjang doa pagi, yang kosong dan sepi, karena Kau jawab dalam pilu
(2019)
KISAH REMPAH DI DAPUR IBU
kunyit
ia tatap alir takdir
namun langit sungging pelangi
di kulit kusamnya
lengkuas
kasih-Mu
kemudian biak di kepala
ringkih doa tanpa air mata
bawang merah
usia kian bertambah
sore ialah pagi kemudian
dihadapkan bagi penanam kewajiban
merica
kecil tubuh bukan tanpa gaduh
di sana, ada mereka yang bukan mereka
menimang nimang ingatan
(2017-2018)
MENJADI PETANI
hidup baru di kepala
setelah hujan masa lalu,
kesabaran, kemungkinan berujung kelabu
sejak di dalam perut, kita amnesia!
lalu kita lahir hadap kesunyian
bernafas jua dari kematian
rupanya kita habis dimakan zaman
padahal leluhur kitalah peradaban
rupanya, lahir ialah cara paling pahit
menarik garis ingatan
lalu belajar lagi mencintai tanah,
lagi wangi padi,
dikulum mulut terkagum
tatap mata ranum
pada kantung-kantung kemalangan
(2016-2020)
SAJAK AKHIR TAHUN
sejak kapan kau jadi ahli patah hati
menerka tiap lembar kalender
ada garis takdir, memelukku hingga lembar terakhir
hati kian melapang, raga ini sajak rindu
kata demi kata menunggu hingga pilu
angka-angka kini terlihat abu
kita usai, kupilih diam
sedang bulan terus membesar
hari-hari makin mekar
kau, ialah usia tak utuh
berkali-kali di mataku tanggal merah main prosotan
jiwaku jalan asam garam
menurutku cukup, dada ini medan perang
angka-angka kusam lahir tiap pekan
kalender halaman terakhir terlanjur kutelan
(2012-2013)
DI WARUNG KOPI
singgah kala senja
pesan kopi
bertukar kisah
pada seduhan sedih
sisa ampas gelas sunyi
di hadapanku
dibayar puisi
kembaliannya waktu-waktu berselimut mimpi
mencintaimu separuh hari
(2010)