Manfaat gemar berdiskusi bukan hanya untuk menemukan sebuah jawaban atas satu persoalan, jauh lebih penting dari itu adalah, membuat kita jadi lebih kaya persepsi. Ini sesuatu yang krusial, bukan hanya untuk sebuah masyarakat demokratis, juga sebagai syarat suatu budaya ilmiah. Jika dikaitkan dengan ukuran kecerdasan manusia, maka ketajaman argumen yang kita ajukan merupakan sebuah Intelligence Quotient (IQ) sedangkan menerima cara pandang yang berbeda terhadap satu isu adalah sebuah Emotional Quotient (EQ). Rohaniwan terkenal Ajahn Brahmn, menunjukkan dengan sedemikian gamblang praktek dari suatu kecerdasan emosional dalam panduan sikapnya yang juga sangat populer, yaitu “All is well.” Ini, pastilah sebuah kesuksesan.
Kita sudah memasuki tahun 2020 hari ini, dan narasi dengan rating tertinggi yang terpilih dalam setiap obrolan atau motivasi afirmatif dalam media-media adalah “meraih sukses di tahun baru 2020” dan sejenisnya. Lalu apakah sukses itu? Brahm sudah selesai dengan kesuskesannya dalam “All is well”. Menerima apapun dengan hati yang lapang, karena meyakini itu memang suatu keniscayaan yang telah diatur oleh sebuah kekuatan maha agung, jelas dapat memisahkan kita dengan berbagai perasaan gagal, entah itu sedih, kecewa, kesal atau frustasi.
Wah, tak pernah kita sangka begitu mudah meraih sebuah kesuksesan. Apalagi jika kita percaya dengan ucapan Thomas Alfa Edison, penemu bola lampu terkenal itu, “Sukses adalah 1% inspirasi, 99% keringat”. Nah, pantaslah Edison punya persepsi seperti ini dalam hidupnya yang kemudian meberinya ganjaran menjadi seorang penemu tersohor yang diagung-agungkan kehebatannya dalam buku-buku yang kita baca sejak di sekolah dasar. Lalu mana yang benar? Yang pertama, adalah kesusksesan yang datang dari inspirasi, yang kedua merupakan kesuksesan yang lahir dari keringat. Kita boleh saja memilih salah satu darinya, atau keduanya pun tak apa-apa.
Semakin kaya sudut pandang, maka semakin berkurang kadar kemutlakan akan segala isu dalam kehidupan kita di dunia ini. Pemikiran ini pun memang telah dikonfirmasi oleh sebuah fenomena alam yang dikenal sebagai “kurva normal”. Suatu pola distribusi sifat materi yang terdiri dari, sebagian besar dengan karakteristik umum dan dalam proporsi yang jauh lebih kecil dengan karakteristik yang ekstrim kiri dan kanan.
Kita pada umumnya termasuk dalam kelompok umum yang sedang-sedang saja dan boleh saja kita taruh Ajahn Brahm pada kelompok ekstrim kiri sedangkan Thomas Alfa Edison pada kelompok ekstrim kanan, jumlah keduanya pastilah tidak banyak. Sama saja dengan situasi dalam kelas kita saat sekolah dahulu, proporsi yang sangat pintar dan sangat bodoh pastilah tak banyak, yang terbanyak tentu yang dengan kecerdasan sedang-sedang saja.
Persepsi tentang sukses yang cukup menarik juga dilontarkan oleh jutawan murah hati Bill Gates. “Sukses adalah guru yang payah, kesuksesan mendorong orang-orang cerdas untuk berpikir bahwa dirinya tak akan pernah kalah.” Bos Microsoft yang bernama lengkap William Henry Gates III ini justru mengajak kita untuk berhati-hati dengan kesuksesan. Ia membuat kita telah menjadi bodoh. Mungkin inilah yang dialami oleh seorang Mike Tyson, legenda tinju kelas berat yang terjungkal bukanlah karena hook-hook musuhnya di atas ring, namun lebih karena keyakinannya takkan pernah kalah, membuatnya tak lagi tekun dalam berlatih dan bijak dalam bersikap.
Lebih tragis lagi pilihan seorang musisi rocker berbakat bernama Kurt Kobain yang begitu menggeparkan masyarakat dunia. Vokalis band grunge Nirvana yang telah menjual puluhan juta keping album musiknya di seluruh dunia ini seolah-olah takkan pernah mau bersentuhan dengan kegagalan. Maka saat ia berada di puncak kesuksesannya, ia mengambil keputusan untuk bunuh diri, ia pada akhirnya memang betul-betul “tak pernah gagal” dalam bermusik. Ia pun menuliskan rangkaian kata-kata yang sedemikian suram, “Untuk apa meredup, lebih baik menghilang.”
Kita pastinya punya janji dan tekad mengisi tahun 2020 ini dengan perjuangan lebih kuat dan lebih sangar dalam meraih kesuksesan. Yang belum tercapai di tahun yang lalu, maupun meningkatkan capaian yang kiranya baru separuh sukses. Tapi bagaiman jika kemudian kita gagal, bahkan gagal dan gagal lagi?
Ada baiknya kita berguru pada seorang Winston Churchill, perdana menteri Inggris yang membawa Britania meraih kemenangan dalam perang dunia kedua itu. “Sukses adalah kegagalan demi kegagalan tanpa kehilangan antusiasme.” Sepertinya, inilah definisi sukses yang paling keren dari semuanya. Ia tak meletakkan pada hasil, melainkan pada ketangguhan hati dan perasaan kita, terlepas dari apapun hasil yang tersaji. Maka, sungguhpun hasil usaha yang dilakukan telah mencapai target, jika antusiasme kemudian memudar, itu tetaplah sebuah kegagalan. Ia mengajarkan tentang pentingnya sebuah passion.
Begitu banyak cara melihat makna kesuksesan, saya yakin kita semakin bingung. Baguslah jika demikian. Ilmu filsafat mengatakan, segala penemuan besar umat manusia akan diawali dari sebuah kebingungan. Sebuah kebingungan yang lalu membangun sebuah passion dan antusiasme.
Namun demikian, akan sesukses apapun kelak, ada baiknya kita selami petuah menuju kesuksesan yang tak kalah menginspirasi ini, dari seorang penulis terhebat dan kontroversial sepanjang sejarah sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, “Jangan kehilangan keseimbangan! Berseru-seru aku pada diri sendiri, memperingatkan. Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik kebesaran adalah kehancuran. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah, jalan ke arah kelestarian.” [T]