“Kehidupan adalah 10% apa yang terjadi pada Anda dan 90% adalah bagaimana Anda meresponsnya.” -Lou Holtz-
___
“Di mana kuliah? Jurusan apa? Selamat ya kamu sudah sukses..” begitulah kira-kira sapaan Pak Gede, salah satu tetangga saya kepada teman-temannya kala itu.
Sungguh merasa bahagia mereka karena pujian-pujian itu benar-benar tulus diucapkan oleh Pak Gede. Mereka senang, karena saat itu menjadi mahasiswa atau generasi yang mampu melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi adalah suatu kabar yang luar biasa di desa saya. Karena saat itu orang tua yang tinggal di desa berharap banyak supaya anaknya kelak akan mampu memberikan perubahan pada ekonomi keluarga melalui gelar yang dimilikinya.
Namun apa yang telah terjadi pada teman-teman Pak Gede 6 tahun kemudian setelah mereka menyelesaikan pedidikan sarjananya. Secara tidak sengaja ia bertemu dengan teman-temannya di sebuah parkiran belakang gedung perkantoran. Pak Gede saling sapa dan saling berbagi kenangan dengan temannya masing-masing karena memang sudah lama tidak pertemu.
Pak Gede memulai pembicaraan, “Enak ya jadi anak kuliahan sekarang pasti sudah punya kerjaan bagus dan dulunya kalian pasti gampang nyarilowongan kerja”.
Suasana sempat hening sejenak. Salah satu teman Pak Gede langsung mencurahkan isi hatinya dengan berkata, “Sukses apanya? Saya sudah setahun menganggur Pak Gede, jaman sekarang susah sekali cari pekerjaan”
Teman yang lagi satunyapun ikut menambahkan pembicaraan dalam pertemuan singkat di sebuah halaman parkir itu. “Saya sudah satu tahun lebih bekerja, namun gaji saya kecil sekali terkadang untuk membeli sabun mandipun saya tidak bisa.”
Itulah obrolan mereka dari perjumpaan singkat di sebuah parkiran. Percakapan-percakapan singkat seperti itulah yang juga sering saya dengar dari kebanyakan orang sampai sekarang. Inilah yang harusnya segera kita sadari.
Pemberian kata selamat yang diucapkan oleh Pak Gede ketika Anda mulai mendaftar kuliah adalah suatu permulaan bagi Anda menuju perjuangan yang sebenarnya masih jauh di depan Anda. Saya mengakui ketika kita bisa berhasil duduk di ruang kelas perguruan tinggi saja adalah suatu kesuksesan besar. Tapi lebih dari itu, lebih dari yang kita tahu.
Kesuksesan jangka panjang yang benar-benar harusnya mampu kita dapatkan adalah memiliki pekerjaan yang menyenangkan. Pekerjaan yang prospektus memberikan kita kenyamanan berdasarkan minat yang kita inginkan. Pekerjaan yang benar-benar memuaskan batin kita, meningkatkan kesehatan kita, membahagiakan kita dalam kondisi apapun ketika bekerja, dan tentunya memberi dampak ekonomi yang tinggi dalam jangka panjang seperti harapan keluarga yang menaruh harapan besar dari Anda.
Hari ini saya bertanya lagi kepada Anda, kenapa ijazah tinggi bisa menjadi baik dan bisa menjadi buruk di mata Anda? Mungkinkah selama ini lembaran ini yang memenjarakan mental Anda?
Sangat disayangkan kalau jaman sekarang kita terlalu banyak berpikir, jika ijazah kita kualifikasinya bidang A, maka pekerjaan kita harus pada bidang A juga. Kalau kita sudah punya ijazah tinggi, maka kita akan mendapat pekerjaan yang layak dan bergaji tinggi juga.
Lebih mencemaskan lagi, kebanyakan orang yang tamat universitas masih bermental job seeker atau menurut Rhenald Kasali bermental passenger. Sertacenderung berpikir kalau dengan selembar ijazahnya itu pasti akan diterima menjadi pegawai kantoran atau pegawai negeri sipil (PNS) nantinya.
Sekali lagi itulah kebenarannya selama ini, kebanyakan orang malu menjalani pekerjaan yang bukan sesuai dengan ijazahnya. Bahkan menjadi minder atau down kalau ia adalah sarjana pertanian harus kembali pulang ke desa untuk menjadi petani padi bersama keluarganya. Padahal apa yang salah dengan pekerjaan mulia itu? Kenapa justru lebih banyak sarjana pertanian malah menginginkan menjadi pegawai di instansi-intansi bidang pertanian.
Mereka berlomba-lomba memperebutkan lowongan itu, dan pada akhirnya yang tidak kebagian akan berakhir dengan tidak punya pekerjaan. Terjadilah sarjana yang menganggur dan itulah terus terjadi di negeri kita.
Lagi-lagi saya juga sering mendengar tetangga yang bertanya kepada anaknya: ‘masa ijazah sarjana pekerjaannya mau berdagang sembako? Pelihara sapi? Pelihara kambing? malu dong dengan ijasazahnya’
Sebagai manusia yang masih normal, pertanyaannya itu terdengar masuk akal, tetapi terkadang membuat kita merasa malu juga kan? Namun untuk menyikapi persoalan seperti ini apakah Anda akan terfokus pada rasa malu itu?
Sesungguhnya mana yang lebih besar keuntungannya, apakah dengan mempertahankan rasa malu itu, atau terfokus pada masalah kehidupan Anda yang tidak bisa membeli sabun mandi mendapat solusi yang tepat? Mari kita pikirkan situasi itu sebagai pelajaran hidup yang harus kita selesaikan! Jangan sampai keputusan yang kita pilih sekarang akhirnya menjadi penyesalan yang sangat menyedihkan sepuluh atau lima belas tahun mendatang.
Kenapa Anda harus menjadikan ijazah ini sebagai lembaran yang membelenggu kehidupan Anda sendiri? Sudahkah Anda berpikir jika ijazah predikat Caumlaude (penuh pujian) Anda hanya bisa dihargai Rp 300 ribu perbulan? Sungguh menyakitkan.
Bahkan apakah Anda juga masih ingat ketika, Ajik Cok yang hanya mau mencari seseorang karyawan yang bisa bekerja sepenuh hati dan bertanggung jawab untuk Krisna Holding Company-nya?
Bos yang hanya berijazah SMP itu berkata “Saya nggak butuh karyawan yang punya ijazah tinggi atau pengalaman banyak. Yang paling penting adalah mau kerja”. Lagi-lagi selembar ijazah menjadi perbincangan menarik saat ini. Gagasan Ajik Cok mungkin ada benarnya juga, karena sesungguhnya yang perlu kita lakukan adalah kerja keras sampai tuntas.
Kita tahu idealnya, seseorang yang sudah memiliki ijazah tinggi maka Anda punya kesempatan yang lebih banyak lagi untuk berhasil dalam bidang yang ingin dicapai. Sekali lagi saya bertanya, bagaimana dengan orang yang sudah punya ijazah tinggi? Kenapa belum bisa membawa perubahan apa dalam hidupnya? Bergaji kecil, masih meminta uang pada orang tua, masih ketergantungan dengan kerabat dekat, teman, atau yang lainnya, hidupnya masih numpang sana sini, bahkan banyak yang masih pengangguran, sungguh sakit rasanya dada kita bukan? Mungkin bahasa saya berlebihan mengungkapkan persoalan ini, namun sekali lagi faktanya inilah yang benar-benar terjadi.
Lagi-lagi ada yang menanyakan kenapa mereka yang dulunya unggulan kini bisa gagal.
Seperti yang diungkapkan dalam bukunya Robert Kiyosaki yang berjudul Why A Students Work for C Student and B Students Work for the Government. Robert menjelaskan bahwa pada tahun 1981 Karen Arnold seorang guru besar di Boston University telah melakukan kajian yang mendalam pada siswa yang mendapat pujian.
Profesor Karen Arnold menyatakan bahwa “walaupun siswa-siswa ini memiliki kualitas yang memastikan keberhasilan di sekolah, karakteristik tersebut tidak selalu berarti kesuksesan di dunia nyata. Mereka adalah siswa unggul yang mengetahui cara berprestasi dalam sebuah sistem yang bisa diukur dengan nilai. Namun hal itu tidak menginformasikan apapun tentang bagaimana mereka bereaksi atas perubahan pasang surut kehidupan”.
Bahkan kini banyak pula kalangan industri yang mengeluhkan bahwa lulusan sekarang banyak yang kurang memiliki sikap yang baik, misalnya tidak dapat memenuhi kontrak kerja, tidak dapat menentukan gaji pertama mereka sendiri tetapi setelah dua bulan bekerja mereka mengeluh tentang gaji yang rendah, kurang dapat bekerja sama, tidak punya leadership, integritas pribadi dipertanyakan, etika kurang, dan sebagainya yang kesemuanya tidak dapat ditelusuri dari nilai yang tinggi dan kelulusan yang tepat waktu semata.
Sekali lagi kesuksesan akademis bukanlah alat prediksi yang baik mengenai produktivitas kerja, dan IQ bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi penyebabnya. Siswa unggulan gagal dalam mendedikasikan gairah hidupnya pada satu area yang bisa membuatnya berhasil. Banyak orang dari mereka yang mendapat nilai bagus menjadi cukup sombong atas kecerdasannya. Sungguh meyakinkan kita bahwa, tidak ada korelasi secara positif antara nilai di sekolah, peringkat di kelas, nilai ujian masuk Universitas, dan kesuksesan.
Melalui penelitian yang intensif, Goleman (1998) juga menemukan bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya didukung oleh seberapa smart seseorang dalam menerapkan pengetahuan dan mendemonstrasikan keterampilannya, akan tetapi seberapa besar seseorang mampu mengelola dirinya dan interaksi dengan orang lain. Keterampilan tersebut dinamakan dengan kecerdasan emosi.
Terminologi kecerdasan Emosi diperkenalkan pertama kali oleh Salovey dan Mayer untuk menyatakan kualitas-kualitas seseorang, seperti kemampuan memahami perasaan orang lain, empati, dan pengaturan emosi untuk meningkatkan kualitas hidup. Kecerdasan emosi juga meliputi sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, dan kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan hidup.
Untuk membuka pemahaman kita bersama, saya juga mencoba mengutip motivasi dari Soichiro Honda. Penemu mesin Honda yang merajai jalanan di seluruh dunia pernah mengatakan bahwa “ijazah tak lebih seharga selembar tiket masuk bioskop. Ia lebih percaya pada kreatifitas dan kerja keras, ketimbang selembar ijazah. Hasilnya, ia berhasil membangun perusahaan multinasional dengan ratusan ribu karyawan yang memproduksi sepeda motor dan mobil dengan merk sesuai namanya”. Sungguh luar biasa kekuatan kerja keras dan kreativitas yang dipahami oleh Soichiro.
Jadikan ijazah yang sudah Anda miliki sebagai pendukung karir yang Anda tekuni sekarang. Pastikan bahwa, tidak ada ruginya memiliki ijazah tinggi, tidak ada yang salah dengan apa yang sudah Anda lakukan itu. Tentunya ijazah yang nilainya balance dengan kemampuan Anda. Kita tetap jadikan pendidikan itu sebagai kebutuhan utama yang seimbang. Karena pendidikan yang benar akan membentuk Anda menjadi pelaku hidup yang arif dan bijaksana bagi orang lain. Seperti kata Benjamin Franklin “investasi dalam pendidikan akan membawa bunga yang terbaik”.
Pendidikan adalah atap yang menaungi manusia dari badai kebodohan, dinding yang melindunginya dari kehancuran, dan tanah tempat berpijak yang menjadikannya tetap berdiri selamanya. Buktikan bahwa Anda akan dapat sukses nantinya, dan mampu mengumpulkan pundi-pundi rejeki dengan dukungan gelar dibidang akademis. Jadilah kreatif dengan semua pendidikan yang Anda peroleh dari Universitas. Coba belajar dari sosok-sosok yang banyak berhasil dengan mengoptimalkan gelarnya. Bangkitlah, tidak ada yang tidak bisa seperti pesan Dahlah Iskan dalam bukunya yang ditulis oleh Karmaka Surjaudaja.
Saya telah banyak mengamati orang-orang yang bekerja pada instansi tertentu, ia adalah seorang pendidik. Sebagai seorang tenaga pendidik ternyata ia mengumpulkan pundi-pundi kekayaannya dengan dukungan gelar dan karirnya dibidang akademis. Bukan semata dari pekerjaan yang yang ia lakukan.
Sebagian dari penghasilan yang ia peroleh adalah bunga dari investasi yang dilakukan di perusahaan-perusahaan tertentu, bunga deposito dari komitmennya dalam menabung uang yang ia sisihkan dari pekerjaannya, bahkan banyak pula yang lebih brilian. Ia bekerjasama membentuk sebuah perusahaan-perusahaan besar yang dikelola oleh orang yang dipercayainya dan nyatanya perusahaan-perusahaan itu berhasil dibawah kendalinya.
Kreatif bukan? Inilah sebenarnya pemikiran dan bukti-bukti nyata bahwa kita jangan hanya berpikir dari satu sudut pandang. Banyak orang mengatakan, kalau ternyata orang-orang sukses bisa sukses tanpa ijazah seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya di muka. Itu benar juga, itupun kalau Anda berani menjamin diri Anda sendiri kalau punya kemampuan dan intuisi sukses seperti mereka. Produktif dan kreatif seperti mereka walaupun tanpa ijazah.Begitupun yang sudah punya ijazah tinggi, Anda pastinya bisa melakukan lebih dari mereka yang tanpa ijazah. Seperti kata Ajik Cok ‘lihat, tiru, dan kembangkanlah apa yang telah mereka lakukan’. Jadilah produktif dan kreatif…!
Lakukanlah perubahan dengan bekal ijazah yang telah Anda miliki. Fokuslah pada pekerjaan yang sesuai bidang Anda, yang pastinya akan penuh tantangan tapi inilah awalan yang harus Anda lalui.
Perubahan tidak akan terjadi sampai kita mengambil keputusan untuk melakukannya. Setiap perjalan besar senantiasa berawal dari langkah kecil. Berpikirlah dalam sudut pandang lain lagi, jadikan pendidikan tinggi Anda menjadi penting untuk Anda, anak-anak, dan istri Anda nantinya. Saat ini tidak ada jaminan untuk Anda yang berijazah tinggi, yang ber-IPK tinggi di masa lalu kemudian sukses di masa depan. Mereka yang beradaptasi pada perubahanlah yang akan mencapai puncak tertinggi. [T]