ASYIK bercakap dengan Prof. Timbul Haryono (arkeolog UGM), Prof F.X. Mudji Sutrisno (filsuf dan romo), Prof Sumarsam (maestro gambelan, guru besar Wesleyan University), di lobby Teater Besar ISI Surakarta, tiba-tiba datang nimbrung Prof. Sardono W Kusumo (guru besar tari IKJ).
Kehadiran profesor gondrong satu ini membuat suasana mendayu berubah jadi penuh tawa. Gaya Sardono santun, tapi penuh kejutan. Ekspresi wajah, notasi bicaranya, serta gerak mimiknya, tak ubahnya seperti sedang menari. Sekalipun sama-sama berkecimpung di dunia kesenian, Sardono berbeda dengan Prof Sumarsam yang tenang, tak ubahnya seperti sedang bersila menabuh gambelan.
Prof Timbul sekalipun datar nada suaranya, kalau diberi kesempatan, bisa sekocak Sri Mulat. Keramahan Romo Mudji jangan ditanya. Selalu segar dan senantiasa memancing, perbincangan hal sepele bisa berujung menjadi persoalan filosofis.
Saya jadi berpikir: Ke-profesor-an itu bisa “didekati” dari gaya rambutnya?
Menurut saya bisa (bercanda): Kalau cepak atau bercukur rapi, suasana perbincangan biasanya dari tenang sampai mendayu, dari tegang sampai mengkerut. Kalau ada lelucon dan bisa ketawa, itu berkah. Kalau (maaf) gundul? Nah ini bisa jadi religius tingkat dewa, atau matematis tingkat quantum. Kalau gondorong? Banyak tawa, kelakar padat bersisi, tapi begitu marah bisa semarah Wrekodara.
Dalam hidup, apalagi bergaul dengan akademisi, kita diajari tidak bisa kita ujug-ujug melakukan generalisasi (apalagi sekedar pilihan gaya rambut seseorang), pamali kalau kebiasaan bergossip diadopsi dalam dunia akademisi.
Jika ingin beropini atau menteorikan perihal rambut gondrong, gundul, cepak, keriting, sosoh lurus papan, maka mau-tidak mau harus masuk melalui pendekatan empiris, sampling yang mencukupi, metodologinya benar, substantif, tidak mudah mengambil kesimpulan umum dalam bentuk sebab akibat yang tidak terikat oleh waktu dan tempat, tidak mudah mengambil hipotesis yang dicapai dengan asumsi dasar bahwa variabel lainnya dianggap konstan.
Apalagi menyangkut usia orang dikaitkan produktifitas dan kegesitan berpikir dan bertindak. Tidak sepenuhnya benar sepuh itu usur, tua itu ruyud. Banyak profesor berusia sepuh dengan vitalitas kemudaan berpikir yang tangguh, punya endurance dan kegesitan/keberesan kerja, punya ketajaman tulisan dan paper mereka seringkali melebih orang-orang yang secara usia layak menjadi anak atau bahkan cucu mereka.
Kedewasaan seseorang, baik di dunia akademik, dunia bisnis, politik, atau dalam hubungan pertemanan, dicirikan salah satunya dari kemampuan seseorang untuk tidak tergoda terburu-buru berkesimpulan mutlak dengan hanya berpedoman asumsi-asumsi yang tidak kita tahu tingkat validitasnya.
Baik bersama profesor gondrong atau cepak, sepuh atau muda (sama saja), obrolan di lobby, di bawah pohon, atau warung kopi, seringkali lebih menjanjikan efektifitas dan kedalaman dibanding formalitas ruang kelas atau seremonial ruang konferensi. Apalagi kalau kita kepung sebuah topik dari berbagai arah (arkeolog, musik, gambelan, tari, filasafat, filologi), cahaya dan warna spektrum lobby akan lebih tampak.
Kesanggupan menerima dan memasuki keragaman prisma berpikir, keberanian memasuki kompleksitas sebuah pokok bahasan, membuat suasana kejiwaan dan pikiran lebih sehat dan lapang. (T)
Catatan Harian, IGF Solo 10-11 Agustus 2018,