PAGI-pagi sekali, pada pertengahan April menjelang Hari Raya Galungan, saya bersama Bapak dan Paman melakukan sesuatu yang bagi saya sangat asyik; ngabut bulih (mencabut bibit padi yang siap tanam). Hawa dingin daerah Bangli seakan menyayat tulang.
Di antara balutan embun pagi kami mendiskusikan isu pertanian masa kini, salah stunya tentang mahalnya biaya yang dikeluarkan petani untuk bertani dan ketidakpastian nasib menjadi seorang petani.
”Saatang ragane, Ngah, wak sing ngelah tongos kene!” ujar Paman. Usahakan dirimu, Nak, orang tidak punya tempat begini.
Artinya, sebagai seorang fresh graduate, saya dimintanya untuk mencari kerja lain ketimbang mengolah lahan pertanian.
Sebagai seorang petani berusia berlian, Paman justru melarang anak cucunya untuk menjadikan bertani sebagai profesi. Alasannya tidak jauh dari kepemilikan lahan yang terbatas; hasil panen yang tidak sepadan dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan; juga tentang ketidak relevanan profesi petani di era gempuran pariwisata dan pembangunan.
Kegiatan bertani dan menanam padi hanya disarankan bagi mereka yang memiliki lahan luas, juga bagi pegawai tetap yang ingin mencari selingan. Sementara bagi mereka yang tidak punya banyak lahan dan bukan pegawai tetap yang cari selingan, justru lebih memilih mencari pekerjaan lain, selain petani. Sebagian kecil lagi memilih untuk menjual atau menyewakan lahan pertanian miliknya.
Jadi, mereka membiarkan subak-subak berubah menjadi villa. Sungguh ironi mengingat pertanian turut menyokong doktrin pariwisata budaya yang digaungkan sejak tahun 1970-an.
Petani, subak, dan lumbung padi menjadi bagian tak terpisahkan dari citra pariwisata Bali yang eksotik nan harmoni. Namun ketika pembaca bertanya apakah para petani memiliki taraf hidup yang layak, dan apakah mengelola lahan pertanian lebih menguntungkan ketimbang menukarnya dengan harga sewa, jawabannya seringkali dalam konotasi negatif. Semua itu kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi kelangsungan pertanian dan regenerasi petani Bali.
***
Pada hari yang sama, sekitar pukul 9:30 pagi, dua orang pria lanjut usia datang dari arah utara. Mereka adalah I Wayan Lembian (76) dan I Nengah Karya (72), tukang memula (buruh penanam padi) yang dipanggil oleh Bapak dan Paman. Mereka termasuk tukang tanam padi paling senior yang kini masih bertahan dengan pekerjaannya.
I Wayan Lembian (76) dengan bangga menjelaskan kisah awalnya menjadi tenaga penanam padi. Semua dimulai pada pertengahan tahun 1960-an ketika dirinya bekerja sebagai tenaga pertanian di Tabanan.
”Cang dugas amen ragane nak be biase menek, acepoke nang selae bakat ben ngalih. Pidan uling suud gestoke ke Menek ngalih gae. Dadi tukang penek, tukang memula, tukang manyi. Nak ajak onyang kemu jaman to.”
Artinya, ”Saya waktu seumuran kamu itu sudah biasa naik (kelapa) sekali naik bisa sekitar dua puluh lima butir dapat. Sejak setelah Gestok sudah ke Menek (Tabanan) bekerja. Jadi pencari kelapa, tukang tanam, tukang panen. Semua orang ke sana jaman itu.”
Sementara itu I Nengah Karya (72) sedikit lebih junior ketimbang rekannya. Ia baru mulai menjadi tukang tanam padi pada tahun 1970-an. Kala itu, Karya juga pergi ke Tabanan untuk bekerja sebagai tenaga pertanian. Meninggalkan rumah, istri, dan anaknya.
”Yen we dorinan kemu, tahun 1970an, I Murtiasa be ade dugas to. Patuh masih dadi tukang di uma, tukang memula. Megenep je gaene jemak masih.”
Aerinya, “Kalau Paman belakangan ke sana (Tabanan), tahun 1970-an, Si Murtiasa (Anak Karya) sudah lahir waktu itu. Sama juga menjadi pekerja di sawah, tukang tanam. Berbagai pekerjaan (lain) diambil juga.”
Singkat cerita, keduanya kemudian bekerja sebagai tukang tanam padi di desa sepulang dari Menek, Tabanan. Di usia senjanya mereka masih menjadi tukang memula yang sangat diandalkan oleh para petani setempat. Setiap musim tanam, keduanya selalu mendapatkan ”orderan” untuk menanam padi, menjadi langganan bagi para petani.
Menariknya, jika ditelusuri, jumlah tukang memula di desa saya sangatlah minim. Mereka juga merupakan orang-orang lanjut usia yang memang sudah bekerja pada bidang ini sejak lama. Bukan tenaga-tenaga baru atau hasil regenerasi. Dalam hal ini kelangkaan tukang memula kemudian menjadi isu kecil dengan masalah besar dibelakangnya.
Tukang memula yang menipis menjadi domino kecil yang siap meruntuhkan sesuatu yang lebih besar di depannya. Mereka adalah pilar-pilar penting, ya, jarang disorot. Pekerja-pekerja senior yang belum menemukan sosok pengganti.
Sementara Sekaa Manyi (kelompok pemanen padi) masih memiliki anggota-anggota yang lebih muda, dan tukang traktor lebih identik dengan tenaga-tenaga berusia produktif, tukang memula justru masih terdiri dari veteran-veteran yang masih bertahan.
Selain itu, ketika para pemanen padi telah menggunakan teknologi dores, dan para pembajak sawah lebih memilih traktor ketimbang sapi, belum ada alih teknologi untuk tukang memula di Bali.
Dalam hal ini, alih teknologi untuk kegiatan menanam padi di Bali menjadi pr yang harus dikerjakan. Sebagai alternatif, kerjasama antar petani dan anggota subak juga sangat diperlukan. Subak perlu membangun sekaa tanam untuk mempertahankan eksistensi tenaga penanam padi.
Peran pemerintah juga sangat penting, kebijakan yang dibuat agaknya dapat menjawab berbagai permasalahan dalam setiap aspek pertanian. Industri pariwisata perlu diarahkan sejalan dengan pertanian, pun sebaliknya. Isu pertanian dan masalah petani sudah sepatutnya menjadi sorotan, bukan hanya janji pengulangan dalam pesta lima tahunan.
Program-program pertanian yang telah digaungkan seperti Program Petani Milenial, subsidi pupuk, hingga yang terbaru: belajar bertani di Israel perlu dikawal dan diimplementasikan dengan serius. Permasalahan pertanian dari yang paling general seperti regenerasi petani dan ketimpangan hasil, hingga yang lebih spesifik seperti krisis tukang memula adalah PR bersama bagi seluruh lapisan di Bali. PR dari kita semua agar bertani tetap relevan diantara hiruk piruk pariwisata Bali. [T]
Penulis: Teguh Wahyu Pranata
Editor: Adnyana Ole