26 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Oryzamorgana” Karya Ketut Putrayasa: Ilusi di Balik Onggokan Gabah

Tatang B.SpbyTatang B.Sp
May 5, 2025
inUlas Rupa
“Oryzamorgana” Karya Ketut Putrayasa: Ilusi di Balik Onggokan Gabah 

“Oryzamorgana” karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan pada Pesta Panen Padi "Maa Ledungga" di Gorontalo

PADA pameran seni rupa bertema Suaka yang dihelat Huntu Art Distrik Gorontalo, I  Ketut Putrayasa menampilkan karya seni instalasi dengan judul Oryzamorgana.

Judul ini merupakan gabungan arbitrer dari kata “oryza” dan “fatamorgana”. Istilah yang pertama merujuk taksonomi pada genus tanaman padi dengan nama species oryza sativa. Sedangkan istilah kedua merupakan metafora untuk menggambarkan sesuatu yang tampak nyata namun dalam faktanya hanya ilusi belaka.

Ide dasar karyanya merujuk pada kenyataan lapuk sebuah negeri yang di masa lampaunya diasuh oleh kejayaan kultur agraris, tapi di masa kini kultur itu susut sebagai ruang yang tersisa dalam modernitas. Juga masa yang belum lama, yakni ketika pertanian dielu-elukan sebagai sektor andalan dan menjadi bagian integral agenda pembangunan, tapi nyatanya tak selalu mulus dalam perjalanan.

Di Tengah Pesta Panen

Oryzamorgana karya Putrayasa ini tentu saja menjadi sangat penting karena ia bisa memberi penonjolan makna pada pameran seni rupa di Gorontalo itu. Pameran itu sendiri adalah bagian dari acara Pesta Panen Padi “Maa Ledungga”.

“Maa Ledungga” berarti “sudah datang” atau “telah tiba” dalam bahasa Gorontalo.  Artinya lagi, pesta ini bisa dikata sebagai seruan untuk merayakan datangnya musim panen yang selalu dinantikan oleh para petani.  

Tahun 2025 ini, Pesta Panen Padi “Maa Ledungga” mengambil tema Suaka sebagai refleksi atas persoalan sosial, lingkungan, dan kemanusiaan yang semakin kompleks. Di tengah Pesta Panen Padi Maa Ledungga inilah digelar pameran seni rupa yang dibuka akhir April lalu. Pameran diselenggarakan di Desa Huntu Selatan, Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.

Pameran diikuti sekitar 30 seniman, baik seniman lokal maupun seniman yang berasal dari dari luar Gorontalo. Salah satunya, dari Bali, adalah seniman Ketut Putrayasa dengan karya yang berjudul Oryzamorgana.

Oryzamorgana, sekali lagi, memberi penonjolan makna pada pameran seni rupa di Gorontalo itu. Tentu karena karya itu bicara soal dunia agraris, sekaligus mengajak kita untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan alam, dengan sesama makhluk hidup, dan dengan kehidupan secara lebih adil dan berkelanjutan.

Representasi Konflik Psikologis

Oryzamorgana membawa kita memasuki suasana cekam, tumbuh liar dari sesuatu yang ganjil; sebuah chaos visual hadir di depan kita sebagai cerminan retak-pecahnya kenyataan yang tak dikendaki. Setidaknya, bisa dikatakan bahwa refleksi atas karya seni instalasi ini bertumpu pada representasi konflik psikologis dalam hubungannya dengan dinamika sosial.

Kurang lebih, itulah pembuka jalan bagi kita untuk mencerap dan menerka-nerka karya Putrayasa.

“Ketercekaman visual” adalah kualias paling menonjol pada kebanyakan karya seni instalasi garapan Putrayasa. Yang secara relatif mampu membongkar dan mengganggu emosi kita. Tak aneh bila yang ditekankan adalah kekuatan yang tak bersahabat, dibentuk oleh apa yang berbeda, tak sesuai, bahkan menyempal dari lazim.

“Oryzamorgana” karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan pada Pesta Panen Padi “Maa Ledungga” di Gorontalo

Metafora visual yang sarat kengerian pada karya Putrayasa terkesan begitu kuat, bahkan melampaui sejenis verbalisme. Di hadapannya, seakan kita disergap suasana visual looming syndrome yang terjadi saat seseorang mengalami nyeri atau ketidaknyamanan saat melihat atau membayangkan objek tajam.

Karya seni instalasi ini menempatkan suasana konflik psikologi sedemikian penting, hingga yang disambut bukanlah kenyamanan yang permanen tapi meladeni letupan perasaan yang dibiarkan bebas-lepas tanpa kendali. Bukan perasaan tenteram yang tampil sebagaimana kita berada di sebuah arena lengang, datar dan ajeg tapi tegangan yang muncul setiap kali di tempat yang sempit, terjal dan goyah. Membangkitkan semua anarkhi sensasi yang mengoyak suasana hati tenang. Kecenderungan untuk tidak bermolek-molek, menjadikan karya seniman asal Bali ini menggugah emosi, tentu di samping intelek kita. Begitulah kesan umum yang dapat saya tangkap.

Di hadapan kita, gabah dengan berat hampir satu ton dibungkus kantong-kantong plastik tembus pandang. Plastik transparan menyiratkan selubung, tempat di mana enigma dihidupkan. Isinya bisa dilihat tapi keutuhan eksistensinya tak bisa dicapai seluruh, dibiarkan sebagai teka-teki. Terdapat sebuah kecenderungan yang mirip dengan tendensi untuk bersembunyi. Diantara bayangan dan sugesti, kita merasa bertemu dengan sesuatu  yang tak jelas benar apa yang ada di dalamnya.

Tapi anehnya, orang menyepakati kebenarannya dan menaruh harapan padanya. Sebuah citra yang seakan bukan bayangan, meski kita tahu tak bakal dapat menjangkaunya. Sulit dibedakan antara yang faktual dan yang fiktif. Hal itu mengingatkan kita pada tipuan fatamorgana; seakan hadir nyata meski sesungguhnya tak pernah ada.

Mungkin itu sebabnya di tengah sengkarut peristiwa politik lazim hari-hari ini, tidaklah berlebihan mengatakan bahwa komunikasi hanya menopengi hegemoni, jargon tak lebih segi lain dari dominasi arti. Produksi citra yang dikemas lewat serangkaian dalih pemerintah tentang mapannya ketahanan pangan nasional, hanya berarti kelabuh penyempurna ilusi fatamorgana belaka agar kenyataan kontras bisa tersembunyi. Itulah realitas gadungan yang dibangun dari polesan, oleh kemasan.

Kita mengingat, betapa terlalu sering pemerintah menyatakan stok beras nasional dianggap mencukupi, namun fakta menunjukkan bahwa data impor beras menggambarkan tren yang bertolak belakang: Indonesia tetap impor beras dalam jumlah besar. Atau juga, tak jarang pemerintah mengklaim surplus beras sebagai penanda keberhasilan swasembada pangan, tapi toh Bank Dunia merilis harga beras di Indonesia lebih mahal 20 persen ketimbang harga di pasaran global, bahkan tertinggi di ASEAN.

Ada pun dalam politik citra, ilusi-ilusi diciptakan untuk menampilkan gambaran yang bagus dan juga yang buruk. Yang menyenangkan akan mengambil citra yang baik, yang tak disenangi akan memilih citra yang menista. Pada yang baik akan digelembungkan, yang buruk selalu dikempeskan. Maka lihatlah, bukanlah sejenis improvisasi visual jika pada masing-masing kantong plastik ini diikat sedemikian erat dengan tali berwarna merah. Tentulah bukan, karena pilihan material berupa tali merah itu dikreasi sebagai sesuatu yang disadari melalui pemikiran.

Di samping itu, pengorganisasian tiap material mempertimbangkan sebuah kaidah yakni tiap bagian berkait dengan bagian lain sebagai keutuhan yang mengandung makna. Dalam arti ini, tali hadir bukan sekedar aksen visual semata tapi terhubung sejenis ketidakwajaran. Ikatannya membentuk gelembung di satu bagian dan pengempesan di bagian lain. Seakan ada yang sengaja dibikin surplus dan ada yang dipaksa defisit.

Maka, beras tak pernah semata-mata satu hal, ia bertaut dengan tubuh kekuasaan dan tubuh sosial. Merupakan medan tikai; gelanggang rebut kepentingan antara keduanya. Dengan berbagai narasi konotatif yang berlapis-lapis akan melahirkan ilusi. Dengan keajaibannya, ilusi bisa menyusup pada isu pertanian apa saja: ekspor, impor, surplus, swasembada, kekeringan, banjir, kelangkaan pupuk, gagal panen, dan lain sebagainya.

“Oryzamorgana” karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan pada Pesta Panen Padi “Maa Ledungga” di Gorontalo

Yang menarik, karya seni instalasi dipajang di gudang penyimpan beras, yang tentu jauh dari kesan bersih dan rapi selayaknya ruang pajang galeri. Kenyataan ini membuat kita merasa berada dalam kesederhanaan ruang marginal di berbagai kampung sudut kota atau wilayah desa tertinggal. Sebuah area yang dilindas percepatan modernisasi. Yakni tempat hidup bagi kaum pinggiran yang secara sosial diberi atribut: minoritas dan rentan. Adalah mereka yang mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai sumber daya yang disebabkan kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Di tengah berbagai diskriminasi, kaum ini sering disingkirkan atas nama pembangunan.

Jangankan melambungkan harapan dan mimpi, komplain atas apa yang dialami keseharian pun berat rasanya. Sebuah potret khas kaum speechless, yang hidup bersama pilihan serba terbatas. Dalam situasi demikian, Putrayasa menampilkan berkantong-kantong gabah yang dipajang beronggok-onggok. Tampaknya ia hendak mengatakan bahwa tumpukan gabah adalah juga tumpukan nasib puluhan juta orang miskin yang kesulitan pangan, bersama  problem stunting sebagai ekornya.

Lalu yang juga kita saksikan, pada kantong-kantong plastik ini menancap ratusan bilah bambu tajam. Menyiratkan tentang ingatan luka, datangnya dari kenyataan Indonesia yang ironis. Sebuah lupa diri menghadapi kenyataan lain bahwa negeri agraris ini tak lagi dihidupi limpah-ruah beras. Menderita selama puluhan tahun karena hidup dikungkung ilusi agrikultur di satu sisi dan kenyataan buruk ketahanan pangan nasional di sisi lain (bahkan, di tahun 2023 Indonesia menduduki peringkat ke-69 dari 113 negara dalam Indeks Ketahanan Pangan Global). Misery menahun karena terus-terusan dibuai romantisasi negara agraris, sementara salah urus tata kelola pertanian terus terjadi. Risikonya, di masa depan Indonesia berada dalam ancaman rawan pangan.

Sementara itu, hal lain yang tampak adalah pasir bertebar melingkar, mengelilingi tumpukan kantong-kantong plastik. Bukankah fatamorgana akan menipu penglihatan, terutama saat kita berada di padang pasir? Oryzamorgana, dengan demikian, adalah situs ingatan yang disekap dalam ruang ilusi fatamorgana sebagaimana kelebat mimpi antah-berantah, mungkin indah tapi tidak pada kenyataannya.

Yang Keseharian Dijadikan Bermakna

Kita mengerti, karya Putrayasa merupakan sejenis karya seni yang berupaya meloloskan diri dari perangkap eksklusifisme dengan cara merengkuh kembali apa yang keseharian. Benda-benda keseharian memang bisa menyelamatkan kita dari dunia pengap karena kepungan berbagai ide monumental, berbagai gagasan abstrak dan berbagai metafisika yang membuat kita berjarak dari kehidupan konkret. Membantu kelayakan tubuh kita untuk lebih peka di tengah seliweran peristiwa yang datang silih berganti dan tumpang tindih. Tubuh merupakan indikator akan kekonkretan. Ia adalah instrumen yang paling peka untuk mengecek kenyataan, bukan?

Meski begitu, yang keseharian dipresentasikan dan dimaknai dengan cara berbeda. Padi yang merupakan benda keseharian tak lagi berada dalam pengertian pragmatisnya, tapi menjelma menjadi gelanggang percaturan berbagai makna. Dengan itu kita beroleh efek segregasi atau pengasingan yakni bolak-balik antara peristiwa seni dan kehidupan sehari-hari, keduanya saling melakukan subversi. Pada saat tertentu, apa yang subversi itu berpotensi memperkaya khazanah hidup kita, mengangkatnya setingkat lebih tinggi dari sebelumnya.

Oryzamorgana bukanlah sejenis  perayaan pesimisme dan kehendak patah arang. Tapi sebagai upaya terlibat dalam  pemaknaan kritis atas gejala dan praktik sosial yang dianggap menyebal dan berlangsung di sekitar kita. Sebuah kontradiksi yang tak selesai dalam sejarah panjang agrikultur kita. Dengan kata lain, isu pangan, utamanya beras, rupanya menjadi persoalan laten sepanjang  rezim kekuasaan mana pun.

Dalam konteks semacam itulah Putrayasa melakukan interupsi, bahkan juga ditujukan pada masa kini, masa ketika elan pertanian mulai diteguhkan kembali lewat keseriusan kebijakan pemerintah. Paling tidak, karya Putrayasa tampil sebagai pengingat tentang kemauan bertarung melawan kegagalan masa lampau dan kesanggupan tak mengulang kesekian kalinya di masa kini dan kelak.

Antara harapan dan kenyataan tak boleh saling menjauh, itulah barangkali yang hendak disampaikan sang seniman. Maka, Oryzamorgana menawarkan daya hidup demi kewarasan: merawat harapan sembari tetap mawas pada kenyataan. Memang, kewarasan kadangkala hadir dari jurusan lain, bukan dengan cara yang bermanis-manis tapi bisa juga datang melalui tusukan pedih membekas. [T]

Penulis: Tatang B.Sp.
Editor: Adnyana Ole

  • BACA JUGA:
Yang Tersisa Dibuat Abadi: Patung Trenggiling Sunda Karya Ketut Putrayasa di Singapura
Meja yang Menyatakan Hasrat
Catatan Akhir Tahun: Ulu Ledak Sang Kromoson
Kode Gurita di Pantai Berawa
Satire “Sisyphus Game” Ketut Putrayasa
“Proyek Mengeringkan Air” Ketut Putrayasa: Sebuah Cibiran Sekaligus Pesan untuk Masa Depan
Tags: agrarisGorontaloKetut PutrayasapadiPameran Seni RupaSeni Rupa
Previous Post

‘Semiotika Senirupa’ Ardika

Next Post

Sri Gunadika dari Banyuning: Kaki Patah, Tapi Tangan yang Mencukur itu Menghidupinya

Tatang B.Sp

Tatang B.Sp

Perupa, tinggal di Denpasar, Bali.

Next Post
Sri Gunadika dari Banyuning: Kaki Patah, Tapi Tangan yang Mencukur itu Menghidupinya

Sri Gunadika dari Banyuning: Kaki Patah, Tapi Tangan yang Mencukur itu Menghidupinya

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Abstrak Ekspresionisme dan Psikologi Seni

by Hartanto
May 25, 2025
0
Abstrak Ekspresionisme dan Psikologi Seni

"Seniman adalah wadah untuk emosi yang datang dari seluruh tempat: dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, dari bentuk yang...

Read more

AI dan Seni, Karya Dialogis yang Sarat Ancaman?

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 25, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

“Seni bukanlah cermin bagi kenyataan, tapi palu untuk membentuknya.” -- Bertolt Brecht PARA pembaca yang budiman, kemarin anak saya, yang...

Read more

Catatan Ringkas dari Seminar Lontar Asta Kosala Kosali Koleksi Museum Bali

by Gede Maha Putra
May 24, 2025
0
Catatan Ringkas dari Seminar Lontar Asta Kosala Kosali Koleksi Museum Bali

MUSEUM Bali menyimpan lebih dari 200 lontar yang merupakan bagian dari koleksinya. Tanggal 22 Mei 2025, diadakan seminar membahas konten,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Kala Bukit Kini Berbuku, Inisiatif Literasi di Jimbaran
Khas

Kala Bukit Kini Berbuku, Inisiatif Literasi di Jimbaran

JIMBARAN, Bali, 23 Mei 2025,  sejak pagi dilanda mendung dan angin. Kadang dinding air turun sebentar-sebentar, menjelma gerimis dan kabut...

by Hamzah
May 24, 2025
“ASMARALOKA”, Album Launch Showcase Arkana di Berutz Bar and Resto, Singaraja
Panggung

“ASMARALOKA”, Album Launch Showcase Arkana di Berutz Bar and Resto, Singaraja

SIANG, Jumat, 23 Mei 2025, di Berutz Bar and Resto, Singaraja. Ada suara drum sedang dicoba untuk pentas pada malam...

by Sonhaji Abdullah
May 23, 2025
Pesta Kesenian Bali 2025 Memberi Tempat Bagi Seni Budaya Desa-desa Kuno
Panggung

Pesta Kesenian Bali 2025 Memberi Tempat Bagi Seni Budaya Desa-desa Kuno

JIKA saja dicermati secara detail, Pesta Kesenian Bali (PKB) bukan hanya festival seni yang sama setiap tahunnya. Pesta seni ini...

by Nyoman Budarsana
May 22, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co