KEBIJAKAN tarif resiprokal 32% yang diumumkan Presiden Donald Trump terhadap Indonesia pada April 2025 telah menciptakan gejolak ekonomi yang signifikan. Meskipun kemudian ditunda selama 90 hari dengan penerapan tarif sementara 10%, kebijakan ini tetap mengancam sektor ekspor padat karya Indonesia yang mempekerjakan jutaan orang.
Pendekatan diplomatik yang ditempuh pemerintah Indonesia perlu diperkuat dengan strategi kontra-presional, sebuah pendekatan yang menggabungkan unsur tekanan balik sebagai respons terhadap tekanan ekonomi dari negara lain. Konsep ini relevan karena Indonesia membutuhkan posisi tawar yang lebih kuat dalam menghadapi kebijakan “America First” yang cenderung mengabaikan diplomasi konvensional.
Ketidakseimbangan kekuatan ekonomi antara Indonesia dan Amerika Serikat menciptakan posisi tawar yang tidak menguntungkan dalam perundingan tarif bilateral. Indonesia dengan PDB sekitar 1,3 triliun dolar AS berada pada posisi lemah ketika berhadapan dengan Amerika Serikat yang memiliki PDB 30 triliun dolar AS. Kesenjangan ini diperburuk oleh strategi negosiasi AS yang memanfaatkan kekuatan ekonominya sebagai senjata utama.
Buktinya, meskipun Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa United States Trade Representative (USTR) sangat mengapresiasi posisi Indonesia yang bersedia berdialog, realitas menunjukkan bahwa pendekatan diplomatik seringkali kurang efektif menghadapi kebijakan Trump yang unilateral. Dengan demikian, Indonesia harus mengakui keterbatasan fundamental dari pendekatan diplomatik konvensional.
Pendekatan Saat ini
Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto telah memilih jalur diplomasi dengan membentuk tiga satgas (satuan tugas) khusus untuk menangani masalah ini. Menurut pernyataan Airlangga, satgas tersebut meliputi satgas perundingan perdagangan investasi dan keamanan ekonomi, satgas perluasan kesempatan kerja dan mitigasi PHK, serta satgas deregulasi kebijakan.
Pembentukan satgas ini menunjukkan keseriusan pemerintah, namun belum memasukkan elemen tekanan balik yang diperlukan dalam menghadapi kebijakan tarif Trump. Respons singkat Prabowo terhadap laporan Sri Mulyani tentang negosiasi tarif, hanya dengan mengatakan “good, bagus”, menunjukkan pendekatan yang terlalu hati-hati. Konsekuensinya, Indonesia perlu memperkuat strateginya dengan elemen kontra-presional agar mampu menegosiasikan hasil yang lebih menguntungkan.
Strategi pivot geopolitik ke China dapat menjadi elemen kontra-presional yang kuat untuk meningkatkan posisi Indonesia. Amerika Serikat memiliki kepentingan vital untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik dalam konteks rivalitas dengan China. Faktanya, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat penundaan tarif sementara menjadi 10%, berbeda dengan China yang tarifnya dinaikkan secara signifikan, mengindikasikan faktor geopolitik turut dipertimbangkan dalam kebijakan tarif Trump.
Oleh karena itu, Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini dengan memberikan sinyal kuat tentang kemungkinan pendalaman hubungan strategis dengan China jika tarif tinggi tetap diberlakukan.
Taktik koalisi regional melalui kerja sama ASEAN dapat menjadi pendekatan kontra-presional lainnya yang efektif. Indonesia sebagai salah satu dari beberapa negara yang terkena dampak kebijakan tarif Trump dapat mengambil inisiatif membangun koalisi regional untuk melakukan tekanan kolektif.
Koordinasi respons dari negara-negara ASEAN terdampak akan menciptakan kompleksitas yang lebih besar bagi Amerika Serikat. Hal ini terbukti dari pernyataan Airlangga bahwa Indonesia “tidak membedakan satu negara dengan negara lain” yang dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk membangun solidaritas regional. Dengan demikian, front bersama ASEAN akan jauh lebih efektif dalam mendorong Amerika Serikat meninjau kembali kebijakan tarifnya secara menyeluruh.
Strategi Ekonomi
Pendekatan “economic triage” melalui kebijakan tarif balasan selektif terhadap produk dari swing-states Amerika Serikat dapat menciptakan tekanan politik internal yang efektif. Trump sangat sensitif terhadap dukungan politik domestik, terutama dari negara-negara bagian yang menjadi basis pendukungnya. Penerapan tarif tinggi secara selektif terhadap produk pertanian dari Wisconsin atau Iowa dapat menciptakan tekanan dari konstituen Trump sendiri.
Data menunjukkan bahwa produk-produk ini memiliki nilai strategis tinggi dalam ekonomi politik domestik AS. Hasilnya, strategi ini dapat mendorong pemerintah AS untuk lebih kompromi dalam negosiasi tarif dengan Indonesia.
Implementasi strategi kontra-presional perlu dilakukan secara bertahap dan terukur untuk menghindari eskalasi yang kontraproduktif. Indonesia tidak perlu langsung menerapkan seluruh elemen kontra-presional secara bersamaan, melainkan dapat mengadopsi pendekatan bertahap yang dimulai dengan diplomasi lunak kemudian secara progresif meningkat menjadi strategi yang lebih tegas.
Sebagai langkah awal, perlu ditetapkan parameter dan red lines yang jelas sebagai trigger point, misalnya jika AS menolak menurunkan tarif di bawah tingkat tertentu setelah periode tertentu. Akibatnya, Indonesia akan memiliki kerangka kerja yang sistematis untuk eskalasi strategis tanpa merusak hubungan bilateral secara keseluruhan.
Ketahanan Domestik
Langkah-langkah mitigasi domestik harus berjalan paralel dengan strategi kontra-presional untuk menghadapi kemungkinan kegagalan negosiasi. Pembentukan satgas perluasan kesempatan kerja dan mitigasi PHK menunjukkan kesadaran pemerintah akan risiko domestik dari kebijakan tarif Trump.
Indonesia perlu mempersiapkan paket stimulus ekonomi yang komprehensif untuk sektor-sektor terdampak, termasuk insentif fiskal dan program pelatihan ulang tenaga kerja. Berdasarkan pengalaman negara-negara yang menghadapi perang dagang, ketahanan ekonomi domestik merupakan prasyarat bagi keberhasilan diplomasi kontra-presional.
Dengan demikian, pemerintah perlu mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk memperkuat ketahanan sektor-sektor yang rentan terdampak kebijakan tarif Trump.
Pendekatan kontra-presional tidak berarti Indonesia harus meninggalkan jalur diplomatik secara total. Keseimbangan antara ketegasan dan pragmatisme tetap menjadi kunci dalam menghadapi kebijakan tarif Trump.
Pernyataan Airlangga bahwa Presiden Prabowo mengarahkan Indonesia untuk menawarkan win-win solution tetap relevan, namun perlu diperkuat dengan strategi kontra-presional sebagai insurance policy. Indonesia masih dapat memanfaatkan jalur diplomasi formal seperti Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) sambil mempersiapkan elemen kontra-presional. Hasilnya, Indonesia dapat memaksimalkan hasil negosiasi tarif tanpa mengorbankan hubungan bilateral jangka panjang dengan Amerika Serikat.
Dalam era ketidakpastian global saat ini, Indonesia perlu mengembangkan kapasitas diplomasi kontra-presional sebagai bagian dari arsitektur politik luar negerinya. Pemerintah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan secara serius integrasi elemen kontra-presional dalam strategi diplomatiknya, tidak hanya untuk menghadapi kebijakan tarif Trump tetapi juga sebagai persiapan menghadapi tantangan serupa di masa depan.
Pengalaman dari kasus tarif Trump dapat menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya memiliki berbagai opsi diplomatik dalam menghadapi kekuatan ekonomi besar. Oleh karena itu, diplomasi kontra-presional harus menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri Indonesia yang adaptif dan berdaulat. [T]
Penulis: Elpeni Fitrah
Editor: Adnyana Ole
Baca artikel lain dari penulis ELPENI FITRAH