“Om Angga kerjanya santai, ya?” Ibu pemilik sebuah warung makan berkata pada saya, sekitar dua bulan lalu. Pertanyaan itu terlontar, mungkin, karena saya sering makan di warungnya saat orang kebanyakan bekerja, atau hendak berangkat kerja. Di warung tersebut, saya juga duduk dan nongkrong agak lama; membalas chat, koordinasi kerja, menulis catatan, dan lain-lain.
Saya jelaskan padanya, meski sebelumnya ia tahu saya seorang wartawan, bahwa saya hampir setiap hari bangun pada dini hari pukul 01.30/02.00/02.30, lalu menulis dan mengedit berita dan artikel hingga pukul 05.00/05.30. Kemudian, tidur sebentar dan saat pagi tiba mulai beraktivitas lagi. Jika ada jadwal liputan, pagi hingga siang, lanjut menulis berita. Lalu pada malam hari (jika tidak sangat mengantuk), mengedit dan menulis berita atau artikel lagi. Jika mengantuk, saya tidur lebih awal untuk kemudian bangun pada dini hari. Begitu seterusnya.
Bedanya, jika menulis lepas, waktu saya tidak berbuah upah/materi secara langsung. Itu datang ketika tulisan saya kumpulkan menjadi buku dan dijual. Pun saat menjadi kontributor sebuah media online setahun belakangan ini; tak ada gaji, hanya honor liputan. Syukurlah, kini saya mendapat pekerjaan sebagai wartawan media online yang memberi gaji bulanan. Setidaknya ada kepastian akan terpenuhinya kebutuhan hidup setiap bulan; bayar kos, makan/minum, kuota internet, BBM sepeda motor, rekreasi dan jalan-jalan, serta juga mentraktir tunangan.
Santai? Hanya jam kerja yang berbeda dengan orang kantoran. Maka itu, pesan saya terutama pada anak muda jika mereka meminta saran: pilihlah pekerjaan yang tidak banyak orang lakukan. Persentase yang kecil bila dibandingkan jenis pekerjaan umum di masyarakat.
Jadi penulis? penyair? wartawan? boleh saja, jika kalian suka. Bakat nomor kesekian. Percuma punya bakat, jika tak dilatih juga akan berkarat; menyisakan sikap jumawa dan memuja kenangan serta prestasi masa lalu. Merasa hebat, ‘punya nama’, padahal karyanya tak ada kemajuan baik mutu maupun kualitas. Mandeg. Stagnan.
“Jika saya santai, apalagi tak punya penghasilan, mana ada perempuan yang mau pada saya, Bu!,” ucap saya terkekeh, usai membayar makanan dan minuman di warung dengan menu lezat dan murah tersebut. Ibu pemilik warung tersenyum, sebelum saya meninggalkan warungnya.
Profesi Wartawan
Berkenalan dengan jurnalisme saat mengikuti pelatihan jurnalistik ketika SMA pada 2001, dan bergaul dengan para wartawan lokal di Negara, Jembrana—kampung halaman saya, memberi pemahaman pada saya yang saat itu remaja, bahwa apapun profesi yang kita pilih, asalkan dilakoni dengan tekun, pasti akan membuat kita bahagia. Tidak hanya sekadar nyaman.
Pada 2008 saat tahun-tahun terakhir kuliah, dari sebuah iklan lowongan pekerjaan di koran, saya melamar pada sebuah perusahaan media di Denpasar Timur. Kala itu belum ada media online seperti sekarang. Hanya ada koran, majalah, dan tabloid. Perusahaan media yang saya tuju memproduksi tabloid, milik pejabat penting di Bali kala itu.
Setelah proses wawancara oleh pemimpin redaksi, saya langsung diterima bekerja sebagai wartawan. Teori-teori jurnalistik yang saya dapatkan saat SMA menjadi bekal penting ketika saya terjun langsung dalam dunia kerja. Rekan kerja yang baik dan solid, ditambah koordinasi dan komunikasi dengan redaktur serta pemimpin redaksi yang lancar menambah semangat saya.
Hanya saja, saya tidak lama bekerja di sana. Tidak sampai setahun, saya mengajukan permohonan mengundurkan diri. Sebabnya, saya ingin fokus menyelesaikan kuliah. Saya merasa kewalahan membagi waktu antara bekerja dan menyelesaikan studi yang hanya tinggal mengulang tiga mata kuliah dan menyelesaikan skripsi. Kuliah Kerja Nyata sudah saya jalani.
Waktu itu saya mengalami krisis mental. Emosi yang rapuh karena baru berpisah dengan sang kekasih, ditambah uang bulanan yang diputus dari keluarga karena sebuah sebab, mengharuskan saya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Maka itu saya mencari pekerjaan. Sementara profesi wartawan saya jalani dengan kurang fokus dan total. Saya merasa lelah baik fisik dan mental. Tahun-tahun itu benar-benar berat, hingga akhirnya saya mengalami gangguan mental skizofrenia pada 2009, yang membuat kuliah tidak bisa saya rampungkan.
Sebenarnya, bisa saja keluarga mengajukan cuti kuliah untuk saya. Setelah saya agak pulih bisa kembali ke kampus dan menamatkan kuliah. Namun hal itu tidak dilakukan. Saya disuruh kembali ke kampung halaman, setelah beberapa waktu dirawat di rumah sakit jiwa. Perasaan saya waktu itu benar-benar hancur. Gagal menjadi sarjana, dianggap tak punya masa depan, saya bagaikan pesakitan dan orang yang gagal. Sedih sekali rasanya. Saya hanya bisa pasrah.
Pada 2015 saya kembali ke kota yang pernah lama saya tinggali: Denpasar. Sebelumnya saya sempat bekerja menjadi guru bahasa Inggris sebuah yayasan sosial di Tejakula, Buleleng. Kemudian saya memutuskan untuk pindah ke Denpasar. Pekerjaan pertama saya adalah wartawan sebuah tabloid budaya dan spiritual Bali yang berkantor di Renon. Tidak mudah untuk bekerja kembali setelah lama sakit. Bahkan pengobatan juga tidak terlalu tepat, karena obat psikiatri yang saya konsumsi terlalu “berat” dan tidak dievaluasi sesuai kondisi terkini.
Perkenalan dengan seorang calon psikiater kala itu banyak membantu saya dalam pengobatan yang tepat. Sudah sepuluh tahun kami bersahabat, hingga kini kami sama-sama “populer”. Dia menjadi psikiater yang banyak menjadi rujukan di Bali, sementara saya menjadi penulis dan wartawan yang punya kompetensi dan prestasi—sering memenangkan lomba jurnalistik.
“Belakang Meja”
Menekuni profesi wartawan secara aktif sejak 2015, dimana saya menemukan jalan hidup sebagai wartawan sekaligus seorang pengarang, sangat membantu untuk pulih dan stabil. Dukungan dari tunangan semenjak lama membuat saya sangat bersyukur atas segala pencapaian yang saya raih. Tidak selalu dalam bentuk materi. Lebih dari itu; ketenangan batin, kesehatan, kebahagiaan, dan keberlimpahan akan cinta-kasih. Tentu para pembaca setuju bahwa itu lebih penting dari materi, yang bisa dicari tetapi tidak bisa menjamin kita mendapatkan empat hal itu.
Sebagai wartawan, memang saya “kalah jauh” dengan para wartawan muda yang tangkas, penuh semangat, penuh vitalitas dalam mobilitas mencari dan meliput berita. Jujur saya akui, saya memang jarang terjun langsung ke lapangan untuk misalnya meliput sebuah peristiwa atau pertemuan penting para tokoh. Berita-berita yang saya hasilkan proses dari tulis ulang atau re-write dari rilis-rilis pers, baik itu dari intansi pemerintahan maupun swasta, sekolah/universitas maupun dari kiriman agensi media, baik yang ada di Bali maupun di luar Bali, semisal Jakarta.
Saya berpikir, wartawan pada zaman sekarang sangat berbeda keadaannya dengan wartawan pada zaman dahulu. Wartawan sekarang, dalam mencari sumber berita, tidak harus menemui langsung narasumber atau orang-orang yang terkait dalam sebuah peristiwa. Berrbeda dengan wartawan zaman dahulu dalam mencari berita mesti datang langsung pada sebuah kejadian, kebakaran, misalnya. Atau kriminalitas semacam kasus pencurian maupun pembunuhan.
Meskipun, cara kerja jurnalistik tidak begitu jauh berlainan, wartawan zaman sekarang bisa menemukan sumber berita melalui internet dan media sosial—yang bahkan kini menjadi “sumber pertama” dalam mengabarkan sebuah kejadian atau peristiwa, pada masa setiap orang punya “kemampuan” bak seorang wartawan; menulis teks atau menayangkan video bahkan secara real time atau langsung. Media sosial juga jadi rujukan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, walaupun sebenarnya tidak semua merupakan produk jurnalistik.
Wartawan—terutama media online, kemudian tinggal mengutip atau melakukan konfirmasi kepada pihak terkait lalu menayangkan/memuat di media online tempatnya bekerja (atau media online sendiri jika bagi mereka yang punya media sendiri).
Alhasil, wartawan sekarang tidak lagi perlu berpanas-panas dan berpeluh untuk liputan secara langsung. Semua bisa dilakukan di “belakang meja”. Sambil menyeruput kopi atau teh di sebuah kafe, atau sambil menyantap makanan di warung makan. Apalagi, dengan ponsel pintar semua bisa dikerjakan dari jarak jauh atau remote. Koordinasi dengan rekan kerja dan atasan bahkan mengirim berita pun kini bisa dilalukan melalui grup pesan WhatsApp. Canggih dan maju.
Tapi, seperti yang banyak wartawan terutama dari generasi terdahulu sampaikan, kualitas berita maupun karya jurnalistik wartawan zaman sekarang banyak yang buruk. Berita yang sensasional, hanya mengejar viewer untuk menjadi viral, bahkan melanggar kode etik jurnalistik memang kini banyak kita jumpai. Namun, tidak semua wartawan seperti itu. Masih ada banyak wartawan baik usia muda, menengah, maupun tua yang punya integritas dan kualitas bagus. Semua kembali berpulang pada wartawan itu sendiri. Mau terus belajar dan mengembangkan diri atau hanya ingin mencari uang (saja) dengan menjadi wartawan ala kadarnya, bahkan bekerja pada media tidak resmi atau abal-abal, yang justru merusak nama baik wartawan dan pers di masyarakat. [T]
Penulis: Angga Wijaya
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA