Bau khas cat semprot yang bertebaran saling padu dengan aroma biji kopi dan latte yang baru diseduh, menyambut kehadiran pengunjung dan para peserta diskusi Tangi Behind The Wall di beranda Berbagi Coffee, Denpasar, pukul 6 sore, 20 April 2025.
Menjelang waktu acara, peserta mulai berdatangan tak ada habisnya, kursi-kursi kosong kian penuh. Para seniman yang kehabisan cat kaleng pun berhenti beraksi, ikut berbaur berebut kursi kosong, mencari posisi paling nyaman, bersiap menjadi bagian dari peristiwa hangat yang akan mempertemukan para dedengkot militan–kelompok dan para seniman–penggerak street art1 di Bali dalam satu forum yang sama. Membendungnya animo peserta diskusi, bikin awan mendung saja enggan menabur butir-butir hujannya.
Pada momen inilah rangkaian awal dari edisi ketiga Tangi Street Art Festival 2025 dimulai.
Mengutip salah satu co-founder Tangi, Dwymabim, “Tangi Street Art Festival adalah gerakan kolektif yang dimulai bersama beberapa seniman Bali yang juga memiliki minat yang sama pada street art. Sejak debut Tangi pada tanggal 1 Mei 2023 lalu, kami berusaha untuk menampilkan perkembangan dunia street art di Bali yang kian berkembang pesat“. Bim menambahkan, bahwa inisiatif yang digagas olehnya, Yessiow, Zolalongor, dan Aldy Putra ini dicita-citakan untuk menjembatani pertemuan dan pertukaran budaya antara seniman lokal dan internasional, serta interaksi publik dan seniman, melalui ekspresi dan eksplorasi artistik yang personal untuk memeriahkan ruang perkotaan dan ruang-ruang publik lainnya dengan karya seni yang menggugah.
Yang Sebelum dan Sesudah Tangi
Berlangsung selama hampir dua setengah jam, peristiwa dialogis yang lebih banyak memperbincangkan potongan-potongan historigrafi dan perkembangan seni jalanan di Bali ini dipandu oleh Savitri Sastrawan, kurator dan anggota kolektif Gurat Institute. Dengan bahan obrolan diamunisi oleh para seniman penggerak street art di Bali yang tergabung dalam komunitas Bali yang Binal (Dewa Keta dan Wahyu), Rurung Gallery (Pansaka dan Unclejoy), Suksma Bali (Nugi Ketut dan Nedsone), dan SMoTS (Jessmoon).

Foto-foto oleh Jeremy Angus Fadjarai
Keempat komunitas street art di Bali yang diundang sebagai narasumber dalam program Tangi Behind The Wall ini dianggap mewakili tiap generasi yang turut menumbuhkan ekosistem dan spirit seni jalanan di Bali. Tuduhan saya pada panitia Tangi, kelompok-kelompok ini tak hanya dihadirkan untuk meromantisir panjangnya pergerakan seni dengan karakteristik yang melekat pada ruang publik ini di Bali. Tetapi juga untuk menunjukkan bagaimana geliat-geliat yang ada dalam dunia seni jalanan di Bali sejak awal turut menularkan kreatifitas dan semangat bergerak secara kolektif kepada generasi-generasi berikutnya. Tangi, tentu adalah salah satu dari produk regenerasi tersebut.
Maka demi menyegarkan kembali ingatan kita terhadap gerakan-gerakan kelompok street art yang sudah dan masih berlangsung, atau sebelum dan sesudah kelahiran Tangi, sesi awal obrolan dibuka oleh Savitri dengan menyilahkan masing-masing seniman perwakilan kelompok menjelaskan soal modus operandi yang mereka anut.
Sebagai gerakan yang usianya paling lama, Bali yang Binal (BYB) melalui Dewa Keta dan Wahyu menjelaskan bahwa gerakan awal mereka didasari sebagai respon/kritik terhadap event seni rupa Bali Biennale yang digelar pada sekitar pertengahan tahun 2005 silam. Menganggap Bali Biennale fishy dan cenderung nepotis, BYB kemudian memilih hadir sebagai event tandingan yang kemudian lebih banyak memberi ruang kepada para perupa dan pegiat seni muda dari berbagai disiplin untuk berkesplorasi. Alhasil, edisi pertama mereka yang diselenggarakan di Gedung Kriya Art Centre, Denpasar, kala itu langsung mendapat ruang di hati kawula muda seni rupa Bali.

Foto-foto oleh Jeremy Angus Fadjarai
Pada edisi berikutnya inisiatif BYB yang awalnya dikemas di ruang pamer konvensional kemudian berevolusi kembali pada akarnya, yaitu ruang publik dan jalanan. Bergerak secara konsisten lewat event mural, melukis baliho, dan pameran, kini gerakan dua tahunan yang dipayungi oleh Komunitas Pojok ini telah memasuki edisi ke-9 (2021). Mereka kini genap berusia 20 tahun.
Menyusul Bali Yang Binal, hadir Rurung Gallery yang aktif bergerak diantara tahun 2018 – 2020. Menolak disebut sebagai komunitas, Pansaka dan Unclejoy menjelaskan bahwa semangat utama Rurung ketika dibentuk yaitu untuk mewadahi talenta-talenta baru yang dalam periode itu banyak tidak terbaca dalam peta street art di Bali.
Ramainya event internasional street art di Bali kala itu yang hanya melibatkan segelintir seniman, memicu Pansaka dan Unclejoy membuat arus lain untuk mengaliri ruang-ruang urban dan desa di Bali dengan kreatifitas dan ekspresi yang lebih segar.

Foto-foto oleh Jeremy Angus Fadjarai
Salah satu highlight kegiatan Rurung Gallery yaitu Street jamming di Pasar Kumbasari dan Gang-gang seputar Denpasar, Pameran kelompok di Lingkara Space, serta Mural Pasca Panen yang masing-masing melibatkan interaksi dan kegiatan edukasi seni bersama masyarakat di tempat mereka menggambar. Menghadapi pandemi Covid pada tahun 2020, Rurung Gallery yang masih menyimpan ambisi besar terhadap seni jalanan di Bali mau tak mau harus hiatus. Meski demikian anggota-anggota Rurung hingga kini masih aktif mewarnai tembok-tembok jalanan secara personal, seolah ingin terus memberi tanda bahwa Rurung Gallery #7 akan segera kembali.
Covid memang menjadi era dilematis, gairah berkolektif pun harus dikorbankan untuk berdamai dengan pembatasan sosial. Rurung dan banyak komunitas lainnya terpaksa hiatus sambil memantapkan langkah selanjutnya. Meski demikian, satu kelompok mural dan graffiti baru yang menamai diri mereka Suksma Bali lebih memilih untuk merayakan kondisi penuh ketidakpastian itu. Sebab dibentuk pada awal tahun 2020, momen pandemi kemudian secara tidak langsung menandai kemunculan Suksma Bali yang kala itu tengah rajin memompa jantung subkultur Bali.
Nugi dan Nedsone, salah dua advokator kelompok dan event ini menjelaskan bahwa sebagian besar anggota dari Suksma Bali tergabung kawan-kawan segenerasi yang telah aktif menggambar, mural dan graffiti bersama sejak periode 2010an. Kondisi kacau balau yang membatasi aktivitas dan mata pencaharian ini kemudian menjadi dorongan kuat bagi para anggota kelompok Suksma Bali untuk tetap rutin bertemu dan mengaktivasi acara menggambar bersama/ jamming mural dan bombing graffiti sambil diiringi musik, membuat layangan, hingga akhirnya berpameran bersama. Inilah cara mereka untuk “bersenang-senang dengan serius”. “Hari Raya Graffiti” di Bagia Art Space, “Lanjut” di Warung Ajik, “Galleri di Mall” di Fraksiepos, adalah beberapa diantara program yang sukses mereka inisiasi bersama dalam rentang tahun 2020 – 2022.
Sesi awal ini kemudian diakhiri kelompok SMoTS, diwakili oleh Jesmoon sebagai inisiator. SMoTS (akronim dari Small Movement On The Street) dalam diskusi ini merepresentasikan generasi termuda yang tumbuh dan turut membangun medan seni jalanan di Bali. Jes mengakui, bahwa awal ia mulai terjun pada dunia street art karena banyak terinspirasi oleh gerakan-gerakan street art yang ada sebelumnya. Ketika melihat event street art di eranya cenderung tidak seaktif tahun-tahun sebelumnya (meminjam istilah Nugi, “hemat daya”), Jes yang merasa membutuhkan ruang ekspresi serta eksitensi dengan spirit yang serupa kemudian memulai gerakan SMoTS ini dengan mengundang barisan talenta segenerasinya untuk melakukan jamming mural di tembok-tembok kota yang mereka temui.
“Ada satu prinsip yang saya yakini ketika memulai SMoTS ini, bahwa setiap hari dari gerakan kita adalah upaya untuk meraih 1% peningkatan (improvement), maka dengan tetap berkarya dan melatih diri kita akan menjadi beberapa kali lipat lebih baik dari saat kita memulai”, tegas Jes pada visinya. Digagas pada kuartil ketiga 2024, SMOTS sebagai event reguler dirancang berjalan sebanyak setidaknya 1 bulan sekali, serta berkomitmen untuk digelar rutin secara swadaya dengan modal utama yang berasal dari masing-masing seniman yang berpartisipasi dalam setiap acara.
Behind The Wall
Selain perjalanan kreatif mereka, aspek lain yang coba diulik oleh Savitri dari keempat kelompok ini yaitu soal tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masing-masing kelompok. Sebut saja salah satunya cara mendanai inisiatif masing-masing yang notabene jika bicara pilihan medium berkarya street art tentu berkaitan erat dengan persoalan amunisi cat kaleng dan cat tembok yang harganya cenderung tak ekonomis, logistik para seniman, dan lain sebagainya.

Foto-foto oleh Jeremy Angus Fadjarai
Merangkum tanggapan dari para kelompok, model yang paling umum diterapkan untuk mendanai inisiatif mereka yaitu kelola berbasis swadaya dan sponsorship. Semisal BYB yang sepenuhnya mengandalkan dana hasil program “Sawer Night” dengan mengadopsi format lelang karya, serta sponsorship dari jenama-jenama kreatif yang dirasa memiliki visi yang sama. Adapun sokongan dana dari sponsor ini pun sifatnya sukarela, sehingga tidak mendorong mereka untuk keluar dari kebiasaan berkarya. Namun tak jarang demi memudahkan pengadaan dan pengumpulan dana tersebut, mereka harus menyamar sebagai mahasiswa (Epic Fact 1). Di sisi lain, Rurung Gallery tak jarang pula mendapatkan sponsor berupa material cat tembok, yang tidak bisa dipakai alias expired (Epic Fact 2).
Tantangan lain yang umum mereka temui yaitu seputar resistensi dan negosiasi. Dua hal ini adalah keniscayaan bagi para pelaku seni jalanan. Resistensi bisa berasal dari mana saja, dari kalangan apapun. Baik disebabkan isu dan pesan yang diangkat dalam karya, anggapan street art sebagai bentuk vandalisme yang dibenamkan sejarah kepadanya, hingga kepentingan publik, maupun keisengan apresiator semata. Negosiasi pun bisa berangsur panjang dan rumit, tatkala pemilik tembok menolak memberi izin, atau kemudian izin diberikan dengan mengintervensi gambar yang akan dkerjakan, hingga pemungutan biaya yang dibebankan kepada seniman.
Boleh jadi, semua street artist tampaknya menyepakati bahwa kondisi inilah yang kemudian menjadi karakteristik dan mendefinisikan disiplin yang mereka jajaki. Segala gesekan, batasan, dan tantangan yang tak ada habisnya–kadang tragis, penuh komedi, dan bikin heran dalam proses mereka berkarya ini sesungguhnya menjadi ironi sekaligus kisah manis yang tak sekedar untuk dikenang tetapi juga bagian yang melekat dan membuat karya-karya mereka menjadi utuh, siap diapresiasi. Saya meyakini, bagaimanapun bentuk pembatasan ekspresi dan macam-macam penolakan yang ada terhadap apapun bentuk karya seni itu, pada akhirnya ia akan menemukan jalan untuk dapat bicara dengan lantang.

Foto-foto oleh Jeremy Angus Fadjarai
Demikian peristiwa dialogis hangat yang menjalin spirit kelompok street art lintas generasi yang sudah lama tak terjadi ini–setidaknya setahu saya saat menulis catatan pendek ini–kemudian berlanjut dengan umpan lambung pertanyaan dari para peserta yang ditanggapi dengan serius dan sisipan ngehek oleh keempat kelompok narasumber dan para seniman lain yang hadir.
Program Tangi Behind The Wall ini kemudian ditutup dengan screening video dokumentasi mendalam yang merekam proses kreatif dari masing-masing kelompok street art. Mengembalikan momen haru biru dari setiap jengkal dedikasi, kebersamaan, dan keintiman kerja sama para seniman yang berkumpul dan berkarya di jalanan, di sudut-sudut perkotaan dan pedesaan Bali.
Tangi 2025: Tri Hita Karana
Di penghujung acara, co-founder Tangi, Yessiow menyita perhatian peserta dengan menumpahkan tema yang akan diangkat pada edisi ketiga Tangi Street Art Festival.
“Pada edisi 2025, Tangi mencoba mengangkat inspirasi dari filosofi Bali yaitu Tri Hita Karana, sebuah prinsip yang kita kenal menekankan harmoni antar tiga aspek penting kehidupan, diantaranya spiritualitas, kemanusiaan, dan alam. Tema ini sekaligus menjadi harapan kami agar dapat menjadi wadah bagi para seniman untuk menyelami keterhubungan antara yang Ilahi (Parahyangan) melalui perayaan spiritualitas dan ekspresi seni, komunitas (Pawongan) dengan mendorong kolaborasi serta persatuan melalui karya seni, serta alam (Palemahan) melalui upaya memperkuat keberlanjutan dan kesadaran lingkungan.”
Yessiow menambahkan tema ini nantinya akan direspon oleh barisan street artist (Bali, Nasional, dan Internasional) keatas tembok-tembok seputar area Desa Guwang, Bali, mulai tanggal 11-17 May mendatang. Barisan seniman yang dijaring oleh tim Tangi melalui jalur undangan ini diantaranya Slinat, Awshit, Ayu Muniarti, Stereoflow, Sicovecas, Joren Joshua, Baki Baki, Luogo Comune, dan Joan Aguiló.
Selain mural jamming, Tangi 2025 akan diaktivasi dengan berbagai program pamungkas diantaranya live painting di Tegal Temu Space Batubulan, kids program, mural tour, graffiti jamming, art market, music, perfomance, documentary screening, art talk dan pameran kelompok di Kulidan Kitchen & Space, Guwang, Bali. Informasi selengkapnya bisa dipantau pada laman resmi dan sosial media Tangi Street Art Festival.
Saatnya bangun dari ranjang sumukmu, dan jadi bagian dari Tangi Street Art Festival 2025. [T]
Gunung Kawi, 27 April 2025
1 Istilah street art dan seni jalanan yang bolak-balik dipertukarkan dalam tulisan ini merujuk pada definisi yang sama. Definisi street art atau seni jalanan menurut Diksi Rupa yang disusun oleh Mikke Susanto yaitu sebagai bentuk ekspresi visual yang lahir dan tumbuh di ruang publik. Karya-karya yang termasuk dalam ranah ini tidak diciptakan untuk dipajang secara eksklusif di galeri atau ruang pamer formal, melainkan muncul secara spontan di lingkungan perkotaan—misalnya pada dinding, trotoar, dan infrastruktur kota lainnya.
Penulis: Vincent Chandra
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: