ADA yang perlu dikenang saat pembukaan pameran Kelompok Seni Galang Kangin (KSGK) di Neka Art Museum, Ubud, 18 April 2025. Pameran bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” ini, bertepatan dengan ulang tahun ke 29 KSGK. Perhelatan ini, juga bisa di artikan untuk mengenang atau re-obituari almarhum Made Supena yang wafat 6 tahun lalu. Supena, salah satu pendiri KSGK – wafat pada 16 April 2019 di RS Sanglah.
Saya mengenal Supena, pribadi yang rendah hati, sekitar tahun 2000-an. Saat itu, yang saya tahu Made Supena sebagai perupa dengan penggayaan abstrak. Belakangan, saya baru tahu kalau Supena juga berkarya patung. Khususnya patung kayu. Mungkin saja, ayahandanya, Bapak Wayan Muja sebagai maestro pematung – menginspirasinya. Saya, terbilang suka karya lukis abstraknya, sama sukanya dengan karya-karya patung kayunya.
Pada perhelatan ini, teman-teman GK melalui ketuanya Galung Wiratmaja menampilkan karya Made Supena yang merupakan koleksi Neka Art Museum, Ubud. Karya tersebut dibuat pada tahun 2004. Sembilan (9) patung abstrak figuratif dengan lekukan halus dan permukaan yang dipoles, sangatlah menarik. Pola serat kayu alami terlihat jelas, memberikan karakter organik pada karya ini. Ada detail ukiran atau indentasi yang menyerupai fitur wajah bayi. Ini, menambah dimensi simbolis pada patung karya Supena tersebut.
Patung kayu bertajuk “Generasi”ini adalah representasi yang kuat dari konsep kelahiran dan kreativitas baru. Terlihat bahwa kesembilan figur tersebut memiliki bentuk yang lembut dan alami, dengan ekspresi yang tenang dan ukiran yang minimalis. Penggunaan berbagai jenis kayu—nangka, suar, dan kambodja—menambah dimensi visual yang kaya, terutama dalam keindahan serat kayu yang menjadi bagian integral dari estetika karya ini.

Satu dari 9 karya Made Supena yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist
Konsep karya-karya Supena sering kali menggali persoalan alam dan kehidupan, kemudian merepresentasikannya secara formalistik. Selain melukis, ia juga mengembangkan gagasannya dalam bentuk patung, instalasi, dan seni pertunjukan. Karya-karyanya dapat dibaca melalui pendekatan teks dan konteks, di mana unsur-unsur seni rupa dan nilai estetis yang terkandung dalam karya menjadi bagian dari pemaknaan yang lebih dalam.
Dalam hal ini, figur-figur yang menyerupai bayi-bayi dalam patung tersebut bisa diinterpretasikan sebagai simbol awal dari generasi baru dan kreativitas baru. Bentuk yang sederhana namun ekspresif menunjukkan bagaimana Supena mengubah ide dari gambar dua dimensi menjadi karya seni tiga dimensi yang memiliki daya tarik emosional dan filosofis.
Ini, mengingatkan kita pada Aristoteles. Ia memandang seni sebagai bentuk mimesis atau imitasi, tetapi bukan sekadar meniru realitas. Seni juga harus mampu menyampaikan esensi dan emosi yang lebih dalam. Dalam konteks patung Made Supena: Patungnya, meskipun abstrak, dapat dianggap sebagai representasi esensi alam dan manusia. Bentuk organik dan penggunaan kayu sebagai medium mencerminkan hubungan manusia dengan alam, yang merupakan inti dari mimesis.

9 karya Made Supena yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist
Aristoteles, dalam bukunya yang berjudul “Poetika”, percaya bahwa seni memiliki kemampuan untuk memicu katharsis, yaitu pelepasan emosi yang mendalam. Patung ini, dengan bentuknya yang harmonis dan tekstur kayu alami, dapat memancing refleksi dan emosi dari penikmatnya, seperti rasa tenang, keterhubungan, atau bahkan introspeksi. Karena memang Katharsis dianggap sebagai salah satu tujuan utama dalam berkesenian, sebab membantu audiens mencapai pemurnian emosional dan refleksi mendalam.
Sementara itu, dalam pemahamanestetika – menurut Aristoteles keindahan terletak pada harmoni, proporsi, dan keteraturan. Penilaian subyektif saya, patung-patung karya Supena menunjukkan harmoni dalam bentuk dan tekstur, serta menciptakan keseimbangan visual yang memikat. Selain itu, ada produk pemikiran yang melatari konsep penciptaannya.
Pada tahun 2015 Supena juga pernah menggelar 100 karya patung figure bayi di Kubu Kopi, Denpasar. Perhelatan di Kubu Kopi bertajuk : Solitude to The Childs, digelar dari tanggal 30/6/2015, dan berlangsung selama 10 hari. Event ini, semacam protes perupanya pada tindakan kekerasan dan pembunuhan Engeline oleh orang tua angkatnya. Peristiwa di Denpasar ini, sempat viral secara nasional.
Selain itu, Supena juga mengkritisi berbagai peristiwa perang di muka bumi ini. Pasalnya, setiap peristiwa perang senantiasa yang jadi korban adalah ; anak-anak, perempuan, dan orang tua. Jadi, karya Supena tersebut juga semacam representasi atas maraknya fenomena sosial, khususnya ‘ketertindasan’ mereka yang lemah.
Karya seni Supena yang melibatkan patung bayi dari kayu ini dapat dianalisis sebagai bentuk socio-artistic commentary. Dalam studi seni, konsep seperti ini dikenal sebagai seni protes (protest art), yaitu ekspresi artistik yang bertujuan menyampaikan kritik terhadap kondisi sosial, politik, atau kemanusiaan tertentu.

Satu dari 9 karya Made Supena yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist
Banyak seniman dan pemikir telah berkontribusi pada gagasan ini, termasuk Francisco Goya, yang menggunakan seni untuk mengkritik ketidakadilan sosial, serta seniman modern seperti Banksy, yang sering menyampaikan pesan sosial melalui seni jalanan.
9 Patung bayi kayu dalam pameran ini, bisa juga menjadi simbol visual yang memancing refleksi emosional dan intelektual terhadap isu-isu seperti kekerasan terhadap anak dan dampak perang. Dari perspektif semiotika, patung bayi kayu bertajuk “Generasi” ini dapat diinterpretasikan sebagai tanda (sign) yang mewakili ketidakberdayaan dan kerentanan manusia di tengah konflik sosial.
Roland Barthes, seorang teoretikus semiotika, mungkin akan menggambarkan karya ini sebagai “mitos budaya,” di mana bentuk seni digunakan untuk mendekonstruksi narasi sosial yang ada, seperti pandangan masyarakat terhadap kekerasan dan penindasan.
Pada tahun 2015 itu juga, Supena mendaftar untuk mengikuti seleksi Beijing International Art Biennale (BIAB) Cina yang ke 6. Saya tidak terlibat mengkurasi karya Supena. Saya hanya melihat-lihat manakala Supena memilih karyanya, diantaranya ada karya abstrak figurative Boroburudur, beberapa karya abstrak horizon nya, dan karya Golden Land.
Karena thema perhelatan internasional itu “Memory and Dream”, Supena cenderung memilih Golden Land. Dan karya itu yang lolos di Biennale tersebut. Saya, hanya pernah membantu kurasi perupa Bali termasuk Made Supena, pada event Beijing International Art Biennale pada tahun 2008, 2010, dan 2012. Dan Olimpic Fine art Beijing – sebagai event yang melengkapi Olimpiade Beijing 2008.

Karya Made Supena ” Emosi” 120 x 180 | Foto: google
Sebenarnya, karya abstrak figuraftif Made Supena, maupun karya-karya horizon lautnya, amatlah menarik secara estetik. Hanya saja, subyektifitas saya, agak terganggu rasanya. Pasalnya, di saat itu juga, karya-karya Horizon maupun Borobudur, identik dengan karya maestro Srihadi Soedarsono. Meski jika di pahami secara detail, sangat berbeda karakter goresan, sapuan kuas, karakter ekspresi, dan finishing/finalnya nya.
Kita coba simak karya ‘horizon’ nya yang berjudul “Emosi”. Meskipun lukisan ini bersifat abstrak dan tidak secara langsung merepresentasikan objek nyata, ia tetap mencerminkan elemen-elemen alam seperti horizon dan suasana. Supena berhasil menangkap esensi dari horizon sebagai simbol transisi, ketenangan, dan misteri, yang merupakan inti dari mimesis menurut Aristoteles.
Dari pendekatan estetika, keindahan terletak pada harmoni, proporsi, dan keteraturan. Meskipun abstrak, lukisan ini menunjukkan harmoni dalam penggunaan warna dan komposisi, menciptakan keseimbangan visual yang memikat. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana karya Supena tidak hanya menjadi ekspresi visual, tetapi juga medium untuk menyampaikan konsep-konsep filosofis yang mendalam.
Selain itu, lukisan “Emosi” karya Made Supena ini mencerminkan keahlian dalam menciptakan suasana yang penuh misteri dan kedalaman. Dengan dominasi warna biru, abu-abu, dan hitam, serta garis horizon yang kabur dan terdistorsi – karya ini mengundang interpretasi yang beragam. Teknik sapuan kuas dan perpaduan warna yang digunakan memberikan kesan surreal dan etereal, menciptakan pengalaman visual yang memikat.

Karya Made Supena “Maha Karya Hijau” 120 x 150 cm | Foto: google
Menyimak karya “Borobudur Hijau” Made Supena, saya berpendapat lukisan ini menggambarkan Borobudur dalam bentuk abstrak dengan dominasi warna hijau yang menciptakan suasana mistis dan tenang. Struktur candi terlihat dengan detail yang rumit, sementara latar belakangnya berupa gradasi warna biru yang bertransisi ke hijau gelap di bagian bawah. Warna-warna ini memberikan kesan kedalaman dan harmoni visual.
Komposisi lukisan menunjukkan keseimbangan antara elemen geometris dan organik. Struktur Borobudur yang abstrak tetap mempertahankan proporsi yang harmonis, menciptakan keseimbangan visual yang menarik. Gradasi warna biru dan hijau memberikan dimensi ruang yang mendalam, sementara detail candi menonjolkan tekstur dan pola yang kaya.
Lukisan ini dapat diinterpretasikan sebagai simbol hubungan manusia dengan alam dan spiritualitas. Warna hijau yang mendominasi, menurut saya, melambangkan kehidupan, kesuburan, dan harmoni, sementara struktur Borobudur mencerminkan warisan budaya dan spiritualitas yang mendalam. Karya ini mengundang audiens untuk merenungkan hubungan antara keindahan alam dan nilai-nilai spiritual.
Made Supena seperti menunjukkan ke-piawaian-nya dalam menggabungkan elemen abstrak dan simbolis untuk menciptakan karya seni yang memikat. Penggunaan warna hijau dan biru menciptakan suasana yang tenang namun penuh makna, sementara detail struktur Borobudur menunjukkan pemahaman mendalam tentang seni, budaya dan misteri kehidupan semesta. Supena memang saya kenal dengan proses kreatifnya yang mendalam, sering kali menggabungkan elemen-elemen abstrak untuk menyampaikan emosi dan perspektif yang unik.
Selanjutnya mari kita lirik karya Supena yang bertajuk “Golden Land”. Karya ini berhasil lolos ke Beijing Biennale 2015. Pada perhelatan ini, hadir kurator internasional Vecenzo Sanfo (Italy), dan Beate Reifenscheid (Jerman). Lukisan ini didominasi oleh warna emas dan coklat, dengan tekstur yang kaya dan sapuan kuas yang dinamis. Komposisi lukisan menciptakan kesan kedalaman dan dinamika, dengan area yang lebih gelap dan terang memberikan kontras visual. Karya ini dapat dilihat sebagai eksplorasi fragmentasi visual melalui tekstur dan warna.
Sementara itu, untuk memahami karya Supena berkait dengan manifesto Galang Kangin, ada baiknya melakukan pendekatan dengan hermeneutika, kita dapat menafsirkan karya ini berdasarkan konteks penciptaannya. Supena, yang sering terinspirasi oleh alam dan kehidupan, mungkin menggunakan elemen-elemen ini untuk merefleksikan hubungan manusia dengan lingkungannya. Atau, perjalanan emosionalnya. Interpretasi ini juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yang terkait dengan nilai-nilai budaya yang ia anut – juga kaitannya dengan alam semesta.

Karya Made Supena “Golden Land”, mix media on canvas, 180 x 120 cm | Foto: google
Filosofi yang mendasari karya Made Supena, erat kaitannya dengan nilai-nilai spiritual dan budaya Bali. Ia sering mengangkat tema-tema tentang keseimbangan alam, hubungan manusia dengan lingkungannya, serta ajaran Hindu yang menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
Karyanya mengandung pesan bahwa seni bukan sekadar ekspresi visual, tetapi juga sarana untuk menyampaikan makna yang lebih dalam tentang kehidupan dan spiritualitas. Spirit yang tertanam di jiwa almarhum ini, semoga menginspirasi para sahabat KSGK dalam proses metamorphosis Manifesto nya, menuju dinamika perkembangan kreatifitas dan produk pemikiran.
Menurut pendapat pribadi saya, karya-karya Made Supena menjadi bagian penting dalam perkembangan seni rupa Bali dan nasional, tidak hanya sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya lokal tetapi juga sebagai cara untuk mempertahankannya di tengah derasnya arus perkembangan zaman.
Seni yang ia ciptakan mampu memberikan pengalaman visual yang mendalam dan menyentuh nilai-nilai estetika serta spiritual. Keberhasilan karya Made Supena di beberapa kali Beijing International Art Biennale – menunjukkan pengakuan internasional terhadap kualitas dan relevansi karya seninya. [T]
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA