BELAKANGAN ini kita yang berkutat di ranah akademik, baik sebagai pembelajar, pengajar, maupun keduanya, tentu tidak asing dengan istilah moderasi yang lekat dengan diksi “beragama”. Diksi, yang bukan hanya sebatas konsepsi tentang laku dan sikap beragama yang tidak ekstrim. namun juga menjadi basis dari program-program pemerintah untuk memperkuat lekatan sosial atau istilah kerennya social cohesion.
Berkat adanya moderasi beragama tentu ada pula anggaran yang digelontorkan untuk berbagai kegiatan dari yang sifatnya pencegahan sampai penanganan.
Terlepas dari adanya asumsi seputar kegiatan moderasi yang hanya bersifat seremonial, meskipun ini sebenarnya ini fakta, setidaknya acara tersebut sedikit mengenyangkan bagi para mahasiswa seperti saya yang masih cemas menghadapi jatah konsumsi di tanggal tua.
Moderasi, moderasi, dan moderasi sudah menjadi diksi yang menjejali isi kepala ketika membahas seputar dinamika sosial keagamaan. Namun sayangnya moderasi seperti berhenti pada konsepsi yang terbungkus dalam seremonial birokratis, terpampang dalam jargon-jargon organisasi kemahasiswaan atau keormasan agar terlihat progresif dan inklusif, dan menjadi bahan kejar target publikasi para akademisi yang masih berkutat dengan problem kesejahteraan.
Dari situasi dan kondisi itu rasa-rasanya narasi besar seputar moderasi perlu kita refleksikan dan koreksi kembali.
Moderasi yang Melekat
Bangsa yang sudah terlanjur dipersatukan dalam keberagaman ini sebenarnya tidak asing dengan konsepsi dan laku moderasi. Jadi, moderasi sendiri bukanlah hal baru. Dari sisi budaya misalnya, sebagai orang Jawa sejak kecil saya diingatkan oleh nenek dari ayah tentang petuah “Ngono yo ngono nanging ojo ngono”, yang bisa dimaknai jangan kebablasan. Seiring berjalannya waktu setelah sedikit menelaah filsafat Jawa saya kembali bertemu istilah serupa dalam prinsip hidup sakmadyo, yang bisa dimaknai tidak terlalu berlebihan dan “andum basuki”, yang bermakna walaupun ada perbedaan, selalu mengusahakan agar keduanya memperoleh keselamatan.
Di budaya suku yang lain sependek pengetahuan saya juga terdapat ajaran yang berisikan keseimbangan dalam bersikap dan penghormatan terhadap keberagaman. Suku Batak di Sumatera Utara mengedepankan prinsip “dalihan na tolu” (tungku tiga kaki) yang mengatur relasi setara antar-kelompok kekerabatan untuk mencegah konflik melalui dialog. Suku Dayak di Kalimantan menjunjung konsep “huma betang” yang menekankan hidup bersama secara harmonis dalam rumah panjang, mengutamakan musyawarah dan solidaritas komunitas.
Sementara suku Bugis di Sulawesi Selatan mengamalkan “siri’ na pacce” (harga diri dan tanggung jawab kolektif) sebagai panduan moral untuk menjaga keadilan sosial dan mencegah ekstremisme.
Di Bali, perihal moderasi tercermin melalui filosofi Tri Hita Karana yang menekankan keseimbangan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).
Dari contoh-contoh tadi, sebenarnya moderasi bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia, toh eksistensi moderasi secara tersirat maupun tersurat melekat dalam sistem kebudayaan dari masing-masing suku dan tentunya agama yang dianut.
Moderasi di Ambang Senjakala
Dalam konteks yang lebih modern, moderasi dikemas menjadi lebih akademis dan diwacanakan sebagai solusi yang paling efektif di tengah dinamika zaman yang semakin problematik. Namun moderasi juga menemui tantangannya sendiri, baik secara epistemologis dan ontologis.
Dalam narasi modern, moderasi kerap dipromosikan sebagai jalan tengah yang objektif dan rasional, seolah terbebas dari bias ideologis.
Namun, jika kita menimbangnya dari sudut pandang filsafat maka kita harus mempertanyakan konstruksi epistemologis di balik klaim “netralitas” ini. Apakah moderasi benar-benar independen dari relasi kuasa yang membentuknya, atau justru menjadi alat hegemonik untuk menormalisasi tatanan yang dominan?
Konsep moderasi modern sebagai solusi “paling efektif” patut dicurigai namun bukan untuk diabaikan dalam laku, sebab ia kerap mengabaikan bagaimana pengetahuan tentang “keseimbangan” dan pembenaran dari segala hal yang bertentangan dengan moderasi itu sendiri dibentuk oleh struktur sosial-politik yang timpang.
Dengan kata lain, moderasi bisa jadi merupakan produk rasionalitas instrumental yang mereduksi kompleksitas konflik menjadi sekadar persoalan teoritis, alih-alih menjadikannya sebagai solusi melawan ketidakadilan struktural.
Dari sini, moderasi berisiko menjadi semacam ornamen semata, dengan mengaburkan garis demarkasi antara penindas dan tertindas. Seperti diingatkan Theodor W. Adorno, upaya mendamaikan kontradiksi tanpa menyelesaikan akar dari penindasaan hanyalah bentuk fetisisme konseptual yang melanggengkan status quo.
Merayakan Moderasi yang Senjakala
Tepat satu tahun lalu publik Bali yang sedang merayakan Nyepi dipertontonkan satu peristiwa dari dua orang bapak di Buleleng yang membuka portal tempat wisata di hadapan pecalang. Kejadian ini kemudian digugat oleh sebagian masyarakat Bali sebagai kasus penistaan agama terutama terhadap perayaan Nyepi yang berujung pada eksekusi paksa terhadap para pelaku oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng pada Senin lalu (14/4/25) sekitar pukul 03.30 Wita.
Sontak kejadian ini menimbulkan kecaman dari otoritas agama yang dianut oleh terduga pelaku, yang kebetulan sama dengan keyakinan yang saya anut. Kurang lebih kecaman itu berkelindan pada persoalan diskriminasi dan persekusi, meskipun gugatan terhadap pelaku sudah final dan penjemputan paksa merupakan langkah terakhir untuk membawa pelaku mempertanggungjawab perbuatan.
Dalam alam demokrasi, memang sah untuk berbeda pandangan namun dalam konteks pembelaan terhadap mereka yang jelas-jelas bermasalah saya rasa kurang pas, apalagi jika tidak didasarkan pada pendalaman dari kasus yang diperbuat oleh pelaku dan bertentangan dengan kesepakatan sosial yang sudah lama disepakati di daerah tempat kedua pelaku tinggal.
Sangat sulit untuk tidak menyangka, jangan-jangan pembelaan ini hanya didasarkan pada sentimen identitas yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama apapun yang tidak berkompromi terhadap kesalahan.
Beralih dari persoalan penistaan Nyepi ke persoalan seputar moderasi, di tengah meningkatnya polarisasi sosial dan maraknya aksi intoleransi, merayakan moderasi menjadi paradoks.
Dari kacamata fenomenologis, moderasi bukan sekadar konsep normatif, melainkan pengalaman hidup yang terasa dalam interaksi sehari-hari, bagaimana masyarakat merespons perbedaan, mengelola konflik, atau memaknai identitas kolektif termasuk juga pada persoalan relasi kuasa dimana seringkali intoleransi tidak hanya dilihat dari kacamata mayoritas dan minoritas tapi juga ketimpangan kekuasaan.
Idealnya, dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, moderasi memastikan bahwa perbedaan tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan yang perlu dijaga. Jadi praktik moderasi—seperti menghargai hak asasi, menghindari stigmatisasi, mematuhi aturan dari daerah yang kita tinggali, dan mengutamakan musyawarah—perlu dikuatkan untuk menjadi tameng menghindari perpecahan bangsa.
Tapi sekali lagi, moderasi di Indonesia selama ini dirayakan dalam paradoks yang ironis, di satu sisi, narasi moderasi gencar dikampanyekan sebagai identitas nasional, namun di sisi lain, intoleransi terus meningkat dalam praktik sehari-hari bahkan dibenarkan.
Wacana moderasi kerap terjebak di “menara gading”—hanya bergaung di ruang seminar, dokumen kebijakan, atau pidato elit politik, tanpa menyentuh akar persoalan di tingkat masyarakat.
Dari perspektif fenomenologis, paradoks ini mencerminkan keterputusan antara wacana elite dengan lifeworld (dunia-kehidupan) warga. Toh, kelompok minoritas masih menghadapi diskriminasi struktural, ruang publik dibajak oleh narasi radikal yang mengatasnamakan agama atau etnis, dan ada standar ganda dalam persoalan penistaan agama.
Untuk keluar dari paradoks ini, moderasi harus diturunkan dari menara gading ke ruang-ruang konkret: mengubah kurikulum pendidikan yang membiasakan keberagaman, memperkuat penegakan hukum anti-diskriminasi, dan mendorong kolaborasi antar-kelompok marginal. Hanya dengan demikian, moderasi tidak lagi sekadar simbol, melainkan napas yang menghidupkan keadilan sosial di tengah ancaman disintegrasi dan jika tidak dilakukan maka moderasi hanya dirayakan untuk menyambut senjakalanya. [T]
Penulis: Mansurni Abadi
Editor:Adnyana Ole