DI antara bising suara ibu-ibu, suara talenan, dan asap yang mengepul dari dapur rumah-rumah saat Penampahan Galungan, terdengar satu suara lain yang khas. Rantai sepeda berderit pelan.
Suara itu tak mencolok, tapi cukup dikenali oleh warga Banjar Berawansalak, Desa Banyubiru, Jembrana. Sepeda tua berwarna biru menyala itu melintas pelan. Di bagian depan, tergantung tali tambang, sebilah pisau besar, dan beberapa alat panjat. Di atasnya duduk seorang pria dengan langkah pincang dan senyum yang tak pernah absen dari wajahnya.
Dialah Bentir. Nama Bentir tak pernah benar-benar disebut dalam doa-doa. Tapi tanpanya, janur tak akan sempat dijalin, banten tak akan sempat ditata, dan makna hari raya bisa saja tergantung di pucuk kelapa, menunggu dipetik.

Bentir dan sepedanya
Bentir bukan profesor pertanian yang paham genetika tumbuhan, bukan pula arsitek lanskap yang tahu teori estetika pohon kelapa. Tapi ia tahu cara berbicara pada pohon-pohon tinggi yang menjulang di kebun warga. Ia tahu kapan batang kelapa mulai rapuh, kapan janur terbaik menggantung malu-malu di antara daun yang melengkung.
Kakinya sedikit pincang, jalannya miring ke kiri, seperti layangan yang tertiup angin sore. Kata orang, ia pernah jatuh dari pohon kelapa, entah tahun berapa. Sejak itu, telinganya tak sepeka dulu. Tapi jika kau berbicara dengan mimik mulut jelas dan mata yang jujur, Bentir akan tahu apa maksudmu.
Ia membaca bibirmu seperti ia membaca arah angin saat hendak memanjat. Bentir bukan hanya tahu cara memanjat kelapa. Ia seperti bersatu dengan batang pohon tinggi itu. Tak ada tali pengaman, tak ada helm. Hanya refleks, pengalaman, dan keyakinan.

Bentir memanjat pohon
Di Bali, Galungan dan Kuningan bukan hanya soal sembahyang. Ini soal persiapan panjang dan melelahkan: membuat banten, membersihkan merajan, dan tentu saja memasang penjor. Tapi, penjor tak akan lengkap tanpa janur terbaik. Dan janur terbaik seringnya berasal dari tangan Bentir.
Bentir tahu mana daun kelapa yang muda, lentur, dan belum digigit serangga. Ia tahu kapan harus memanjat, agar embun tak membuat batang licin. Ia tahu cara mengikat janur agar tidak rusak saat dibawa pulang. Pengetahuan itu tak ia pelajari dari buku, tapi dari hidup.
Bentir bukan hanya membantu mencari janur. Ia juga siap jika diminta tolong untuk mencari buah kelapa, menebang pohon di rumah warga yang mulai rimbun, karena halaman harus bersih menjelang hari raya, mencari bambu, hingga memanjat pohon nangka. Apa pun yang bisa ia bantu demi kelancaran persiapan upacara, akan ia lakukan tanpa banyak tanya.
Dari jauh, sepedanya sudah bisa dikenali. Biru terang, mungkin tujuannya agar sepeda kesayangannya itu tidak sulit ditemukan jika harus ditinggal di kebun warga. Di bagian depan ada tali, pisau, dan berbagai alat yang sudah menyatu dengan tubuhnya.

Bentir dan janur
Dulu sepeda itu jengki, lalu berubah jadi sepeda gunung, sekarang sepeda lipat. Bayarannya tak seberapa. Tujuh ribu. Lima belas ribu. Tapi Bentir tidak pernah menghitung untung-rugi. Kadang ia bahkan menolak uang. Ia lebih senang baju bekas. Sepertinya ia percaya, tampil rapi adalah bentuk penghormatan, bukan untuk dirinya, tapi untuk kerja yang ia lakukan.
Masyarakat menyebutnya “Bentir”, entah nama asli atau panggilan, sedikit yang benar-benar tahu. Ia pahlawan yang muncul ketika upacara hendak dimulai, dan menghilang setelah tugasnya selesai. Ia hidup di sela-sela upacara, hadir di akar sebuah tradisi yang kerap hanya menampakkan wajahnya dalam bentuk buah impor dan jajanan terkini. Padahal, tangan-tangan seperti Bentir-lah yang memastikan Galungan tetap hidup di hati umat. [T]
Penulis: I Putu Krisna Wiryasuta
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: