4 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

”Nyoman” dan ”Ketut”: Antara Lestari Nama, Nambah Anak, atau Nambah Beban Perempuan

Komang Puja SavitribyKomang Puja Savitri
April 21, 2025
inEsai
”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

Komang Puja Savitri

KEBIJAKAN Keluarga Berencana (KB) ala Bali yang dicanangkan Gubernur Bali Wayan Koster, sentah kenapa, membuat saya gelisah. Sebagai perempuan muda yang belum menikah saya merasa kebijakan ini punya persoalan, terutama jika dikaitkan dengan perempuan.

Kebijakan itu sendiri sebenarnya memicu perdebatan publik yang hangat sejak diumumkan. Kebijakan ini, dari berbagai berita yang saya dengar, bertujuan untuk melestarikan nama tradisional Bali (sesuai urutannya), terutama nama “Nyoman” (anak ketiga) dan “Ketut” (anak keempat). Kenapa dilestarkan? Karena dianggap mulai punah.

Untuk melestarikan nama Nyoman dan Ketut, maka, pesan yang ditangkap adalah sebuah keluarga idealnya memiliki 3 atau empat anak, sehingga ada anak ketiga yang bernama Nyoman dan anak keempat bernama Ketut.

Narasi ini seolah mengukuhkan kembali pandangan tradisional tentang keluarga besar, dan tanpa disadari, menempatkan perempuan pada posisi yang rentan.

Mengapa?Karena yang paling utama menanggung proses mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak adalah perempuan. Kebijakan yang tampak netral ini, sesungguhnya berpotensi besar untuk menyentuh ranah paling pribadi dan sensitif dari kehidupan seorang perempuan, yakni hak reproduksi dan kendali atas tubuhnya sendiri.

Kontroversi pun tak terhindarkan. Di satu sisi, ada yang mendukung kebijakan ini sebagai upaya penting melestarikan warisan budaya yang tak ternilai. Nama-nama Bali memang memiliki makna filosofis dan historis, mencerminkan akar dan identitas seseorang dalam keluarga.

Tapi, di sisi lain, kritik keras muncul, terutama dari kalangan yang sensitif terhadap isu kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Mereka melihat adanya potensi penafsiran yang keliru, di mana anjuran ini bisa disalahpahami sebagai anjuran untuk memiliki anak dalam jumlah tertentu, bahkan jika itu bertentangan dengan keinginan atau kondisi individu.

Bagi saya, sebagai seorang perempuan, kebijakan yang mengaitkan nama dengan urutan kelahiran hingga anak keempat ini menimbulkan kekhawatiran yang mendalam. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang mencoba mengatur berapa jumlah “produk” yang harus dihasilkan oleh “pabrik” ini—yaitu rahim perempuan.

Dan di sinilah kegelisahan itu bersemayam, mengendap di sudut hati saya sebagai perempuan yang belum menikah. Kebijakan Wayan, Made, Nyoman, Ketut ini, dengan kode empat anaknya dengan bonus insentif buku dan seragam yang entah sampai kapan berlakunya.

Tiba-tiba muncul bayangan skenario agak absurd di mana calon suami kelak, dengan mata berbinar-binar, bilang, “Sayang, kita kan harus punya Nyoman dan Ketut biar lengkap. Kan kata Pak Gubernur bagus. Lagian ada insentif buku lho. Jadi, minimal empat anak, ya!”

Insentif buku? Seragam? Astaga. Kepala saya langsung pusing tujuh keliling memikirkan realitanya. Empat kali hamil, empat kali melahirkan dengan segala risikonya. Empat mulut yang butuh makan, empat otak yang butuh pendidikan berkualitas (jauh lebih mahal dari sekadar insentif buku dan seragam), empat hati yang butuh perhatian dan kasih sayang tanpa terbagi habis. Apa iya insentif itu sepadan dengan taruhan kesehatan fisik dan mental saya, serta jaminan kualitas hidup keempat calon anak yang akan saya lahirkan dan rawat? Rasanya seperti ditawari permen kapas untuk menukar ginjal.

Aneh bin ajaib, bagaimana bisa negara sejauh ini mengulurkan tangannya, bahkan sampai ke kasur dan rahim individu? Memasuki ranah paling privat, menunggangi narasi budaya untuk mengatur jumlah anak dalam sebuah keluarga. Kebebasan perempuan untuk menentukan berapa banyak anak yang ingin ia lahirkan, kapan ia siap, dan apakah ia bahkan ingin punya anak sama sekali, menjadi terancam ketika kebijakan publik seperti ini muncul.

Bicara soal sensitivitas gender, kebijakan ini rasanya seperti menunjuk hidung perempuan dan berkata, “Nah, ini dia ‘mesin’ yang akan menjalankan program kita!”

Perempuan direduksi menjadi objek, sekadar alat biologis untuk mencapai tujuan demografis atau pelestarian nama. Fokusnya pada ‘hasil’ (jumlah anak dengan nama urut), bukan pada proses, beban, dan hak perempuan yang menjalani seluruh proses biologis dan pengasuhan itu. Bikin gelisah, karena lagi-lagi perempuan yang dijadikan poros utama, tapi bukan sebagai subjek yang berhak memilih.

Ada pula bisik-bisik kecemasan patriarki yang nyaring terdengar di balik semua ini. Ketakutan kalau perempuan tidak menikah, tidak punya anak, maka putuslah generasi. Dalam kasus KB Bali, juga ada kecemasan seakan-akan kelangsungan peradaban hanya bergantung jumlah generasi tertentu dan bergantung pula pada kemampuan perempuan untuk terus-menerus melayani fungsi reproduksi.

Tapi, pernahkah kita berpikir, bukankah kecemasan ini sesungguhnya memancarkan kecemburuan yang tersembunyi dari pihak laki-laki? Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan kehidupan baru di dalam tubuhnya sendiri. Mereka ‘iri’ karena tidak punya ‘pabrik’ itu.

Bayangkan saja, ini skenario agak nyentrik yang mungkin bikin sebagian orang panik: Bagaimana jika setiap perempuan memutuskan untuk menonaktifkan ”pabrik”nya? Ia mengatakan, “Sudah cukup. rahim ini bukan milik negara, bukan milik tradisi, bukan milik kalian. Ini milikku, dan aku berhak memutuskan.”

Jika itu terjadi, paniklah banyak orang yang selama ini merasa memegang kendali atas produksi manusia, yang mengira akses ke rahim perempuan adalah hak kodrati mereka, yang membungkus kekuasaan dengan dalih kodrat dan tradisi.

Sampai kapan akhirnya kita akan berhenti melihat perempuan sebagai sekadar inkubator berjalan, yang ”tugasnya mencetak anak sesuai pesanan nama”, apalagi demi secuil insentif pendidikan?

Kapan kita akan melihat kami sebagai individu utuh, dengan akal budi, emosi, mimpi, dan hak penuh atas tubuh dan kehidupan kami sendiri? Kebijakan publik seharusnya memberdayakan, bukan memberi kode jumlah minimal anak.

Anjuran nama Nyoman-Ketut menjadi pengingat bahwa tembok patriarki itu masih berdiri kokoh, menantang kami untuk terus menggugat dan meruntuhkannya, demi kedaulatan atas diri sendiri. [T]

Penulis: Komang Puja Savitri
Editor: Adnyana Ole

Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.

”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella
Tiga Tips Menggunakan Kecerdasan Buatan Agar Tidak Terjerat Dehumanisasi
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?
ChatGPT, Solusi Cerdas atau Sekadar Jalan Pintas?
Dewata Kusayang, Dewataku Malang: Bali yang Digempur Kapitalisme
Tags: baliGubernur BaliKB BaliPerempuanWayan Koster
Previous Post

Pemilihan Duta GenRe Kota Denpasar 2025: Nuartha dan Nadia Siap Jadi Figur Remaja Teladan

Next Post

Warisan Semangat Kartini: Perempuan Indonesia di Era Modern

Komang Puja Savitri

Komang Puja Savitri

Mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Next Post
Warisan Semangat Kartini: Perempuan Indonesia di Era Modern

Warisan Semangat Kartini: Perempuan Indonesia di Era Modern

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more

Kita Selalu Bersama Pancasila, Benarkah Demikian?

by Suradi Al Karim
June 3, 2025
0
Ramadhan Sepanjang Masa

MENGENANG peristiwa merupakan hal yang terpuji, tentu diniati mengadakan perhitungan apa  yang  telah dicapai selama masa berlalu  atau tepatnya 80...

Read more

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Lawan Sastra Ngesti Mulya
Khas

Lawan Sastra Ngesti Mulya

LAWAN Sastra Ngesti Mulya adalah salah satu kearifan warisan Ki Hadjar Dewantara di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta. Sesanti itu bermakna...

by I Nyoman Tingkat
June 4, 2025
Senyum Rikha dan Cendol Nangka Pertama: Cerita Manis di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Senyum Rikha dan Cendol Nangka Pertama: Cerita Manis di Ubud Food Festival 2025

LANGIT Ubud pagi itu belum sepenuhnya cerah, tapi semangat Rikha sudah menyala sejak fajar. Di tengah aroma rempah yang menyeruak...

by Dede Putra Wiguna
June 3, 2025
Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025

ASAP tipis mengepul dari wajan panas, menari di udara yang dipenuhi aroma tumisan bumbu. Di baliknya, sepasang tangan bekerja lincah—menumis,...

by Dede Putra Wiguna
June 3, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co