SEBAGAI bagian dari peringatan ulang tahun ke-29 Komunitas Seni Galang Kangin (KSGK), sebuah pameran seni rupa bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” diselenggarakan di Neka Art Museum, Ubud. Pameran ini merupakan hasil kolaborasi antara Neka Art Museum, KSGK, dan House of Arie Smit.
Acara berlangsung mulai tanggal 18 April hingga 18 Mei 2025, menampilkan total 36 karya seni, termasuk karya patung kayu almarhum Made Supena.
Selain alm. Made Supena, seniman lain yang turut memamerkan karya antara lain Made Galung Wiratmaja, Wayan Setem, Dewa Gede Soma Wijaya, Wayan Naya Swantha, Nyoman Diwarupa, Made Ardika, Made Sudana, Made Gunawan , I Gede Jaya Putra, A.A. Eka Putra Dela, Agus Murdika, Atmi Kristiadewi, I Ketut Putrayasa, dan I Gede Adi.
Tema “Metastomata” mengacu pada perjalanan kreatif atau nafas eksistensi kelompok KSGK yang telah berlangsung hampir tiga dekade.

Karya AA. Eka Putra
Menurut kurator Hartanto dari Bali Mangsi Foundation, istilah ini berpijak pada pemahaman atas kreativitas sebagai suatu ekosistem, dimana terdapat hubungan simbiotik antara makhluk-makluk kreatif dengan lingkungannya. Lingkungan kreatif berkesenian antara lain adalah konsumen (pasar), dunia akademis, pemerintah.
Metastomata merupakan ranah refleksi terhadap kesadaran yang menjadi esensi manifesto kelompok Galang KAngin. Terutama terkait sikap mereka pada ekosistem kreativitas seni yang menjadi salah satu sandaran utama inspirasi para seniman dalam KSGK.

Manifesto Galang Kangin dibuat dengan kesadaran bahwa “perubahan dimulai dari dalam pelaku.” Dalam sikap yang dianut Galang Kangin, perubahan ekosistem kreatif berkesenian tidak hanya dilakukan dengan membangun kelompok penekan (pressure group) terhadap pihak di luar kesenian, tetapi terutama dengan meningkatkan kesadaran para seniman, serta kualitas berkarya. Kebudyaan seni bergantung pada kemampuan seniman menghasilkan “oksigen kreatif” yang memberi kesegaran pada ekosistem kesadaran.
“Itulah sebabnya pameran ini mengambil metafora stomata,” ujar Hartanto.

Karya Galung Wiratmaja
Stomata adalah lubang kecil pada daun yang menopang kehidupan tumbuhan melalui pertukaran gas dan pengaturan suhu. Melalui stomata, mengalir gas oksigen yang bermanfaat bagi makluk hidup lainnya. Stomata menampilkan simbol dari berbagai proses-proses kecil namun vital dalam kehidupan.
“Kebudayaan sering mengalami perubahan karena hal-hal yang dianggap kecil,”kata Hartanto, Begitulah, melampaui batas fisik; seniman berinteraksi secara transenden dengan berbagai realitas.
Metastomata adalah penggabungan pendekatan logis sekaligus imajinatif. Para perupa diajak mengeksplorasi proses-proses penting yang tampak sederhana namun menopang keberlanjutan planet kita. Seperti stomata pada daun yang kecil namun krusial bagi pohon besar sekalipun.
Konsep META juga mendorong eksplorasi ranah spiritualitas serta kesadaran akan keterhubungan tak kasat mata antar makhluk hidup. Audiens diajak membangun interpretasi filosofis tentang eksistensi manusia serta peran tanaman dalam pemahaman kita terhadap alam semesta.

Karya Wayan Setem

Karya Atmi
Menuju pameran ini, para perupa diajak mempersiapkan diri dengan kuesioner yang terkait dengan pemahaman akan manifesto Galang Kangin. Workshop juga diadakan oleh tim kurator, secara khusus didesain oleh co-kurator Benito Lopulalan. Ini untuk memperdalam pemahaman peserta pameran mengenai makna “meta”, baik secara pribadi maupun kolektif—menyeimbangkan logika dengan imajinasi liar demi mendukung penciptaan karya-karya inovatif bertema Metastomata.
***
Benito Lopulalaln, co-curator pada pameran itu, menyebutkan semua seniman menunjukkan karya-karya mereka yang berkaitan dengan pemehaman mereka tentang manifesto Galang Kangin.
Ketut Putrayasa, mislanya, dengan karya tiga dimensi “Selilit (2025)” seolah menyimpan perenungan tentang hal-hal yang kecil dan berpengaruh. Selilit menjadi metafora tentang Tabiat Seni. Selilit, sisa makanan yang menyelinap di sela gigi, mungkin tampak kecil dan sepele. Namun dia mengusik kenyamanan mapan. Halus namun nyata. Karya ini bagai Tao Te Ching yang menekankan kekuatan hal-hal kecil dan lembut yang mampu mengalahkan yang besar dan keras, seolah air yang lembut tapi terus menerus bisa mengikis batu karang yang keras.

Sketsa karya Ketut Putrayasa: Selilit
Karena seni, seperti Selilit, hidup dalam himpitan arus besar pragmatisme modern: di antara gempita tekanan kebutuhan pribadi, effesiensi praktis, tekanan sosial, dan berbagai hal yang mengekang kebebasan berekspresi. Namun seni harus tetap tumbuh, menolak kemapanan demi membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk dijelajahi.
Simbol tusuk gigi di atas piring melengkapi kode simbolik metafora seni di arus besar budaya dominan konsumerisme. Selilit dan piring meleleh menjadi gambaran visual bahwa seni adalah ungkapan tanpa akhir (tak kesudahan) yang terus-menerus mengusik kemapanan. Ia menjaga jarak dari segala bentuk rutinitas dalam dunia yang semakin cair dan berubah cepat.
Putrayasa seolah menggambarkan butterfly effects ala teory chaos Edward Lorenz yang menggambarkan kekuatan peranan hal-hal kecil –seperti selilit ini– dalam memicu perubahan. Lorenz menggambarkan bagaimana hal-hal kecil pada suatu sistem dinamis dapat menghasilkan perubahan dan konsekuensi besar tak terduga. Itulah seni dalam karya ini .Seni; meski tampak sebagai elemen kecil atau minoritas dalam arus utama budaya pragmatisme, tetap memiliki potensi menggerakkan perubahan besar melalui pengaruh-pengaruh halus namun signifikan.
Seni menyimpan daya hidup subversif; ia adalah kesadaran kritis yang senantiasa berupaya membebaskan diri dari ancaman laten budaya dominan atau ideologi yang mengasingkan manusia dari kepekaan Nurani serta keindahan. Sebagaimana efek kupu-kupu Lorenz — seni memiliki pengaruh besar sebagai kekuatan penggerak perubahan sekaligus penjaga keaslian ekspresi manusia.
Sementara itu, sebuah karya dari Putu Adi Putra, menggambarkan dunia sebagai kumpulan letupan energi yang terus berevolusi. Dalam karyanya, ia hendak menyampaikan sebuah pesan mendalam bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki asal-usul — dan asal dari segala asal itu adalah energi. Energi inilah yang menjadi inti dari eksistensi, sumber utama yang melahirkan segala sesuatu baik yang tampak maupun tak tampak.
Energi bukan hanya sekadar kekuatan fisik atau fenomena alam semata; ia juga merupakan esensi kreatif di balik setiap bentuk kehidupan. Seni sendiri dapat dipandang sebagai manifestasi visual atau ekspresi nyata dari energi hidup tersebut. Melalui goresan kuas, dentingan nada, gerakan tari, hingga kata-kata dalam puisi—semua itu adalah wujud evolusi energi menjadi bentuk-bentuk baru yang mampu menyentuh jiwa manusia.
Dalam konteks ini, kehidupan adalah jembatan antara dimensi fisik dan metafisik. Ia menghubungkan kita dengan sumber energi primordial—yang terus berubah dan berkembang seiring waktu—menciptakan dialog antara pencipta dan penikmatnya.
Putu Adi Putra melalui karyanya mengajak kita untuk merenungkan bahwa setiap ciptaan adalah bagian kecil dari arus besar evolusi energi universal. Setiap kehendak, suara atau gerakan membawa getaran kehidupan itu sendiri; mereka adalah bukti nyata bahwa di balik segala rupa terdapat kekuatan dinamis tak terlihat namun sangat nyata.
Dengan demikian, memahami seni berarti juga memahami perjalanan panjang transformasi energi — bagaimana ia bermetamorfosis menjadi berbagai bentuk kehidupan dan pengalaman manusia. Seni menjadi saksi bisu sekaligus perantara bagi kita untuk merasakan denyut nadi alam semesta dalam tiap detiknya.
***
Menurut Direktur Neka Art Museum (NAM) Dr. Pande Made K. Suteja, pameran ini berlangsung bertepatan dengan bulan kelahiran maestro seni rupa Arie Smit (15 April 1916 – 23 Maret 2016), tokoh yang memberi warna penting dalam perkembangan seni rupa di Bali. Melalui perannya dalam mendorong kreativitas anak-anak di Penestanan tanpa doktrin, ia memicu lahirnya gaya Young Artist—mazhab yang menekankan kebebasan ekspresi dan spontanitas.
“Sepertinya, spirit inilah yang menginspirasi Galang Kangin dalam membangun ruang seni yang merdeka, mandiri, setara, dan jujur terhadap proses,” kata Dr. Pande Made K. Suteja.

Karya Diwarupa
Menurut kurator Hartanto, untuk melahirkan mazhab banyak hal yang mesti dikerjakan oleh KSGK – dan manifesto yang di deklarasikan tahun 2002, merupakan langkah awal GK yang tepat. Tentu kita semua berharap, ke depan – mazhab GK menjadi kenyataan.
7 tahun yang lalu, kata Ketua KSGK Galung Wiratmaja, tepatnya 25 Februari 2018, juga di Neka Art Museum digelar perayaan atas 20 tahun GK. Perayaan itu semestinya dirayakan tahun 2016, molor dua tahun karena hambatan teknis terasa sangat besar pada waktu itu. Perayaan 20 tahun GK itu dirayakan dengan sebuah pameran yang bertajuk Becoming yang diselenggarakan atas kerjasama Neka Art Museum (NAM) dikuratori oleh bapak Hardiman. Pembukaan pameran ditandai juga dengan peluncuran sebuah buku dari GK dengan judul yang sama “Becoming, 20 Tahun Galang Kangin”.
Tahun ini menandai fase penting bagi KSGK sebagai komunitas seni lintas generasi yang lahir dari semangat kolaboratif sembilan mahasiswa dua institusi seni Bali pada tahun 1996. Nama Galang Kangin, berarti “cahaya menjelang pagi”, merepresentasikan awal baru penuh harapan dan kebijaksanaan timur.

Karya Dewa Soma

Karya Made Gunawan
Dr. Pande Made K. Suteja menegaskan juga bahwa pameran kali ini bukan sekadar ajang memajang karya visual; melainkan ruang temu gagasan–bentuk visual–proses kreatif–dan pencapaian estetik secara harmonis serta partisipatif melalui lokakarya-lokakarya pendampingnya.
Kini, tambah Dr. Pande Made K. Suteja, dengan kedewasaan usia, Galang Kangin berada pada simpul penting. Masa Grahasta Asrama bukan hanya fase produktif, tetapi juga peluang untuk melahirkan generasi seniman baru yang menjunjung nilai kejujuran artistik, semangat kolaboratif, dan orientasi pada keberlanjutan.
Apabila fase ini dilewati tanpa kesadaran kreatif, maka yang tersisa hanyalah kontemplasi pasif di tahap hidup berikutnya yang lebih tinggi lepas dari duniawi, yakni Wanaprastha dan Biksuka. [T]
Reporter/Penulis: Nyoman Budarsana
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA