PADA saat Bali mengukuhkan diri sebagai daerah tujuan wisata, segala cara dan media dipakai untuk menyukseskan tujuan itu.
Semua lontar, segala ajaran leluhur dibuka, dipejari dan direvitalisasi agar Bali tak kehilangan spiritnya, agar Bali tetap layak disebut sebagai Pulau Dewata, disebut sebagai Pulau Sorga—sehingga masih layak “dijual”.
Bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali memang tetap menilai Bali sebagai Pulau Sorga, karena mereka mampu membayar fasilitas “kesorgaannya”. Tetapi bagaimana dengan orang Bali, yang lahir, besar dan menjalani kehidupannya di Bali?
Konsep “Kesorgaan/kadewataan” yang melabeli Bali dan dengan bangga diakui oleh kebanyakan orang Bali adalah kondisi bahagia, aman, nyaman, dan damai yang dirasakan seseorang. Bahasa kerennya “Moksartham Jagadhita Ya Cari Iti Dharma”(mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat), sebagai tujuan umat beragama Hindu di Bali.
Nyatanya kini, orang Bali banyak yang merasa tidak bahagia, aman, nyaman dan damai, menjalani kehidupannya di Bali, tetapi berusaha “berpura-pura” bahagia, aman nyaman dan damai, sehingga mengambil jalan pintas. Terakhir di Bali tercatat memiliki angka bunuh diri tertinggi se-Indonesia.
Tingginya angka bunuh diri masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu memberi sinyal kekurangklopan ajaran dan praktek dalam beragama.
Dalam buku “Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali” Clifford Geertz. berpendapat bahwa negara bagian pra-kolonial Bali bukanlah suatu “birokrasi hidrolik” atau despotisme oriental, melainkan sebuah tontonan yang terorganisir.
Di masa lalu, bangsawan penguasa pulau Bali menurutnya kurang sungguh-sungguh mengelola kehidupan rakyat Bali, tetapi justru mendramatisasi pangkat mereka untuk superioritas politik melalui ritual dan upacara besar di masyarakat.
Kini setelah zaman kemerdekaaan, Bali sebagai salah satu provinsi yang berada dalam kesatuan Negara Republik Indonesia, dipenuhi dramatisasi politik dalam ritual untuk superioritas politik, tak hanya melibatkan para bangsawan kaya, tetapi juga para pengusaha/investor dan pejabat-pejabat negara dari Presiden, DPR, DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota, Parisada, MDA dan lain-lain. Sehingga ritual tidak saja menjadi tontonan yang terorganisir tetapi telah menjadi tontonan dalam tontonan yang terorganisir.
Di perkotaan, ruang-ruang ritual pribadi, dan skala kecil, yang alami, makin berkurang. Kebutuhan bersosialisasi digantikan media sosial yang jarang disadari bersifat maya (tidak nyata).
Kebutuhan dasar manusia untuk eksis makin tertutup. Warga Bali yang biasa-biasa saja akan tersisih oleh kegigihan pendatang. Kebutuhan, tanggungjawab dan kewajiban yang mengikat, tak sebanding dengan hak yang didapat.
Lantas masih layakkah Bali disebut Pulau Sorga jika para penghuninya tidak bahagia, aman, nyaman dan damai.
Rasa tak bahagia, aman, nyaman dan damai itu, seringkali dipendam (tak disuarakan) demi menghormati suara mayoritas, padahal rasa bersifat personal, tak bisa dipaksakan.
Syukurnya awan gelap kekhawatiran yang saya rasakan, perlahan tersibak oleh setitik cahaya kecil, yang muncul dari bara semangat dan kreatifitas anak-anak dan para pemuda mencipta, mengarak ogoh-ogoh dengan bahagia.
Semoga rasa bahagia itu, menyusup ke relung-relung jiwa. Membuka ikatan kemelekatan, memvibrasi Bali dan semesta. Merdeka. [T]
Penulis: Mas Ruscitadewi
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: