HIRUK pikuk parawisata adalah dambaan para pemangku kebijakan, seakan laju perkembangan pariwisata selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Mungkin begitulah apa yang hadir di Bali hari ini, sebuah ironi tentang masyarakat yang teralienisasi dari tanahnya sendiri—sebuah kenyataan yang agaknya tak begitu serius ditanggapi oleh para pemimpin yang berlenggang bebas menutup matanya rapat-rapat.
Nampaknya hal itu yang coba di tanggapi serius oleh Slinat, seorang street artist yang mencoba memakai jargon cindera mata “I ❤ Bali” sebagai parodi tentang kecintaan kita terhadap tanah Bali itu sendiri.
Ia mempertanyakan kesadaran tentang kata cinta yang seringkali hanya terucap di bibir saja, tak mewujud pada pemikiran serta tindakan yang kita sering alami sebagai masyarakat Bali itu sendiri.

Pameran karya Slinat
Dalam pameran solonya di TAT Art Space, Sabtu 22 Maret lalu, ia mencoba kembali untuk memakai whitepaste yang lekat dengan seni jalanan sebagai metode berkarya, tentu dengan diiringi berbagai eksplorasinya terhadap medium. Bagaimana kemudian found object yang seringkali ia temui punya konteks tersendiri untuk kemudian ia jadikan media dalam dalam menumpahkan berbagai gagasannya.
Perasaan yang kerap hadir ketika melihat karya instalatifnya berjudul “I ❤ Bali” adalah perasaan dihantui oleh bayang-bayang tentang sesuatu di balik gemerlap parawisata itu sendiri. Mural-muralnya yang kerap kali kita temui di jalan, kini hadir secara bersamaan, seakan mengepung audience dari berbagai sisi memberi perspektif yang sering kali kita abai tentang realitas yang ada.
Para sosok berpakaian adat bali seakan terlihat lusuh dan muram dalam goresan charcoal yang tergurat kasar, bersama dengan visual monokromatik yang terlukis dalam berbagai found object memberi banyak persepsi yang muncul dalam benak kita, ketika mencoba menerka apa yang coba dilempar oleh Slinat kepada audiencenya dalam pameran ini.

Pameran karya Slinat
Ia merasuk dalam lapisan paling dekat dengan keseharian kita, begitupun dengan objek seorang penjual lumpia yang tak tahu akan nasib tempat ia akan berjualan, yang tak lama lagi terprivatisasi oleh ruang-ruang eksklusif yang seakan membendung bibir pantai seraya merebak bagaikan jamur yang tumbuh di berbagai tempat di Bali.

Pameran karya Slinat
Lalu pada akhirnya kita kembali pada bahasan awal tentang parawisata Bali hari ini.
Apa yang coba Slinat hadirkan dalam pameran solonya kali ini, ialah tawaran tentang sebuah realitas sosial yang berputar bebas di masyarakat, bagaimana manisnya madu parawisata ternyata ternyata punya dampak siginifikan terhadap berbagai masalah yang muncul pada pulau Bali itu sendiri. Kerusakan ekologi, alih fungsi lahan, privatisasi akses publik, kemacetan, komodifikasi budaya berlebihan serta sederet permasalahan lainnya menjadi dampak nyata yang menyisakan berbagai persoalan.

Pameran karya Slinat
Hadirnya karya-karya Slinat memacu kita sebagai masyarakat Bali untuk membuka lebar-lebar tentang apa yang sebenarnya Bali sedang alami, pertanyaan menubuh tentang sikap kita menjadi poin penting untuk terus dipertanyakan, jangan sampai kita gagap dalam mencegah apa yang seharusnya tak terjadi, sehingga tak berujung pada masyarakat yang terasing dari pulaunya sendiri. [T]
Penulis: Made Chandra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis MADE CHANDRA