TAK dapat dipungkiri bahwa film merupakan medium yang kuat untuk menyampaikan pesan dari pembuat kepada audience di era sekarang. Zaman telah berubah, dahulu karya sastra merupakan tulisan yang ditulis sebagai pesan bagi penulis kepada pembaca. Jika kita membicarakan interface, karya sastra yang kuat untuk mempengaruhi “pembaca” di era sekarang adalah film.
Beberapa waktu lalu, saya menonton film romance yang berjudul The Most Beautiful Girl in the World yang disutradarai oleh Robert Ronny melalui platform netflix. Tak terlintas di pikiran saya untuk menonton film romance Indonesia yang kebanyakan hanya mengandung unsur picisan belaka. Namun ketika menonton film ini saya tidak menyangka bahwa film ini secara tidak langsung menyingkap persoalan hiperrealitas yang terjadi di masyarakat, terlebih saya menemukan makna yang lebih mendalam di dalam film ini. Film ini menyingkap kritik terhadap materialisme ilmiah dan memberikan paradigma baru mengenai penilaian akan keindahan.
Hiperrealitas dan Materialisme Ilmiah dalam Masyarakat Digital
Dalam Postmodernisme: Sebuah Pemikiran Filsuf Abad 20, dituliskan bahwa perubahan merupakan proses terus menerus berjalam dalam kehidupan manusia. Paradigma perubahan bersumber pada ilmu pengetahuan sebagai ranah kognitif manusia. Paradigma yang berubah berjalan menuju ke tahap perubahan nilai (afeksi) yang kemudian pada titik tertentu membentuk skill (performance). Semuanya ini akan berakhir dan terwujud pada diri manusia dalam bentuk perilaku sikap sosial dalam kebudayaannya (Wijayati & R, 2019).
Hal ini nampak dalam perilaku sosial yang ada di era sekarang, yang lekat dengan digitalisasi. Masyarakat digital cenderung memiliki realitas yang kabur. Dapat dikatakan bahwa antara imajinasi dan realita hampir tidak memiliki perbedaan. Yang ditatap di layar bisa jadi realita, namun imajinasi, begitu pun sebaliknya. Mekanisme ini juga nampak dalam kehidupannya di masyarakat riil. Kehidupannya di masyarakat riil dapat dikatakan sebagai imajinasi ataupun realita.
Kehidupan seperti ini muncul karena paradigma yang dibentuk oleh ruang digital seperti televisi, media sosial, dan sejenisnya. Hal ini menyebabkan konstruksi pemkiran manusia dibentuk oleh ruang digital sehinnga mempengaruhi paradigmanya terhadap realita. Jika dihubung-hubungkan dengan pandangan Baudrillard mengenai hiperrealitas, dapat dikatakan bahwa apa yang dipandang di ruang digital menjadi pusat yang membentuk penilaian mengenai baik-buruk, benar-salah, maupun indah-jelek.
Hal ini nampak dalam film Garapan Robert Ronny tersebut yang terwujud dalam adanya acara “Wanita Tercantik di Dunia”. Acara yang menjadi sebagian besar dari alur di film ini secara tidak langsung menunjukkan bagaimana media menjadi pembentuk pola pikir masyarakat dalam memandang realitas. Masyarakat akan memiliki standar yang ditanam dalam otak mereka akan keindahan dan kecantikan. Masyarakat sendiri tidak akan mengetahui bahwa di balik acara ini segalanya hanyalah acara yang disetting oleh pemilik perusahaan saluran televisi demi mengejar rating belaka. Film ini, menurut penulis berhasil menunjukkan bagaimana media, seperti televisi, memiliki pengaruh yang kuat dalam mengatur pola pikir masyarakat. Dapat dikatakan bahwa televisi memiliki pengaruh yang kuat dalam propaganda.
Hiperrealitas yang membentuk pola pikir masyarakat inilah yang secara tidak langsung membentuk paham materialisme ilmiah pada masyarakat. Secara singkat, materilaisme ilmiah merupakan cara pandang yang memandang realitas melalui hal-hal empiris dan prinsip ilmiah belaka. Dapat dikatakan bahwa paham ini bersifat analitik-objektif yang hanya terpaku pada metode dan hasil yang riil. Paham materialisme ilmiah juga seringkali menyingkirkan subjektivitas dan aspek-aspek metafisik yang dianggap tidak rasional. Hal ini nampak melalui bagaimana “Wanita Tercantik di Dunia” disajikan dalam film ini. Acara realitas yang disajikan di film ini, secara tidak langsung, membentuk paradigma masyarakat mengenai seperti apa wanita cantik itu? Disajikan dengan wanita yang dipilih oleh “lajang bintang”, diskursus soal kecantikan ialah sejauh mana wanita itu terpilih menjadi cantik berdasarkan standar yang dibuat oleh acara realitas tersebut, dan masyarakat tidak mengetahui bahwa pemenang dan peserta acara adalah para wanita yang telah disetting oleh mereka yang berada dibalik layar, dan bukan murni peserta.
Seperti itulah bagaimana hiperealitas dalam ruang digital dan layar kaca mengkontruksikan cara berpikir materialisme ilmiah yang ada di dalam masyarakat. Hal ini mengingatkan saya terhadap paradigma dalam perkembangan sains yang disingkap oleh Thomas Kuhn. Paradigma, bagi Kuhn, merupakan pemahaman tertentu tentang kebenaran yang bukan kebenaran proposional sebagaimana diyakini dalam sains. Dapat dikatakan bahwa sesuatu diterima sebagai fakta atau kebenaran selalu dalam konteks paradigma tertentu dan tidak “telanjang”. Paradigma, dapat dikatakan, bersifat presuposisional (Hadirman, 2023). Kuhn berhasil menunjukkan bahwa dalam kebenaran yang, katanya, bersifat objektif seperti sains, pada kenyataannya, bersifat relatif karena dalam sains terdapat paradigma dari kelompok ilmuwan atau peneliti tertentu yang menuntun dalam proses pencarian kebenaran. Sama seperti perusahaan televisi, sains juga tidak dapat dilepaskan dari kepentingan kelompok tertentu.
Paradigma yang Melampaui Materialisme Ilmiah
Bentuk kritik terhadap materialisme ilmiah yang muncul dalam film ini penulis temukan melalui kehadiran karakter Reuben Wiraatmaja yang diperankan oleh Reza Rahadian. Karakter Reuben di dalam film ini ditunjukkan sebagai seorang yang idealis dan tidak mementingkan rating. Reuben bercita-cita untuk membuat acara televisi yang berkelas tanpa memandang rating acara sehingga ia sendiri muak dengan acara setting-an seperti acara “Wanita Tercantik di Dunia”. Kritik yang saya maksud ditunjukkan melalui dialog Reuben ketika mereview keberhasilan acara “Wanita Tercantik di Dunia” saat dirinya sendiri menjadi lajang bintang dalam acara tersebut.
Salah satu dialog yang saya anggap mengkritik materialisme ilmiah adalah ketika Reuben mengatakan “….sekarang itu kita hidup di era di mana segala sesuatu itu diukur dan dinilai melalui angka, dan ketika ada sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka, maka itu dianggap tidak valid…”. Hal ini disampaikan Reuben sesudah ia menjelaskan Helen Kusuma (Jihane Almira) sebagai pemenang “Wanita Tercantik di Dunia”. Ini menunjukkan bagaimana materialisme ilmiah menjadi cara pandang bagi masyarakat terhadap segala sesuatu, dan hal ini menyebabkan segala hal yang bersifat tidak “objektif” dianggap tidak valid.
Reuben sendiri hadir sebagai antitesis terhadap pandangan materialisme ilmiah yang hadir di film ini. Reuben dalam salah satu dialognya mengatakan “….sementara bagi saya, tidak semua hal itu diukur atau dinilai dengan angka….”. Reuben juga melanjutkan bagaimana definisi kecantikan baginya setelah ia menemukan arti dari “wanita tercantik di dunia” melalui rekaman klip ayahnya yang ia tonton melalui handycam miliknya. “……kecantikan itu tidak melulu tentang apa yang terlihat. Apalagi bisa diukur. Kecantikan itu tidak bisa diukur dengan angka atau grafik apa pun. Apalagi, ketika kita berbicara soal cinta. Jadi, kalau ada sesuatu yang masih bisa diukur, dinilai dengan angka, maka itu bukan cinta…”.
Karakter Reuben dalam film ini hadir untuk mendekonstruksi pemahaman mengenai kecantikan dan keindahan, terlebih lagi, Reuben merupakan karakter yang hadir menyingkap pandangan materialisme ilimiah dan bersikap antitesis terhadap pandangan tersebut. Kehadiran Reuben membuat kembalinya aspek-aspek yang dilupakan dalam menilai sesuatu seperti emosi, perasaan, dan aspek-aspek metafisik lainnya. Dapat dikatakan bahwa Reuben merupakan representasi paradigma yang melampaui paradigma materialisme ilmiah, yang hanya memusatkan diri pada kenyataan material sebagai kebenaran. Kehadiran Reuben menekankan kembali kehadiran aspek metafisik yang tidak kalah penting dalam sebuah penilaian. Saya dapat menemukan bahwa film romansa garapan Robert Ronny, secara implisit, memiliki diskursus yang menarik mengenai kritik terhadap materialisme ilmiah yang banyak ditemukan di kalangan scientism. Entah apakah ini hanyalah spekulasi ataupun anabel (analisa gembel) belaka, diskursus ini tetaplah menarik untuk dibahas.[T]
Referensi
Hadirman, F. B. (2023). Kebenaran dan Para Kritikusnya: Mengulik Idea Besar yang Memandu Zaman Kita. Yogyakarta: Kanisius.
Wijayati, H., & R, I. (2019). Postmodernisme: Sebuah Pemikiran Filsuf Abad 20. Yogyakarta: SOCIALITY.
Penulis: Heski Dewabrata
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: