9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Vanitas Seharga Satu Meliar

I Wayan WestabyI Wayan Westa
March 26, 2025
inUlas Rupa
Vanitas Seharga Satu Meliar

Vanitas, karya Ketut Putrayasa

DI Nuanu City,  tak jauh dari Pantai Nyanyi, Braban, Tabanan,  sebuah kota kreatif  terbangun glamour,  dijaga ketat security berbadan tegap. Tentu, tak sembarang pengunjung boleh masuk ke kondominium wisata ini. Dihuni 95 persen turis Rusia, sejak negara itu berbaku hantam dengan Ukrania  ̶  di mana hingga kini  terus berperang.

Luas kawasan  kurang lebih 60 hektar,  dengan panjang masa kontrak 50 tahun. Petani di Nyayi   secara sadar mengkontrakkan tanah sawah mereka, menukar subak, lumbung pangan mereka untuk  disulap menjadi destinasi wisata bernama Nuanu City   ̶  hunian turis satu negara  ̶  tempat orang-orang Rusia berkumpul, berkreasi, membangun bisnis bersama. Walau suatu saat, generasi di Nyanyi bisa lupa, bahwa itu  tanah pusakanya, warisan leluhur mereka.

Tahun ini,  mulai 22 Maret hingga 17 Juni,  di Nuanu, tepatnya di Galerry Labyrinth Art Gallerry  digelar  pameran  bersama; bertajuk 5DIMENSIONS OF CHANGE, bekerjasama dengan Militan Art.  I Ketut Putrayasa, bersama teman-teman di Militan Art  tampil dengan seni instalasi berjudul “Vanitas”.  Tak tanggung-tanggung  karya  seni instalasi  ini dipatok  dengan  harga   satu meliar. Harga paling tinggi di antara karya yang terpajang di galeri ini. Setidaknya  harga ini bisa kita “klik” pada kotak batang karya. Entah  sang seniman sedang mencibir atau mengingatkan, atau sekadar seberangan nakal, kata vanitas berasal-usul dari Bahasa Latin, bermakna  “kosong”, “sia-sia”,  dan “tidak berharga.’

Tak kurang dingin dan  menghujam. Kali ini seniman kelahiran Desa Tibu Beneng ini tampil dengan tiga elemen teror; potongan linggis, gunting emas, dan semburat ceceran darah. Betul-betul beku dan kaku, satire  pedih, kritik sosial yang  menikam  jantung  sosial, yang nyaris absurd, sia-sia, tak berguna. Ia bicara perihal kecenderungan zaman, tentang birokrasi yang kusut, alam yang rusak, orang-orang lokal yang terusir, rakyat yang diolok-olok, ketimpangan, ketidakadilan yang menyengsarakan, dan kemanusiaan yang dicabik-cabik.

Di situ, di atas box berwarna putih, sang seniman menaruh potongan-potongan linggis.  Patahan-patahan linggis dipotong gunting bedah, naif memang. Sebagai alat, elemen ini cuma fungsional pada dunianya masing-masing.  Tak ada relasi fungsional, kecuali tiga elemen itu untuk membahasakan absurditas. Sebab sungguh  tak mungkin  gunting  bisa  memotong linggis, dan   sungguh mustahil   potongan linggis mengeluarkan   darah segar.

Vanitas, karya Ketut Putrayasa

Lagi-lagi  ini satire yang absurd, sesuatu yang sia-sia  dan mubasir. Tetapi begitulah dunia modern berkelindan, di mana hubungan-hubungan logis dunia kerap dikabuti absurditas. Orang-orang  mengalami kesia-siaan, jiwa-jiwa yang garing dan kosong. Itulah absurditas. Boleh jadi ini penderitaan abadi manusia.

Menengok Vanitas, di Nuanu City, kita merasakan  seniman  tengah memberontak sembari mengaduh kesakitan, kejengkelan yang kelam. Teringat padi-padi di Subak Nyanyi, petani-petani meluku tanah, kaki-kaki berlumpur, sapi-sapi mengembik.  Memandang padi-padi menguning, palawija subur, deburan ombak yang menenangkan. Ia mengingat sungai dan parit-parit mengalir bening, ibu-ibu memungut kakul, memetik daun-daun untuk sayur. Setidaknya ada tapak-tapak DNA  leluhur  berpeluh di situ.

Orang Bali sadar subak itu sumber hidup mereka. Subak itu ibu mereka, mandala Dewi Sri. Namun dihadapan tekanan modal, kekuatan luku,  mata bajak, cangkul dan linggis jadi lumer. Alat-alat kerja itu, linggis itu kini terpotong-potong, berdarah. Yang absurd, linggis    dipotong gunting bedah. Sungguh betapa mubasirnya “drama sosial” ini. Kemana kini kaki-kaki petani yang dulu bekerja di areal subak seluas 60 hektar itu? Apakah ia dimutilasi kekuatan modal?  Diusir dengan riang dan nikmat lewat kemakmuran sekejap – lalu lenyap dari tanah pusaka.

Lewat Vanitas, Putrayasa tak cuma mengkritik senjakala peradaban agraris yang dimutilasi  kapitalisme. Vanitas juga menunjukkan tumbal-tumbal sosial, kepala-kepala  jatuh menggelinding di karpet merah kekuasaan, cerdik pandai   merunduk karena tak kuat menahan perut kosong, para profesor mengabdi kekuasaan korup. Mereka  dimutilasi secara sosial. Harga diri dibeli tidak dengan nilai luhur. Namun diturunkan karena kemaruk perut. Lalu  kalah  sia-sia, tanpa melawan. Mereka mati diantara kelindan kemakmuran dan ketidakberdayaan. Ia lalu lenyap, vanitas kemudian mencatat tragedinya  ̶  drama kolosal yang kian menjauhkan orang Bali dari kisah leluhur dan  tanah-tanah  surga yang pernah dipeluknya.

Vanitas adalah seni instalasi dengan narasi yang disembunyikan. Narasi dan kritik yang disaput  potongan-potongan linggis, gunting bedah, serta ceceran darah yang mengental. Putrayasa mengkritik sekaligus memberontak, bahwa semua telah dimutilasi kini. Sesuatu yang masif terjadi di sekeliling kita, menjarah ruang-ruang bebas hingga ke tempat tidur, dan segalanya lalu dihitung, dihargai dengan uang. Puncak kebahagiaan pun cuma ditaruh pada uang.

Kekuatan-kekuatan masyarakat bawah paling tajam,  yang dibayangkan sebagai  ujung lingis  telah memuai, lumer oleh janji kesejahteraan semu. Tengkurap oleh citra  dunia yang dibangun iklan, gincu-gincu kapitalis. Para  cendekia, rohaniawan, akademisi, LSM, lembaga tradisi, dimutilasi dengan sempurna. Dan mereka  akhirnya  menjadi bagian yang memutilasi diri-sendiri. Lagi-lagi ini kesia-siaan.

Hari ini, meminjam pandangan kritis Parakirti T. Simbolon[2000:3],  kondisinya masih  sama seperti 25 tahun silam, di mana kita hidup dalam onggokan dunia “seolah-olah”, a heap of delusion. Dalam kasus negeri ini misalnya, Indonesia membangun dengan fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat; dengan politik yang seolah-olah stabil; dengan pemerintah yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan politikus yang seolah-olah negarawan; dengan ABRI yang seolah-olaah satria; dengan pengusaha yang seolah-olah captains of industry; dengan kemewahan seolah-olah kaya raya,; dengan orang sekolahan yang seolah-olah cendekia; dengan ahli hukum yang seolah-olah pendekar keadilan, dengan pengajar yang solah-olah guru; dengan pelajar yang seolah-olah murid, dengan agamawan yang seolah-olah religius, dengan masyarakat yang seolah-olah ramah-tamah. Semua tampak salah, ibarat gigi palsu yang memang lebih kemilau daripada gigi asli.

Vanitas, karya Ketut Putrayasa

Di titik ini Vanitas telah menjadi semacam “ critic symbolism”, kritik tanpa narasi di mana sesungguhnya ia adalah narasi besar dunia, itihasa kekalahan. Suatu kondisi  dunia yang tidak baik-baik saja. Negara memutilasi rakyatnya. Pajak kendaraan tinggi, jalan-jalan rusak. Pajak bumi dan bangunan tinggi, fasilitas umum tidak memadai. Sumber daya alam  melimpah,  rakyat  dalam kondisi miskin. Rohaniawan dan guru besar makin melimpah, tetapi moral kita tetap bobrok. Inilah drama yang  absurd itu, tragedi kemanusian yang  kusut. Perih, pedih yang menghujam.

Inilah sesungguh bentuk absurditas yang tengah digelindingkan Ketut Putrayasa. Linggis dipotong gunting lalu berdarah. Seperti kata-kata pelukis Made Wianta, lemari es membakar korek api.  Ini  boleh jadi sebentuk eksistensialisme, sebab  meminjam kata-kata Romo Sindhunata [1982: 19] absurditas berarti ketidakmungkinan mencari jawab pada yang transenden.

Sebab sebagaimana kumandang Nietzsche ketika menyatakan Tuhan telah mati, agar manusia setia pada buminya sendiri. Agar manusia hidup lebih real. Bagi Nietzsche mencari jawab pada yang transenden untuk persoalan-persoalan dunia adalah tindakan pemalas yang mencari gampang-gampangan saja. Di sini pandangan penulis  Zarathustra pun kemudian sejalan dengan dimensi eksistensialisme manusia Bali, apan manusa juga saka wenang, sebab manusialah maha penentu nasib sendiri.

Dan Putrayasa terlihat lebih memilih jalan ini, manusia harus melawan ketidak-beresan, berdiri di kaki sendiri. Kesalahpahaman besar ada pada mereka yang lemah memegang prinsip. Prinsip yang lemah, melahirkan suprastruktur kekuasaan yang  lemah,  melahirkan pemimpin yang korup, yang bangga pada onggokan seolah-olah. Seolah-olah bijak, seolah-olah bermoral tinggi, seolah-olah memberdayakan masyarakat, tapi mencipatakan ketergantungan akut. Yang lahir adalah kebodohan dan pembudakan.

Sepanjang pemimpin itu berumah di “perut”, ia tak mungkin melahirkan masyarakat  bahagia dan sejahtera. Ia akan selalu mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Kemaruk bila hendak mau dilukiskan dengan satu kata. Sebab  rumah pemimpin sejati ada di akal. Karena ia telah menempatkan keadilan sejak di pikiran. Ia kekuatan dewa yang nyata, ia filosuf yang bertindak, yang telah selesai dengan diri sendiri.

Tapi hari ini yang ada hanya paradok, drama sosial yang nungkalik. Semua jumpalitan, penjahat dipuja sebagai hero. Yang adil dan jujur tersungkur, kekuasaan  memutilisasinya -̶   Sejarah lalu pelan-pelan  membukanya, menunjukkan ke jalan  terang; sidang keadilan kebenaran. Bahwa yang batil akan tersingkap, sebagaimana dinginnya vanitas,  mengkritik kondisi   tanpa narasi besar, namun menghujam  jantung zaman.

Vanitas bukan seni yang enak ditonton, alih-alih untuk dinikmati perasaan dan indra mata. Di balik itu ia menunjukkan kesubliman penatanya, kegelisahan, kelebatan pikiran-pikiran tajam senimannya melihat, merasakan zaman yang tumpang tindih. Lalu ia pun memberondongkan tiga elemen teror; linggis, gunting, dan semburat darah kental. [T]

Kusa Agra,
25 Maret 2025

Penulis: I Wayan Westa
Editor: Adnyana Ole

  • BACA JUGA:
Yang Tersisa Dibuat Abadi: Patung Trenggiling Sunda Karya Ketut Putrayasa di Singapura
Meja yang Menyatakan Hasrat
Catatan Akhir Tahun: Ulu Ledak Sang Kromoson
Kode Gurita di Pantai Berawa
Satire “Sisyphus Game” Ketut Putrayasa
“Proyek Mengeringkan Air” Ketut Putrayasa: Sebuah Cibiran Sekaligus Pesan untuk Masa Depan
Tags: Ketut PutrayasaPameran Seni RupaSeni Rupa
Previous Post

Nyepi: Komunikasi Intrapersonal bagi Umat Hindu

Next Post

Ingatan Teater, Masyarakat dan Relasi Seni Andy Sri Wahyudi

I Wayan Westa

I Wayan Westa

Penulis dan pekerja kebudayaan

Next Post
Ingatan Teater, Masyarakat dan Relasi Seni Andy Sri Wahyudi

Ingatan Teater, Masyarakat dan Relasi Seni Andy Sri Wahyudi

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co