DI Nuanu City, tak jauh dari Pantai Nyanyi, Braban, Tabanan, sebuah kota kreatif terbangun glamour, dijaga ketat security berbadan tegap. Tentu, tak sembarang pengunjung boleh masuk ke kondominium wisata ini. Dihuni 95 persen turis Rusia, sejak negara itu berbaku hantam dengan Ukrania ̶ di mana hingga kini terus berperang.
Luas kawasan kurang lebih 60 hektar, dengan panjang masa kontrak 50 tahun. Petani di Nyayi secara sadar mengkontrakkan tanah sawah mereka, menukar subak, lumbung pangan mereka untuk disulap menjadi destinasi wisata bernama Nuanu City ̶ hunian turis satu negara ̶ tempat orang-orang Rusia berkumpul, berkreasi, membangun bisnis bersama. Walau suatu saat, generasi di Nyanyi bisa lupa, bahwa itu tanah pusakanya, warisan leluhur mereka.
Tahun ini, mulai 22 Maret hingga 17 Juni, di Nuanu, tepatnya di Galerry Labyrinth Art Gallerry digelar pameran bersama; bertajuk 5DIMENSIONS OF CHANGE, bekerjasama dengan Militan Art. I Ketut Putrayasa, bersama teman-teman di Militan Art tampil dengan seni instalasi berjudul “Vanitas”. Tak tanggung-tanggung karya seni instalasi ini dipatok dengan harga satu meliar. Harga paling tinggi di antara karya yang terpajang di galeri ini. Setidaknya harga ini bisa kita “klik” pada kotak batang karya. Entah sang seniman sedang mencibir atau mengingatkan, atau sekadar seberangan nakal, kata vanitas berasal-usul dari Bahasa Latin, bermakna “kosong”, “sia-sia”, dan “tidak berharga.’
Tak kurang dingin dan menghujam. Kali ini seniman kelahiran Desa Tibu Beneng ini tampil dengan tiga elemen teror; potongan linggis, gunting emas, dan semburat ceceran darah. Betul-betul beku dan kaku, satire pedih, kritik sosial yang menikam jantung sosial, yang nyaris absurd, sia-sia, tak berguna. Ia bicara perihal kecenderungan zaman, tentang birokrasi yang kusut, alam yang rusak, orang-orang lokal yang terusir, rakyat yang diolok-olok, ketimpangan, ketidakadilan yang menyengsarakan, dan kemanusiaan yang dicabik-cabik.
Di situ, di atas box berwarna putih, sang seniman menaruh potongan-potongan linggis. Patahan-patahan linggis dipotong gunting bedah, naif memang. Sebagai alat, elemen ini cuma fungsional pada dunianya masing-masing. Tak ada relasi fungsional, kecuali tiga elemen itu untuk membahasakan absurditas. Sebab sungguh tak mungkin gunting bisa memotong linggis, dan sungguh mustahil potongan linggis mengeluarkan darah segar.

Vanitas, karya Ketut Putrayasa
Lagi-lagi ini satire yang absurd, sesuatu yang sia-sia dan mubasir. Tetapi begitulah dunia modern berkelindan, di mana hubungan-hubungan logis dunia kerap dikabuti absurditas. Orang-orang mengalami kesia-siaan, jiwa-jiwa yang garing dan kosong. Itulah absurditas. Boleh jadi ini penderitaan abadi manusia.
Menengok Vanitas, di Nuanu City, kita merasakan seniman tengah memberontak sembari mengaduh kesakitan, kejengkelan yang kelam. Teringat padi-padi di Subak Nyanyi, petani-petani meluku tanah, kaki-kaki berlumpur, sapi-sapi mengembik. Memandang padi-padi menguning, palawija subur, deburan ombak yang menenangkan. Ia mengingat sungai dan parit-parit mengalir bening, ibu-ibu memungut kakul, memetik daun-daun untuk sayur. Setidaknya ada tapak-tapak DNA leluhur berpeluh di situ.
Orang Bali sadar subak itu sumber hidup mereka. Subak itu ibu mereka, mandala Dewi Sri. Namun dihadapan tekanan modal, kekuatan luku, mata bajak, cangkul dan linggis jadi lumer. Alat-alat kerja itu, linggis itu kini terpotong-potong, berdarah. Yang absurd, linggis dipotong gunting bedah. Sungguh betapa mubasirnya “drama sosial” ini. Kemana kini kaki-kaki petani yang dulu bekerja di areal subak seluas 60 hektar itu? Apakah ia dimutilasi kekuatan modal? Diusir dengan riang dan nikmat lewat kemakmuran sekejap – lalu lenyap dari tanah pusaka.
Lewat Vanitas, Putrayasa tak cuma mengkritik senjakala peradaban agraris yang dimutilasi kapitalisme. Vanitas juga menunjukkan tumbal-tumbal sosial, kepala-kepala jatuh menggelinding di karpet merah kekuasaan, cerdik pandai merunduk karena tak kuat menahan perut kosong, para profesor mengabdi kekuasaan korup. Mereka dimutilasi secara sosial. Harga diri dibeli tidak dengan nilai luhur. Namun diturunkan karena kemaruk perut. Lalu kalah sia-sia, tanpa melawan. Mereka mati diantara kelindan kemakmuran dan ketidakberdayaan. Ia lalu lenyap, vanitas kemudian mencatat tragedinya ̶ drama kolosal yang kian menjauhkan orang Bali dari kisah leluhur dan tanah-tanah surga yang pernah dipeluknya.
Vanitas adalah seni instalasi dengan narasi yang disembunyikan. Narasi dan kritik yang disaput potongan-potongan linggis, gunting bedah, serta ceceran darah yang mengental. Putrayasa mengkritik sekaligus memberontak, bahwa semua telah dimutilasi kini. Sesuatu yang masif terjadi di sekeliling kita, menjarah ruang-ruang bebas hingga ke tempat tidur, dan segalanya lalu dihitung, dihargai dengan uang. Puncak kebahagiaan pun cuma ditaruh pada uang.
Kekuatan-kekuatan masyarakat bawah paling tajam, yang dibayangkan sebagai ujung lingis telah memuai, lumer oleh janji kesejahteraan semu. Tengkurap oleh citra dunia yang dibangun iklan, gincu-gincu kapitalis. Para cendekia, rohaniawan, akademisi, LSM, lembaga tradisi, dimutilasi dengan sempurna. Dan mereka akhirnya menjadi bagian yang memutilasi diri-sendiri. Lagi-lagi ini kesia-siaan.
Hari ini, meminjam pandangan kritis Parakirti T. Simbolon[2000:3], kondisinya masih sama seperti 25 tahun silam, di mana kita hidup dalam onggokan dunia “seolah-olah”, a heap of delusion. Dalam kasus negeri ini misalnya, Indonesia membangun dengan fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat; dengan politik yang seolah-olah stabil; dengan pemerintah yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan politikus yang seolah-olah negarawan; dengan ABRI yang seolah-olaah satria; dengan pengusaha yang seolah-olah captains of industry; dengan kemewahan seolah-olah kaya raya,; dengan orang sekolahan yang seolah-olah cendekia; dengan ahli hukum yang seolah-olah pendekar keadilan, dengan pengajar yang solah-olah guru; dengan pelajar yang seolah-olah murid, dengan agamawan yang seolah-olah religius, dengan masyarakat yang seolah-olah ramah-tamah. Semua tampak salah, ibarat gigi palsu yang memang lebih kemilau daripada gigi asli.

Vanitas, karya Ketut Putrayasa
Di titik ini Vanitas telah menjadi semacam “ critic symbolism”, kritik tanpa narasi di mana sesungguhnya ia adalah narasi besar dunia, itihasa kekalahan. Suatu kondisi dunia yang tidak baik-baik saja. Negara memutilasi rakyatnya. Pajak kendaraan tinggi, jalan-jalan rusak. Pajak bumi dan bangunan tinggi, fasilitas umum tidak memadai. Sumber daya alam melimpah, rakyat dalam kondisi miskin. Rohaniawan dan guru besar makin melimpah, tetapi moral kita tetap bobrok. Inilah drama yang absurd itu, tragedi kemanusian yang kusut. Perih, pedih yang menghujam.
Inilah sesungguh bentuk absurditas yang tengah digelindingkan Ketut Putrayasa. Linggis dipotong gunting lalu berdarah. Seperti kata-kata pelukis Made Wianta, lemari es membakar korek api. Ini boleh jadi sebentuk eksistensialisme, sebab meminjam kata-kata Romo Sindhunata [1982: 19] absurditas berarti ketidakmungkinan mencari jawab pada yang transenden.
Sebab sebagaimana kumandang Nietzsche ketika menyatakan Tuhan telah mati, agar manusia setia pada buminya sendiri. Agar manusia hidup lebih real. Bagi Nietzsche mencari jawab pada yang transenden untuk persoalan-persoalan dunia adalah tindakan pemalas yang mencari gampang-gampangan saja. Di sini pandangan penulis Zarathustra pun kemudian sejalan dengan dimensi eksistensialisme manusia Bali, apan manusa juga saka wenang, sebab manusialah maha penentu nasib sendiri.
Dan Putrayasa terlihat lebih memilih jalan ini, manusia harus melawan ketidak-beresan, berdiri di kaki sendiri. Kesalahpahaman besar ada pada mereka yang lemah memegang prinsip. Prinsip yang lemah, melahirkan suprastruktur kekuasaan yang lemah, melahirkan pemimpin yang korup, yang bangga pada onggokan seolah-olah. Seolah-olah bijak, seolah-olah bermoral tinggi, seolah-olah memberdayakan masyarakat, tapi mencipatakan ketergantungan akut. Yang lahir adalah kebodohan dan pembudakan.
Sepanjang pemimpin itu berumah di “perut”, ia tak mungkin melahirkan masyarakat bahagia dan sejahtera. Ia akan selalu mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Kemaruk bila hendak mau dilukiskan dengan satu kata. Sebab rumah pemimpin sejati ada di akal. Karena ia telah menempatkan keadilan sejak di pikiran. Ia kekuatan dewa yang nyata, ia filosuf yang bertindak, yang telah selesai dengan diri sendiri.
Tapi hari ini yang ada hanya paradok, drama sosial yang nungkalik. Semua jumpalitan, penjahat dipuja sebagai hero. Yang adil dan jujur tersungkur, kekuasaan memutilisasinya -̶ Sejarah lalu pelan-pelan membukanya, menunjukkan ke jalan terang; sidang keadilan kebenaran. Bahwa yang batil akan tersingkap, sebagaimana dinginnya vanitas, mengkritik kondisi tanpa narasi besar, namun menghujam jantung zaman.
Vanitas bukan seni yang enak ditonton, alih-alih untuk dinikmati perasaan dan indra mata. Di balik itu ia menunjukkan kesubliman penatanya, kegelisahan, kelebatan pikiran-pikiran tajam senimannya melihat, merasakan zaman yang tumpang tindih. Lalu ia pun memberondongkan tiga elemen teror; linggis, gunting, dan semburat darah kental. [T]
Kusa Agra,
25 Maret 2025
Penulis: I Wayan Westa
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: