DI era digital yang semakin maju, kecerdasan buatan (AI) telah merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Kehadiran teknologi ini memberikan kemudahan luar biasa dalam mengakses informasi, menyelesaikan tugas, hingga memahami konsep-konsep yang kompleks. Dua platform AI yang tengah naik daun di kalangan pelajar adalah ChatGPT dan Perplexity.
Keduanya menawarkan solusi instan yang membantu dalam proses belajar. Namun, apakah teknologi ini benar-benar mendukung pengembangan intelektual, atau justru membuat pelajar semakin bergantung hingga kehilangan kemampuan berpikir kritis?
ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI adalah model bahasa berbasis AI yang mampu menghasilkan teks menyerupai tulisan manusia. Dengan kemampuannya menjawab pertanyaan, memberikan penjelasan mendalam, hingga membantu dalam menulis esai, ChatGPT menjadi favorit bagi banyak pelajar.
Di sisi lain, Perplexity AI menawarkan pendekatan yang sedikit berbeda. Platform ini berfungsi sebagai mesin pencari berbasis AI yang tidak hanya memberikan jawaban tetapi juga mengutip sumber-sumber terpercaya, memungkinkan pengguna mendapatkan informasi yang lebih kredibel.
Kemudahan yang ditawarkan kedua platform ini memicu peningkatan penggunaannya di kalangan pelajar. Sebuah survei yang dilakukan pada 24 Mei 2023 di Departemen Sosiologi Universitas Negeri Padang menunjukkan bahwa 79,4% mahasiswa telah mengetahui dan menggunakan ChatGPT dalam berbagai konteks akademis maupun non-akademis (Naradidik).
Data itu menunjukkan bahwa pelajar dan mahasiswa semakin bergantung pada AI dalam kegiatan sehari-hari. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah penggunaan AI ini benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran, atau justru melemahkan kemandirian pelajar?
Tidak dapat disangkal bahwa ChatGPT dan Perplexity membawa berbagai manfaat signifikan dalam dunia pendidikan. Salah satu keunggulan utama adalah efisiensi dalam mengakses informasi. Sebelum adanya AI, pelajar harus mencari referensi dari berbagai buku atau artikel jurnal yang memakan waktu. Dengan teknologi ini, mereka bisa mendapatkan rangkuman materi dalam hitungan detik.
Selain itu, AI juga membantu memahami konsep yang sulit. Misalnya, bagi siswa yang kesulitan dalam matematika, ChatGPT dapat memberikan langkah-langkah penyelesaian soal secara rinci. Perplexity, dengan fitur pencarian berbasis AI-nya, membantu siswa dalam mencari referensi akademik yang lebih terpercaya. Tidak hanya itu, bagi pelajar yang memiliki keterbatasan dalam menulis esai atau laporan, AI dapat memberikan saran struktur tulisan, memperbaiki tata bahasa, hingga membantu mengembangkan ide. Dengan demikian, teknologi ini dapat menjadi mentor virtual yang mendukung proses belajar-mengajar.
Di balik semua manfaat tersebut, penggunaan AI dalam pendidikan juga menghadirkan tantangan besar, terutama dalam hal ketergantungan. Pelajar yang terlalu sering menggunakan ChatGPT untuk menjawab tugas-tugas akademik bisa kehilangan kemampuan berpikir kritis.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh UNESCO menunjukkan bahwa terlalu banyak mengandalkan AI dalam belajar dapat menghambat perkembangan keterampilan kognitif siswa, karena mereka lebih sering menerima jawaban daripada mencari tahu sendiri (UNESCO, 2023).
Jika kebiasaan ini terus berkembang, pelajar akan semakin malas menganalisis informasi, dan pada akhirnya, bisa menurunkan daya kreativitas mereka.
Selain itu, tidak semua jawaban yang diberikan oleh ChatGPT atau Perplexity selalu benar. AI bekerja dengan memprediksi kata-kata berdasarkan pola data yang sudah ada, bukan berdasarkan pemahaman seperti manusia. Akibatnya, ada risiko informasi yang tidak akurat atau kurang relevan dengan konteks yang sedang dipelajari. Jika pelajar hanya menyalin tanpa melakukan verifikasi, mereka bisa mendapatkan pemahaman yang salah tentang suatu materi.
Salah satu dampak negatif lain dari penggunaan ChatGPT dan Perplexity adalah meningkatnya kasus plagiarisme. Beberapa pelajar mungkin tergoda untuk menyalin jawaban yang diberikan oleh AI tanpa memahami isinya. Hal ini berbahaya karena dapat menurunkan integritas akademik. Beberapa universitas di dunia bahkan mulai mengambil langkah tegas terhadap penggunaan AI dalam tugas akademik.
Universitas Cambridge, misalnya, telah mengeluarkan kebijakan bahwa mahasiswa yang ketahuan menggunakan AI tanpa mencantumkan sumbernya dapat dianggap melakukan pelanggaran akademik (The Guardian, 2023). Dengan demikian, meskipun AI bisa menjadi alat bantu yang bermanfaat, penggunaannya tetap harus diawasi agar tidak menurunkan standar akademik yang sudah ada.
Agar pelajar tetap mendapatkan manfaat dari AI tanpa mengalami ketergantungan, penting untuk memahami cara penggunaan yang bijak. AI sebaiknya digunakan untuk memberikan gambaran umum atau ide awal, bukan sebagai sumber utama dalam menyelesaikan tugas. Siswa harus tetap membaca buku, jurnal ilmiah, dan berdiskusi dengan guru atau dosen untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Karena AI tidak selalu memberikan jawaban yang benar, penting untuk selalu melakukan verifikasi terhadap informasi yang diberikan. Siswa harus membandingkan hasil yang diperoleh dari AI dengan sumber akademik yang lebih kredibel.
Alih-alih hanya menerima jawaban dari AI, siswa sebaiknya menggunakan AI untuk mengajukan pertanyaan yang lebih kompleks dan mencoba memahami jawabannya dengan pendekatan analitis. Dengan begitu, mereka tetap melatih kemampuan berpikir kritis. Pelajar sebaiknya menggunakan AI untuk memperbaiki tata bahasa, mengembangkan ide, atau mengasah kemampuan menulis, bukan sekadar menyalin jawaban yang diberikan.
Dengan begitu, AI akan menjadi alat bantu yang efektif, bukan pengganti usaha belajar. Selain itu, belajar tidak hanya tentang mencari jawaban, tetapi juga berdiskusi dan bertukar pendapat. Pelajar harus tetap berinteraksi dengan guru dan teman sekelas agar proses pembelajaran lebih kaya dan interaktif.
Teknologi AI seperti ChatGPT dan Perplexity menawarkan berbagai manfaat dalam dunia pendidikan, mulai dari efisiensi dalam mencari informasi hingga membantu memahami konsep yang sulit. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, AI dapat membuat pelajar kehilangan kemampuan berpikir kritis dan mandiri.
Oleh karena itu, penting bagi pelajar untuk menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan pengembangan keterampilan berpikir. AI seharusnya menjadi alat bantu yang mendukung pembelajaran, bukan menjadi pengganti usaha belajar itu sendiri. Dengan kesadaran ini, generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya melek teknologi tetapi juga memiliki daya analisis yang tajam dan kreativitas yang tinggi.
Di masa depan, pendidikan yang ideal bukan hanya soal menguasai teknologi, tetapi juga bagaimana menggunakannya dengan cara yang benar. Sebagai pelajar, pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan membiarkan AI berpikir untuk kita, atau kita akan menggunakan AI sebagai alat untuk berpikir lebih kritis dan kreatif? [T]
Penulis: Putu Gangga Pradipta
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: