AQIL BALIGH
Saat itu tiba
Entah menjadi kelahiran
Atau malah menuju kematian
Setelah menjagamu sembilan bulan sepuluh hari
Dalam rahim yang hangat
Tujuh hari setelah kelahiran
Kujauhkan infeksi dari tali pusarmu
Agar tak berdarah dan bernanah
Sebelum potongan kecil kepus
Kuupacari dengan sesaji dan mantra tolak balak
Lalu kutempatkan dalam Dulang Kumara
Dengan sebilah pandan berduri sebagai penjaga
Satu bulan tujuh hari pertamamu
Kutimang dan kuruap dengan doa
Untuk menuju bulan ganjil bulan ketiga
Dimana untuk pertama kali kaki kaki mungilmu secara simbolik memijak pertiwi
Agar menjadi kuat menuju bulan ke enam
Bulan pertama engkau merasai manis asin garam
Tidak hanya air susu yang engkau sesap
Tapi tutur lembut
Dan kasih sayang kau serap
Tiba di aqil baligh
Aku meruwatmu dengan tatar dan tutur
Mengantarmu pada jalan dharma
Tidak hanya rambut dan gigi yang dirapikan dalam upacara mesangih
Tetapi juga ucap dan lakumu
Berharap engkau siap menuju dewasamu
Tetapi anakku
Apakah ini awal kelahiranmu menjadi dewasa
Menjadi anak Saputra
Atau malah menuju kematianmu
Atas kegagalanku sebagai ibu
Yang tak mampu membekalimu
Dengan adab dan ilmu
Pada masa ini
Adalah gerbang bagimu menjadi dewasa
Yang menyelaraskan tutur dan laku
Dengan menjalankan swadharma sebagai manusia
Bukan berjalan dengan adharma
Dengan seratus Kurawa
Yang menjadikanmu gagal sebagai manusia
Denpasar. Desember 2024
SUKA DUKA LARA PATI
Ia seperti jarum jam di dinding
Melewati detik waktu dengan segala kisahnya
Melepas dan meraih
Meraih lalu melepas
Ia mengiringi setiap denyut nadi
Berdetak berdetak sampai di penghujung waktu
Tak ada yang ajeg
Karena ia adalah lingkaran
Warna dari semesta hadirkan
Meski di dalamnya ada sebab akibat
Hak dan kewajiban
Serta takdir sebagai akhir
Atas upaya dan kepasrahan
Denpasar. 2024
SEPI DI TENGAH RIUH
Rasanya berbanding terbalik
Ketika rasa hampa itu menyelinap
Pada jalan jalan padat dengan kebisingan serta ketergesaan
Setitik gelap pada gemerlap lampu warna warni
Dan hiruk pikuk suara suara yang menggema
Aku, si penghuni di pulau ini
Pulau dengan gemerlap kemewahan
Serta tujuan untuk mengungsikan segala lelah
Menjadi tawa gembira
Pulau surga bagi si pecinta keindahan
Entah debur laut
Atau ramah tamah
Serta khusyuhnya sebuah upacara
Yang menjadi bingkai indah di angan para pendatang
Entah sebagai urban atau wisatawan
Tawanya adalah hampaku yang tak mampu kubendung
Setelah pematang tempat aku memijak
Yang dulu diupacari Biu Kukung
Dan ditancapkan Lelakut agar burung burung takut
Senyatanya, pematang itu kini dicacah
Lalu menghilang dan berganti wajah
Aku pun merasa sungkan
Walau hanya untuk melintas pada tanah yang sebermula menjadi tanah lahirku
Tanah tempat aku bermain dan menancapkan mimpi mimpi
Kini malih rupa menjadi kafe, hotel atau villa
Asing, itulah yang terjadi akhirnya
Dengan kehampaan yang tak berujung
Gemerlapnya hanya mampu dilihat dari kejauhan
Untuk mendekat pun rasanya sudah tak percaya diri
Denpasar. Pebruari 2025
KISAH POHON TUMBANG
Tentunya
Bukan musim yang salah
Ketika ia menggugurkan calon buah
Bunga yang bermekaran dihempasnya dari pohon naung
Tempat ia menggelayutkan nasib
Untuk membesar, manis dan berguna
Siapa yang menyulut kepedihan ini
Hingan angin datang sekencang pusaran
Menimpali hujan yang tumpah dari ketinggian
Bukan hanya bunga yang terpelanting ke tanah
Pohon pun tumbang tercerabut bersama akar
Lelahkah bumi merengkuh akar
Hingga membiarkan pohon terhempas
Menyudahi swadharmanya
Menaungi dan memberi bagi umat manusia
Kini hempasan itu menjadi patahan
Kampak menjelajah, mencacah
Menjadikan potongan potongan
Entah akan menjadi kayu bakar atau arang
Atau rumah baru bagi para rayap
Untuk merayap dan membiak
Lalu punah bersama seluruh kisah
Denpasar. Januari 2025
PADA DANAU MATAMU
Pada danau matamu yang bening
Kulihat seekor kupu kupu
Hinggap pada kuntum padma biru
Ia riang
Hinggap terbang berulang
Bolehkah aku menjelma menjadi ikan
Agar bisa berenang dan mendekatimu
Menyentuh akarmu
Agar tahu seberapa dalam tabahmu
Wangi telah mekar dari kelopak itu
Seakan musim telah menjadikanmu seayu itu
Tak ada surut atau susut
Oleh ombak atau kemarau
Bahkan gemulung mendung
Kuyakini
Musim telah menempa
Agar tubuhmu sekuat karang
Meski oleh amuk gelombang
Danau itu tetap bening
Meski kerap dilingkari sekam dan bara
Dengan sekuntum padma
Yang tak pernah layu di dalamnya
Denpasar. Januari 2025
HUJAN PADA SENJA YANG LENGANG
Menjelang senja
Hujan hadir dengan dinginnya
Angin pun tak luput untuk ikut
Menggoyangkan daun hati yang erat bergelayut
Senja telah merangkum kisah fajar dan siang yang terang
Berganti malam berawan
Karena hujan menari di pelataran
Sunyi pun terasa kental
Setelah seperangkat gamelan tersimpan
Gedong pun tertutup rapat
Tak lagi terdengar suara gong yang mendebarkan dada
Atau suara seruling yang menyayat
Katakan
Mantra apa yang harus kurapal
Untuk menyudahi senyap ini
Menjadi senja yang berwarna
Untuk melengkapi kelir mimpi
Atau mantra apa yang harus dirajah di dada
Agar riuh tak menjadi jadi
Riuh yang selalu berpusar di diri
Katakan sekali lagi sebagai kepastian
Di purnama ke berapa
Seperangkat gamelan dimainkan kembali
Agar debar di dada karena suara gong menggema
Menembus kisi kisi sampai tiba di sanubari
Denpasar. Pebruari 2025
Penulis: Winar Ramelan
Editor: Adnyana Ole
- BacaPUISI LAINdari penyair Indonesia