Sempat beredar tagar #KaburAjaDulu secara masif di dunia maya. Fenomena ini menjadi riuh lantaran ajakan untuk bekerja di luar negeri mendapat respons positif dan negatif dari berbagai pihak. Ada yang mendukung tagar ini, ada yang sinis, ada pula yang tak acuh.
Mereka yang merespons positif “Kabur Aja Dulu” mengacu pada kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Sedangkan mereka yang menanggapi secara negatif menyatakan tindakan kabur dari Tanah Air adalah bentuk perbuatan yang tidak mendukung nasionalisme.
Reaksi emosional ditunjukkan oleh Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker), Immanuel Noel yang enggan ambil pusing tagar #KaburAjaDulu. Ia justru mempersilakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ingin berkarier di luar negeri untuk tidak perlu kembali ke Indonesia. “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi”, katanya. (Kompas.com, 17/2/2025).
Apa yang disampaikan pejabat tinggi negara tersebut mencerminkan arogansi kekuasaan. Bukan memberi solusi atas fenomena yang menimpa rakyatnya, justru mengambil sikap cuek. Sikap Wakil Menteri itu nyaris sama dengan orang tua yang marah pada anaknya ketika sang anak mengancam akan pergi dengan mengatakan: “ Sana pergi, nggak usah pulang sekalian !”.
Lain lagi reaksi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menyentil mereka, dan meragukan jiwa nasionalisme orang-orang yang pindah ke luar negeri dalam video lawasnya yang kembali beredar (Viva.co.id, 15/2/2025). Lantas apa kaitan nasionalisme dengan tagar #KaburAjaDulu? Benarkah WNI yang “kabur” dan bekerja di luar negeri tidak memiliki jiwa nasionalisme?
Nasionalisme
Apa sejatinya nasionalisme itu? Apakah anak-anak muda Indonesia yang kabur untuk bekerja di luar negeri dianggap tidak nasionalis? Padahal mereka mencari nafkah di luar negeri lantaran di negeri sendiri tidak memberi harapan yang terang benderang. Jika mereka dianggap tidak memiliki nasionalisme, mengapa pula pemerintah mengekspor Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke luar negeri?
Labeling tidak nasionalis terhadap warga negara yang bekerja di luar negeri tentunya sangat menyesatkan. Berdasarkan data Kementerian Ketenaga Kerjaan (Kemenaker) jumlah tenaga kerja asing di Indonesia per September 2024 mencapai 133.979 orang ( GoodStats.id, 18/12/2024). Apakah lebih dari seratus ribu orang asing yang bekerja di Indonesia itu juga tidak memiliki nasionalisme bagi negaranya?
Untuk meningkatkan karier, profesionalisme, dan tentu saja penghasilan, para pemain sepakbola nasional pindah ke beberapa klub sepak bola di luar negeri. Apakah mereka juga tidak menjunjung nasionalisme? Sementara dunia sepak bola di Tanah Air hanya begitu-begitu saja. Ironinya, pemerintah justru melakukan naturalisasi para pemain sepak bola asing. Apakah para pemain naturalisasi itu lantas tidak nasionalis di negaranya?
Sesat pikir tentang nasionalisme membuat bangsa ini selalu berada dalam keterbelakangan. Padahal, yang disebut nasionalisme Indonesia menurut YB.Romo Mangunwijaya (1996) adalah keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil di Indonesia dari eksploitasi kaum kaya-kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oleh oknum bangsa Indonesia sendiri.
Nasionalisme Indonesia adalah khas sekali. Wataknya adalah watak pemerdekaan, pembebasan, pertolongan, dan pengangkatan kaum kecil dan miskin. Jika demikian lantas siapa yang tidak menjunjung tinggi nasionalisme? Kaum muda yang kesulitan mendapatkan kerja dan kabur keluar negeri atau penguasa yang tak mampu memberikan pertolongan kepada rakyatnya?
Omon-Omon
Diksi omon-omon mencuat saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres). Salah satu kandidat menyebut program kampanye kandidat lain sebagai omon-omon belaka. Yang dimaksud adalah program yang sekadar bicara saja, teoritis saja, tidak mungkin dikerjakan.
Kini, sang pelontar kata omon-omon sudah menjadi penguasa setelah memenangi Pilpres. Rupanya seperti peribahasa “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”, sang penguasa itu juga dituding sekadar omon-omon dalam berbagai kebijakannya.
Dalam perspektif komunikasi, omon-omon dapat memiliki tiga pengertian. Pertama, omon-omon sebagai bentuk diskordansi pesan. Terdapat ketidakselarasan antara apa yang diucapkan seseorang dengan apa yang dilakukannya. Diskordansi pesan terjadi ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan Indonesia sebagai negara demokratis, namun saat rakyat melakukan kritik atas kebijakannya dia cepat-cepat berteriak “Ndasmu!”.
Sungguh sangat disayangkan jika seorang presiden bersikap sarkas kepada rakyatnya sendiri. Bukankah dia tahu betul, bahwa kemerdekaan berpendapat dan berbicara dijamin oleh undang-undang. Jika demikian, maka pernyataan dia yang terbuka terhadap kritik hanyalah komunikasi omon-omon belaka. Andai seorang pemimpin bersikap sarkas kepada rakyat, jangan salahkan pula bila rakyat pun akan sarkas kepada pemimpinnya.
Kedua, omon-omon dalam perspektif komunikasi dan budaya Jawa disebut juga lamis. Orang akan disebut lamis jika apa yang dijanjikan ternyata dia ingkari. Dengan kata lain, cidera dan ingkar terhadap janji.
Kasus Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sarat dengan drama dapat menggambarkan lamis. Mulai dari nominal rupiah untuk porsi MBG yang terus menyusut dari 15 ribu rupiah menjadi 10 ribu, hingga gagasan mengganti menu susu dengan daun kelor serta menu daging dengan serangga.
Ketiga, omon-omon sebagai bentuk dusta. Dalam komunikasi, dusta dilakukan untuk berbagai alasan. Dusta dapat memperkuat maupun memperlemah afiliasi. Dusta juga dapat memperpanjang interaksi sosial dan menghindari konflik (DeVito, 1997).
Dusta melalui komunikasi omon-omon tentu saja dapat dimanfaatkan untuk memperkuat koalisi dan menghindari konflik politik yang mengancam kedudukan rezim. Sekali lagi, MBG penuh drama. Awalnya disebutkan dana puluhan triliun rupiah sudah tersedia. Belakangan, muncul kebijakan efisiensi anggaran untuk menggali dana bagi MBG. Apakah ini bukan dusta dan omon-omon belaka?
Masyarakat tentu masih ingat betul. Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan menyiapkan anggaran khusus untuk pemberantasan korupsi. Bukan hanya itu, ia juga akan mengirim pasukan khusus jika koruptor itu kabur ke Antartika. Lantas muncul episode berikut, Prabowo Subianto akan memaafkan para koruptor yang mengembalikan uang negara. Bukankah itu semua dusta dan omon-omon?
Terbaru, kasus Band Sukatani riuh di jagat maya dan nyata dengan lagunya “Bayar Bayar Bayar”. Lagu yang berisi kritik terhadap perilaku menyimpang polisi. Pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyatakan tidak anti kritik dan terbuka terhadap kritik. Namun mengapa kedua personel band itu harus dimintai klarifikasi dan mesti meminta maaf kepada Kapolri serta men-takedown lagu mereka? Jadi, selama ini Polri melakukan diskordansi pesan kepada masyarakat, komunikasi omon-omon belaka.
Secara fenomenologis, omon-omon selalu akan diselimuti dengan excuse dan justifikasi. Senantiasa ada saja permaafan dan pembenaran atas kebijakan yang sekadar omon-omon itu. Alasan keterbatasan anggaran,demi rakyat, demi wong cilik, demi bangsa dan negara acapkali dijadikan tameng pemaaf dan pembenar.
Jangan heran jika omon-omon tetap akan menjadi bagian dari perilaku politik. Sebab rezim tetap merasa nyaman sepanjang rakyat masih mengelu-elukannya sebagai penyelamat. Dan elit politik tetap aman sebagai mitra koalisi yang sarat konsesi.[T]
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU