“Kepercayaan itu seperti bensin. Sekali tercampur kotoran, mesin bisa mogok selamanya.”—Geofakta Razali
ADA yang lebih rakus dari orang kelaparan: pejabat korup dengan mental yang tak pernah kenyang. Saat masyarakat sibuk memikirkan cara bertahan hidup di tengah harga yang semakin mencekik, mereka yang sudah punya segalanya justru sibuk merancang cara untuk mengambil lebih banyak lagi. Gaji, tunjangan, fasilitas negara—semua itu ternyata belum cukup. Mereka tetap lapar, haus akan kekayaan yang bukan haknya.
Kasus dugaan korupsi minyak mentah Pertamina yang mencuat baru-baru ini adalah contoh sempurna dari kerakusan yang tak berbatas. Ratusan triliun rupiah diduga lenyap di tangan segelintir orang yang berpikir mereka bisa lolos dari pengawasan. Yang paling menyakitkan? Korupsi ini terjadi pada sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Masyarakat yang selama ini percaya bahwa Pertamax adalah pilihan terbaik—lebih berkualitas, lebih awet untuk mesin, lebih nasionalis karena mendukung BUMN—tiba-tiba harus menelan kenyataan pahit.
Publik tidak hanya kecewa, mereka marah. Mereka merasa telah membayar lebih mahal untuk sesuatu yang pada akhirnya justru merugikan mereka. Ini bukan sekadar soal uang, ini soal kepercayaan yang dikhianati.
Maka, tak heran jika efek domino mulai terjadi. Antrean Pertamax mulai sepi. Orang-orang berbondong-bondong pindah ke BBM non-Pertamina. Di media sosial, kemarahan semakin meluas, memperkuat narasi bahwa Pertamina sudah tidak bisa dipercaya.
Inilah yang dalam psikologi disebut sebagai moral outrage—kemarahan moral yang muncul ketika publik merasa ada ketidakadilan yang sangat besar. Mereka bukan hanya marah karena merasa dirugikan, tetapi juga karena merasa ada prinsip moral yang telah dilanggar.
Dan seperti api yang ditiup angin, kemarahan ini menyebar dengan cepat. Inilah fenomena social contagion, ketika emosi dan tindakan menyebar melalui lingkungan sosial. Satu orang berbagi pengalaman buruk di Twitter, ribuan orang lainnya ikut merespons, membagikan pengalaman serupa, dan pada akhirnya membuat gelombang opini publik yang tak terbendung.
Siklus ini menciptakan efek nyata di dunia fisik. Orang-orang mulai meninggalkan Pertamax dan mencari alternatif lain. Mereka rela membayar lebih mahal di SPBU lain, bukan hanya karena mereka yakin kualitasnya lebih baik, tetapi karena mereka ingin merasa aman. Tidak ada yang mau mengisi tangki mereka dengan sesuatu yang penuh ketidakpastian.
Bagi mereka yang selama ini setia menggunakan Pertamax, kasus ini menimbulkan konflik batin. Mereka mengalami cognitive dissonance, atau ketidaknyamanan psikologis akibat bentroknya dua keyakinan yang bertolak belakang.
Selama bertahun-tahun, mereka percaya bahwa Pertamax adalah pilihan paling masuk akal. Tapi setelah kasus ini mencuat, kepercayaan itu mulai goyah. Mereka mulai bertanya pada diri sendiri: Apakah saya sudah tertipu selama ini? Apakah BBM yang saya gunakan benar-benar berkualitas? Jika saya tetap menggunakan Pertamax, apakah saya sedang mendukung sistem yang korup?
Otak manusia tidak suka berada dalam kondisi yang kontradiktif seperti ini. Maka, ada tiga kemungkinan respons: tetap menggunakan Pertamax dengan perasaan ragu, mencari pembenaran bahwa semua BBM sama saja, atau—pilihan yang paling banyak diambil—mengubah perilaku dengan beralih ke BBM lain.
Dalam situasi seperti ini, tak ada yang lebih penting dari kepercayaan publik. Dan sayangnya, kepercayaan adalah sesuatu yang paling sulit untuk dikembalikan.
Namun, di balik hiruk-pikuk boikot dan eksodus massal dari Pertamina, ada satu pertanyaan besar yang harus kita pikirkan: apakah berpindah ke BBM lain benar-benar solusi jangka panjang, atau hanya bentuk pelarian emosional sesaat? Kita sudah sering melihat bagaimana isu korupsi meledak, memicu kemarahan, lalu akhirnya tenggelam begitu saja tanpa ada perubahan struktural yang berarti. Jika ini hanya berakhir sebagai siklus berulang, maka masyarakat sekadar berpindah tanpa benar-benar menyelesaikan akar masalahnya.
Lebih jauh lagi, fenomena moral outrage & social contagion ini menyoroti satu realitas pahit: seberapa rapuh kepercayaan kita terhadap institusi negara. Hari ini Pertamina, besok siapa? Fenomena ini menunjukkan bahwa publik tidak lagi memiliki toleransi terhadap skandal semacam ini, tapi juga membuka pertanyaan yang lebih luas: seberapa dalam sistem korupsi ini tertanam, dan apakah ada sektor lain yang sedang menunggu giliran untuk terbongkar? Jika kepercayaan terhadap BUMN saja bisa runtuh secepat ini, bagaimana dengan sektor lain yang lebih tertutup?
Pada akhirnya, masalah ini lebih besar dari sekadar boikot atau migrasi BBM. Yang dipertaruhkan bukan hanya kepercayaan terhadap Pertamina, tetapi kepercayaan terhadap sistem itu sendiri. Jika kita benar-benar ingin perubahan, maka moral outrage ini tidak boleh berhenti pada sekadar kemarahan sesaat. Harus ada dorongan untuk transparansi, reformasi yang nyata, dan akuntabilitas yang serius. Jika tidak, kita akan terus berada dalam siklus yang sama—marah, berpindah, lalu kembali lagi ketika lupa. Saat ini, banyak orang sudah memilih untuk move on. Tapi pertanyaannya, apakah kita hanya ingin lari dari masalah, atau benar-benar menuntut perubahan?[T]
Penulis: Dr. Geofakta Razali
Editor: Jaswanto