SUATU komunitas adat dimana pun tidak bisa berdiam diri pada satu kondisi tertentu, karena putaran perkembangan zaman mengharuskan untuk berubah. Artinya, kapan pun akan dan pasti mengalami perubahan.
Baduy adalah salah satu contoh komunitas yang terus mengalami perubahan di berbagai aspek baik sosial , budaya dan ekonomi. Padahal suku Baduy yang sampai ini masih berkategori sebagai Komunitas Adat Terpencil dan masih termasuk Desa Adat.
Perubahan yang begitu cepat dan sporadis di Baduy sudah tidak bisa lagi dipungkiri, bahwa itu bukti nyata yang menunjukkan mereka terpaksa atau tidak harus mengalami dan mengikuti perubahan sekaligus demi memenuhi tuntutan kebutuhan zaman; kalau tidak mau kesulitan dan terkucilkan dalam pergaulan dunia.
Sudah menjadi rumus baku bahwa perubahan itu terjadi akibat adanya pengaruh dan faktor penyebab lainnya. Menurut penulis , perubahan itu terjadi hanya oleh dua faktor, pertama yaitu faktor internal yang berpengertian bahwa perubahan itu datang dari keinginan, motivasi dan inisiatif diri sendiri atau masyarakat. Kedua, faktor eksternal dalam artian ada desain khusus dari pihak luar yang diperuntukkan membantu memberdayakan serta mengubah pola hidup dan aspek kehidupan lain yang bermanfaat bagi kemajuan sesuai kebutuhannya.
Pada poin faktor eksternal inilah penulis ingin memberi sumbangsih informasi dan pengetahuan pada publik tentang sosok-sosok manusia Pengabdi dan Pembaharu (agent of change) yang memiliki andil besar terhadap terjadinya perubahan paradigma atau pola berpikir para tokoh adat, masyarakat dan kawula muda atau new generation Baduy. Tentunya pengabdi dan pembaharu yang dimaksudkan adalah pengabdi dan pembaharu menurut versi penulis yang memiliki ciri khusus.
Ruang lingkup pengabdian itu luas, bisa di pegunungan, di tengah samudra, di rimba belantara begitu pun di kota dan di pedesaan. Bisa juga dilakukan di berbagai lembaga resmi pemerintahan atau organisasi masyarakat , bisa dilakukan oleh seorang pegawai, guru, atau jabatan profesi lainnya. Sifatnya melayani masyarakat dengan gerakan 3E yaitu Enlighten, Educate & Empower (mencerahkan, mendidik dan memberdayakan).
Satu syarat terpenting bagi seseorang dinyatakan sebagai “pengabdi” adalah tindakannya selalu berkelanjutan (terus menerus) dalam melakukan darma bakti. Lalu siapakah sosok-sosok pengabdi Suku Baduy itu ? Berikut kisahnya.
Dua Tahun Ditolak Baduy
Baduy sebagai salah satu suku yang kuat memegang aturan adat dengan sebutan Pikukuh Katujuh (amanat leluhur) selalu diterjemahkan sebagai suku tertinggal, kelompok prasejahtera, tidak berpendidikan, tidak paham tentang hidup sehat, hidup sederhana tetap tradisional apa adanya , menolak modernisasi dan menghindari hidup berpola modern, dan sebutan lainnya. Itu adalah problematika yang mereka hadapi dari masa ke masa.
Menolak pelayanan kesehatan modern dan pendidikan formal adalah dilema dan problem terberat yang sudah terjadi berpuluh tahun ke belakang sejak Baduy mulai dibuka penampilannya di ruang publik.
Sejak 50 tahun ke belakang informasi tentang suku Baduy tidak pernah ramai menghiasi ruang publik. Mereka sangat silent and hidden activity ketika berkomunikasi dan bersilaturahmi dengan pihak luar Baduy, termasuk berkunjung ke pemerintahan saat melaksanakan tugas ritual Seba-nya (silaturahmi).
Dari beberapa problematika yang dihadapi Baduy, kesehatan dan pendidikan serta kesejahteraan adalah 3 aspek yang menjadi sorotan utama pemerintah dan para pemerhati Baduy. Berbagai program dan terobosan untuk membantu menghijrahkan mereka dari 3 aspek yang dianggap jauh tertinggal dari kondisi tetangga saudara sebangsa dan setanah air yang sudah lebih maju kerap disodorkan pada mereka. Termasuk berbagai kajian khusus tentang Baduy sulit untuk diterapkan, tetap mentok dengan bahasa yang kurang enak yaitu “ditolak”, dengan alasan klasik bahwa semua tawaran itu lagi-lagi dinyatakan bertentangan dengan sosial budaya dan hukum adat mereka.
Sampai tahun 1997 saat penulis bersama istri datang ke Baduy untuk menunaikan tugas negara menjadi petugas kesehatan di suku Baduy, situasi “penolakan pola hidup modern” masih kencang dirasakan. Aura kata buyut pamali atau pantangan dan larangan adat begitu kuat mencengkeram di kehidupan mereka. Ucapan tokoh adat dan putusan Lembaga Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh merupakan kepastian hukum yang tidak bisa diutak-atik.
Saat itu bagi masyarakat Baduy menerima orang luar Baduy atau bersilaturahmi dengan orang luar Baduy menjadi kendala tersendiri yang sulit dipecahkan, mengingat doktrin kuat dari para tokoh adat tentang penanaman rasa takut bahwa orang luar atau asing itu dicurigai akan merusak kehidupan mereka. “Kami mah sieun dijual tonggong ka pamarentah (kami takut dicatut nama ke pemerintah)” itu pesan psikologis yang menempel erat di pemikiran warga Baduy.
Sehingga saat kami datang ke mereka, seluruh pasang mata warga mengawasi penuh dengan kecurigaan bahwa kita akan mencelakakan , merusak dan menjual mereka. Itu situasi dan kondisi serta tantangan terberat selama 2 tahun pertama (1997-1999) kami bertugas di Suku Baduy. Mereka masih menolak kedatangan kami (bidan Eros Rosita dan Penulis), walau sudah dijelaskan bahwa kami sebagai petugas resmi kesehatan dari pihak pemerintah untuk suku Baduy.
“Kekakuan” Masyarakat Baduy Luar dan Hukum Adat Mulai Lentur
Pada saat kami datang, resistensi sosial suku Baduy, terutama ketakutan terhadap perubahan bagaikan tembok tebal yang sulit untuk ditembus. Jangankan untuk bisa mengubah pola hidup sehat dan mengubah cara pandang mereka, bertemu dan menerima orang luar saja mereka begitu sulit dan selektif sekali. Itu situasi kondisi riil saat kami mengawali ditugaskan ke suku Baduy. Sehingga interaksi kami sebagai petugas dengan masyarakat Baduy sungguh sulit sekali dilakukan. Sempat kami patah semangat dan putus asa untuk mengundurkan diri dan minta pindah tugas.
Tetapi, tepat mengakhiri 2 tahun kami terus melakukan sosialisai dan pendekatan kepada mereka, datanglah mukjizat dan keajaiban berkat sebutir permen Lolipop, mereka akhirnya mulai menerima keberadaan istri penulis sebagai bidan suku Baduy.
Untuk lebih mengakrabi tentang siapa sosok bidan suku Baduy, penulis coba sajikan kutipan profil dan curhatan bidan Suku Baduy yang ditulis pada tahun 2019 oleh bidan Eros Rosita berikut ini.
“Saya mulai ditugaskan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Lebak pada tahun 1997, tepatnya pada tanggal 25 September 1997 untuk menjadi Bidan Desa Kanekes dengan SK Bidan PTT Desa Terpencil No KP.00.03.1.1.12512 (Perpanjangan masa bakti 3 tahun kedua ) NR.PTT : 10.4.008.041 yang ditanda tangani oleh Dr.H.E , Maohjar Djamhur, MPH, Kepala Kanwil Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Dengan surat tugas No :800 /228/ KEPEG tanggal 01 Oktober 1997 tertanda tangan Dr. H. Djadja Buddy Suhardja S. MPH. Kepala Dinkes Kabupaten Lebak, ternyata berada di wilayah pembinaan Puskesmas Cisimeut, Kecamatan Leuwidamar.
Kemudian pada tahun 2001 menjadi Bidan Teladan , pada bulan Nopember tahun 2000 diangkat menjadi PNS dengan tugas khusus membina suku Baduy ketika Kabupaten Lebak masih termasuk Propinsi Jawa Barat. Di manakah tugas PTT awal pertama kerja? Sangat jauh, yaitu pada tahun 1994 di desa terpencil yang bernama Desa Mangkualam, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang yang sangat berdekatan sekali dengan Cagar Alam Ujung Kulon.
Sedetik tidak terpikir dan sejenak tak terbayangkan, bahwa saya akan menetap di Ciboleger sebagai kampung terdekat tempat transit awal menuju Tanah Ulayat Adat Baduy, dan tak sedikit pun berpikir bahwa saya akan mampu menyenangi tugas dan kewajiban sebagai Bidan Khusus Pembina Suku baduy. Tapi ternyata, kehendak dan keputusan Tuhan memang tak dapat saya tolak, bahwa saya memang diciptakan dan dipersiapkan untuk menolong masyarakat Baduy dalam meningkatkan “derajat sehat“ hidup masyarakat Baduy secara umum dan “derajat kesehatan ibu anak“ secara khusus.
Kini saya sangat meyakini bahwa tugas negara ini adalah sebuah tugas mulia yang harus saya lakukan dengan penuh kesadaran, kesabaran, ketabahan, ketelitian, tanggungjawab, terencana dan terukur serta penuh percaya diri, bahwa pekerjaan ini akan sangat bermanfaat bagi orang banyak; termasuk diri saya sendiri. Semoga akan bernilai ibadah. Amien.
Tugas awal saya di suku Baduy cukup membuat saya hampir putus asa. Mengapa? Karena ternyata Baduy bukan masyarakat biasa seperti yang kita kenal. Baduy adalah masyarakat yang pada kehidupan sehari-harinya sangat ketat dan kuat dalam memegang aturan adat (memegang Pikukuh Karuhun). Mereka sangat patuh terhadap ucapan para pemuka adat dan sangat takut melanggar adat, sehingga mereka sangat menjauhkan diri dari kehidupan modern.
Tak terhitung bentuk-bentuk hambatan, tantangan serta ancaman yang saya hadapi dalam melaksanakan tugas kebidanan, baik secara fisik karena letak geografis yang sangat sulit, wilayah yang sangat luas dan penyebaran kampung yang sangat banyak serta jaraknya berjauhan.
Secara psikis sering bertentangan dengan hukum dan acara-acara adat, ditambah lagi dengan kebiasaan masyarakat berladang di tempat yang jauh, sehingga sulit untuk bertemu atau berkumpul, karena tiap hari rutinitasnya adalah pergi pagi pulang sore untuk berladang.
Hal lain yang tak kalah menyulitkan saya dalam menunaikan tugas baik dalam memberikan pelayanan kesehatan, memberikan penyuluhan, mengajak, maupun dalam memengertikan serta menyadarkan mereka akan pentingnya kesehatan ibu dan anak adalah karena mereka dilarang bersekolah secara formal, sehingga pola pikir dan pola hidup mereka sangat sederhana sekali. Yach bisa pembaca bayangkan bagaimana sulitnya saya menghadapai masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan?
Tapi berkat dukungan moril bapak saya (Idi Rosidi), atasan-atasan saya di Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak serta intensifnya kunjungan Ibu Ketua IBI dan anggota IBI Kabupaten dan Propinsi Banten ke suku Baduy; bahkan tahun 2008 ibu Harni Kusno ketua IBI pusat beserta pengurus IBI Provinsi mengunjungi Baduy (Desa Kanekes). Tidak henti-hentinya beliau memberikan arahan, masukan dan petunjuk pada saya.
Bahkan di tahun 2012 saat ada kunjungan bunda Asmuyeni IBI Pusat dan bunda Emi IBI Provinsi Banten pun memberi arahan bersamaan dengan kejadian saya menolong melahirkan warga Baduy Dalam Cikartawana.
Saya sangat mengingat pesannya: ”Jangan hiraukan ibu yang berkunjung ke desa, tapi lihatlah dan segera tangani ibu dan bayi daripada kami, Ros ingat bekerja tulus ikhlas mengabdi mengemban amanat bangsa“. Juga yang tak kalah pentingnya dukungan moral dan spritual dari suamiku (Asep Kurnia) yang selalu menemani dan mendampingi hampir di setiap kegiatan, baik pada kegiatan penyuluhan, kunjungan rumah, pendekatan pada tokoh adat, bahkan pada kegiatan pelayanan atau pertolongan medis.
Akhirnya “bongkahan batu” hambatan yang sangat terjal itu pada tahun kedua dari tugas dapat saya lalui. Kini setelah hampir 22 tahun akhirnya saya dapat diterima sebagai petugas kesehatan kemudian dipercayai. Dan yang paling saya banggakan adalah, kini mereka sangat membutuhkan saya bukan hanya sebagai bidan saja.
Mungkin kawan-kawan seprofesi tidak akan percaya bahwa pada awalnya saya dibenci, kemudian ditakuti, lalu dijauhi hingga akhirnya dipercaya dan disayangi. Mengapa dibenci karena anggapan mereka saya orang asing yang akan merusak kebiasaan dan budaya mereka.
Mengapa ditakuti karena mereka menganggap saya akan mencelakakan dan menjerumuskan mereka, dan mengapa saya dijauhi karena mereka ragu terhadap gerak-gerik dan tingkah laku saya dalam memperkenalkan tugas kebidanan. Dan mengapa sekarang mereka sangat mempercayaiku dan menyayangiku karena saya telah dapat membuktikan bahwa apa yang saya lakukan pada mereka bermanfat bagi kesehatan dan kehidupan mereka.
Kebahagian yang paling istimewa dan jadi momentum catatan sejarah berharga bagi saya adalah bisa mengubah hukum adat yang asalnya menolak pelayanan kesehatan modern menjadi menerima pelayanan kesehatan modern. Dalam bahasa undang-undangnya, saya bisa meng-Amandemen.
Semoga kepercayaan mereka ini tidak pernah berhenti sampai kapan pun! Kemarin, sekarang dan nanti seluruh jiwaku dan ragaku akan tetap diperuntukkan bagi Baduy demi pengabdian yang abadi agar mereka berhijrah. Saya akan terus mencerahkan mereka, mengedukasi mereka, dan memberdayakan mereka dari generasi ke generasi. Amien“.
Bila pembaca merasa penasaran tentang sosok para pengabdi suku Baduy, simak episode berikutnya. [T]
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA