KETIKA menonton penampilan lima peserta pada Wimbakara (Lomba) Drama Bali Modern dalam ajang Bulan Bahasa Bali (BBB) VII-2025, muncul harapan besar akan lahirnya pemain-pemain teater atau kelompok drama berbahasa Bali yang mumpuni di Bali.
Bermain di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Jumat 14 Pebruari 2025, hampir semua peserta (dari nomor undi 6 hingga undi 10) itu berhasil dengan gaya yang berbeda. Sejumlah peserta seperti menemukan dramaturgi teater bahasa Bali–yang tentu saja mereka cari dengan proses latihan yang cukup melelahkan.
Lima peserta yang tampil itu masing-masing memiliki keunggulan dan kekhasan. Mereka tak hanya menghibur, tetapi sepertinya bisa menjadi gambaran sebuah perkembangan seni drama modern berbahasa Bali di Pulau Dewata.
Lima peserta lomba yang tampil itu adalah, Teater Takhta, Teater Jungut Sari, SMA N 1 Kuta Utara, Teater Jineng Smasta, dan Komunitas Seni Wong Samar. Mereka mengangkat kisah yang sangat beragam.
Memang ada yang mengangkat kisah mirip-mirip, seperti kisah tentang sawah, tetapi gaya penyutradaraan yang ditampilkan sangat beda. Tokoh-tokoh yang ditampilkan juga berbeda, serta properti pendukung garapan itu juga beda, pastinya lebih kreatif. Bahkan, adanya kejutan-kejutan itu menjadi sebuah pembelajaran untuk perkembangan teater ke depan.
Dari kelima kelompok teater itu, Teater Jungut Sari dari SMA Negeri 1 Sukawati, tampil penuh pesona dengan penemuan bentuk-bentuk pemanggungan yang kreatif. Drama yang mengangkat judul “Medal Medil”.

Teater Jungut Sari dari SMA Negeri 1 Sukawati | Foto: Bud
Drama ini menampilkan lelakut—orang-orangan di sawah di atas panggung. Orang-orang sawah biasanya menggunakan daun-daunan kering, tetapi ini justru dimainkan oleh manusia. Manusia memerankan orang-orangnya sawah. Dan sungguh berhasil.
Kisah Medal-Medil ini menarik. Seorang tokoh, I Made Lempog, membidik burung tekukur di topi, di atas kepala I Pekak Regeg. Bukannya burung yang mati, melainkan I Pekak Regeg yang lunglai.
Untuk menutupi perbuatannya itu, mayat I Pekak Regeg dibuat menjadi lelakut bersanding dengan lelakut lain berjejer di sawah.
Teater Jineng Smasta menampilkan drama realis berjudul “Nini Kija Jani” yang mengangkat kegelisahan perginya Dewa Nini, dewanya padi akibat ulah manusia. Sang sutradara sangat kreatif, dimana tokoh padi, bikul (tikus), dan cetrung (nama burung) bukan menjadi tokoh realis, tetapi imajiner yang menggambarkan pemikiran, perasaan kondisi psikis dan fenomena yang sedang dialami masyarakat Bali—rakyat kecil yang semakin terdesak di tanah kelahirannya.
Sementara tokoh manusia, seperti Wayan Kayun, mempresentarikan sebagai penguasa, investor yang hanya mengeruk keuntungan di tanah Bali. Tokoh padi, bikul, dan cetrung tak kuasa melihat kerakusan manusia, sehingga melakukan demonstrasi agar tanah warisan itu tidak dijual.
Adegan ini digarap dengan pendramaan, dengan bangunan karakter dan sifat-sifat manusia dalam bentuk gerak dan kata-kata puisi.
Berbeda pula dengan penampilan teater dari SMAN 1 Kuta Utara. Sebagai penampil ketiga, teater asal Badung ini menampilkan jenis teater gerak dan suara dalam kata-kata puisi, yang estetis, dinamis, ritmis, dan mistis.

Penampilan teater dari SMAN 1 Kuta Utara | Foto: Bud
Suasana adegan bukannya menampilkan properti benda-benda mati, tetapi diwujudkan oleh para pemain teater itu sendiri dalam bentuk laku-gerak. Perubahan suasana diwujudkan melalui gerak tari, pola lantai dan nyanyian-nyanyian, juga kata-kata.
Teater ini mengangkat judul “Bhuana” yang menggambarkan, bumi lahir dari ledakan dan panas, tetapi dalam prosesnya, ia juga melahirkan kehidupan. Manusia lahir dari rahim Bumi, merangkak di tanah, belajar berjalan, lalu mulai memahami dunia di sekitar mereka.
Alam mengajari mereka mendengar, membaca arus, dan menghitung waktu, sehingga dari bahasa alam itu mereka menciptakan aksara menuliskan pemahaman mereka tentang dunia, merangkai ilmu pengetahuan, dan membangun peradaban.
Dewan juri Mas Ruscitadewi mengatakan, Lomba Modern Berbahasa Bali pada bagian kedua yang menampilkan lima peserta ini, seperti sebuah perayaan Drama Modern Bali. Sebab, berbagai jenis drama modern tampil secara maksimal, dengan kekuatan aktor, tata artistik, seperti musik atau suara, tata panggung dan busana.
Menurut Mas Ruscitadewi, tehnik penyutradaraan dalam membawakan karya sastra atau naskah yang bertema alam, semua tampil sukses dalam pemanggungannya, menampilkan tontonan yang menarik, juga bersifat tuntunan.
Penampilan teater pertama membawakan naskah yang berkarakter magis tragedi, melibatkan banyak pemain, dengan dialog-dialog yang tumpah tindih antar pemain, sehingga terkesan kacau, kurang dan fokus, juga dalam pengadengannya.
Penampil teater kedua yang juga melibatkan banyak pemain tampil lebih artistik, dengan menguatan fokus-fokus adegan, ada kejutan-kejutan yang tak biasa menguatkan penampilannya. Sayang penutupnya masih terkesan biasa.
Penampil teater ketiga menampilkan jenis teater gerak dan suara dalam kata-kata puisi, yang estetis, dinamis, ritmis, dan mistis. Mengangkat tema dunia, jenis teater yang diambil menjadikan alur pertunjukan relatif datar, pergantian adegan seperti terpotong-potong.
Penampil teater keempat, membawakan cerita bertema sawah, yang melibatkan banyak pemain yang dipentaskan secara apik dan estetik, pertunjukan drama ini pada dominan dengan tari, lagu dan musik yang memukau. Sayang ceritanya kurang kuat.
Penampil teater kelima yang juga membawakan cerita bertema sawah, mengangkat drama jenis realis dengan dialog-dialog realis yang ditampilkan di atas panggung besar. Sehingga terkesan lambat dan kedodoran.
“Jujur, lomba bagian kedua ini beda dengan lomba di bagian pertama. Kali ini, terasa seperti perayaan Drama Modern Bali karena berbagai jenis drama modern tampil secara maksimal, dengan kekuatan aktor, tata artistik, seperti musik atau suara, tata panggung dan busana,” kata Mas Ruscitadewi.
Tehnik penyutradaraan dalam membawakan karya sastra atau naskah yang bertema alam. “Secara umum semua penampilan sukses dalam pemanggungannya, menampilkan tontonan yang menarik, juga bersifat tuntunan,” paparnya.

Penampilan teater dari SMAN 1 Kuta Utara | Foto: Bud
Penampilan grup teater ini sangat membanggakan bagi perkembangan teater berbahasa Bali di Bali. Semuanya memiliki keunggulan, sehingga masing-masing teater memiliki kelebihan yang menjadi ciri khas masing-masing. Meski semua tampil bagus-bagus, namun yang akan memenangkan lomba ini adalah yang paling kreatif.
“Teater yang tampil hari sekarang ini, sangat kuat-kuat. Kami selaku juri pasti akan sulit memberikan juara,” imbuh Mas Ruscitadewi yang juga seorang sastrawan.
Walau demikian, Mas Ruscitadewi menyayangkan teater yang tampil di hari pertama itu tidak menonton penampilan teater pada hari kedua. Demikian, pula teater yang terakhir tidak menonton pertunjukan teater sebelunnya. Padahal, proses belajar teater itu pada saat menonton pertunjukan teater itu.
“Terlihat sekali orang yang sering menonton itu akan jauh mengalami perubahan. Orang yang sudah melihat penampilan temannya itu akan tampil beda. Orang yang menutup diri, tidak akan mendapatkan pelajaran,” imbuhnya.
Memang ada peserta yang menyajikan konsep penyutradaraan yang sedikit lemah, tetapi ada pula yang melebihi para senior dalam konsep penyutradaraan. Cerita yang diangkat pun diolah sangat kreatif, dan acting mereka penih penjiwaan. Mereka, tidak hanya menyanyi dan suara, tetapi memadukan semua unsur teater itu.
“Ini menjadi semangat kita kedepan, ada yang bisa menyentuh, dan semoga ini bisa diwariskan kepada adik-adiknya. Sevavm teater ini bagus sekali dipakai untuk memahani diri,” sebutnya.

Teater Jineng Smasta | Foto: Bud
Hal senada dikatakan dewan juri lainnya, Wayan Sugita. Ia mengakui penampilan para peserta lomba setingkat SMA dan SMK ini betul-betul memukau. Mereka yang tampil, seakan memahami apa itu teaeter. Hanya saja, mereka terkadang lemah dalam menyikapi tema dari lomba drama itu.
Dalam sebuah pertunjukan drama, menurutnya, tema menjadi sangat penting untuk menyampaikan isi dari pada garapan itu.
Misalnya mengtupas tema “Jagat Kerti – Jagra Hitha Samasta” kali ini, hampir sebagai besar mengangkat dunia persawahan.
“Terkadang sutradara itu lupa menyambungkan bagaimana pemuliaan bahasa, akrasa dan sastra itu. Itu menjadi kelemahannya yang tidak menyambung. Kalau masalah kemampuan, itu luar biasa kreatifnya,” kata seniman yang biasa memerankan Patih Agung ini. [T]
Reporter/Penulis: Budarsana
Editor: Adnyana Ole