PERINGATAN Hari Pers Nasional (HPN) Ke-79 ini akan berbeda dari biasanya. Puncak peringatannya, digelar di dua kota, Banjarmasin dan Pekanbaru, sebagai akibat dualisme kepengurusan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Presiden nampaknya tidak akan hadir di salah satunya. Begitu juga Dewan Pers. Kenyataan yang patut disayangkan, tentu saja. Tapi, ada yang lebih serius dari itu.
Satu kenyataan yang menyangkut hidup pers sendiri. Khususnya media lama (koran, radio, tv), hidupnya kian mengkhawatirkan. Ini nampak dari belanja iklan media lama pada tahun 2024. Total belanja iklan media cetak misalnya, hanya Rp 6 triliun di tahun itu.
Bandingkan dengan media digital, yang mencapai angka lebih dari Rp 62 triliun (sebelumnya Rp 54 triliun lebih di tahun 2023). Televisi memang masih berada di puncak, dengan capaian Rp 63 triliun lebih, namun tren-nya terus menurun dari tahun ke tahun. Di sisi lain, media digital terus menanjak tajam.
Sepanjang satu tahun terakhir pun, daftar media lama yang gulung tikar makin panjang. Majalah Gatra yang sudah berkiprah selama 30 tahun, akhirnya pamit tak lagi terbit pada Juli 2024. Dunia televisi tak terkecuali. Pada Desember 2024, ANTV melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. ANTV, yang merupakan bagian dari PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), memiliki total utang sebesar Rp8,79 triliun kepada 12 kreditur.
Laporan keuangan per 30 September 2023 menunjukkan penurunan pendapatan perusahaan menjadi Rp 906 miliar dari Rp1,32 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Beban usaha yang lebih tinggi, mencapai Rp1,14 triliun, memperburuk kondisi keuangan perusahaan, sehingga VIVA mencatat kerugian sebesar Rp239 miliar pada kuartal III.
Bagaimana dengan media lokal? Nasibnya tidak lebih baik atau bahkan lebih buruk lagi. Banyak televisi lokal yang muncul pasca deregulasi dunia penyiaran yang nasibnya kini bak “hidup enggan matipun segan”. Koran-koran lokal sudah lebih dulu mati, menyerah dengan biaya produksi yang tak tertutupi oleh angka penjualan atau iklan.
Sungguhkah tren teknologi menjadi jagal para pekerja media? Bagi yang enggan bertransformasi, mungkin begitu kenyataanya. Tapi bagi mereka yang sigap melakukan shifting, terbuka peluang baru untuk terus berkiprah di dunia pers.
***
Saya berkesempatan hadir dalam pertemuan “Local Media Community Outlook 2025” di Surabaya, Selasa-Rabu lalu. Ada aura shifting di wajah-wajah para peserta yang mewakili media lokal dari seluruh Indonesia. Mayoritas yang hadir adalah pengelola media siber. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang sebelumnya berkiprah di media lama.
“Saya sebelumnya di grup Media Indonesia Jakarta. Perusahaan melakukan pemangkasan karyawan, karena kondisi perusahaan yang memburuk. Saya balik ke Bandung, dan kini mengelola media online,” ujar salah satu peserta.
Semangat mereka adalah menyiasati perubahan. Faktanya, perubahan besar terjadi pada cara manusia memproduksi dan mengkonsumsi berita. Teknologi mendeterminasi segala hal. Mereka yang bisa menyesuaikan akan bertahan, begitupula sebaliknya.
Tapi determinasi teknologi kadang terasa sadis. Begitu dinamis, sampai-sampai kita sulit mengikutinya. Belum lama kita bicara SEO, algoritma, kini kita disibukkan oleh isu artificial intelligent (A.I). Begitulah nasib pengguna teknologi, selalu berhadapan secara simetris dengan pencipta teknologi.
Dalam isu monetizing, seorang CEO media online bercerita, setiap bulan selalu melakukan evaluasi chanel. Bulan ini medsos A potensial memberikan cuan, bulan depan mungkin sudah berganti. Terasa benar nuansa “perbudakan 2.0”. Apa boleh buat.
Para pengelola media online itu kini lebih terasa seperti content creator. Mereka menyiasati konten demi cuan yang mungkin bisa diperoleh. Diskusinya seputar konten yang menghasilkan traffic atau meningkatkan jumlah viewer atau follower/subscriber.
Jurnalisme semakin kehilangan reflektifitas. Dalam pertemuan media lokal itu, materi “Jurnalisme Konstruktif” yang dibawakan Eva Danayanti dari IMS (International Media Support) pun terasa kabur. Harapan bahwa jurnalisme mestinya “berdampak sosial” seperti berhadapan dengan tembok besar teknologi dengan aksioma keuntungan materi yang baku.
Eh tapi, tak semua media lokal melupakan misi ideologisnya. Di Tasikmalaya, ada kapol.id yang bereksperimentasi untuk mendukung masyarakat mengembangkan tanaman Indigofera untuk kemandirian energi.
“Kami menerapkan pendekatan percakapan dengan warga. Dari situ, muncul gagasan-gagasan yang sebelumnya hanya mengendap dan tidak tersampaikan,” ujar CEO Kapol.id, Duddy RS. Selain publikasi, media bisa melakukan tugas advokasi bagi komunitas.
Menjadi idealis tak berarti jauh dari pendapatan. Program-program pendampingan komunitas ke depan bisa berimplikasi cuan. “Banyak biro iklan yang mencari mitra media lokal dengan hyperfocus, misalnya pada komunitas-komunitas spesifik,” papar Pradana, CEO Volare.
Kreatifitas selalu menemukan jalannya, dalam kondisi apa pun. Arogansi teknologi di satu sisi, tetap bisa beriringan dengan idealisme jurnalisme di sisi yang berbeda. Tren teknologi adalah wajah zaman, tak bisa dilawan. Ruh jurnalisme yang akan membedakan wartawan sejati dengan netizen pragmatis yang semata memburu popularitas. [T]
Penulis: Edi Santoso
Editor: Adnyana Ole