KEBIJAKAN yang melarang pengecer menjual liquefied petroleum gas (LPG) 3 kg (baca: gas melon) adalah bentuk nyata begitu serampangan tangan kekuasaan menggunakan kewenangannya. Alih-alih memudahkan hidup rakyat, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah melalui Kementerian ESDM justru merugikan rakyat.
Bahlil Lahadalia selaku Menteri ESDM menyebut bahwa kebijakan ini diambil sebagai langkah penataan proses penjualan gas melon. Dirinya juga menambahkan bahwa distribusi subsidi gas melon berpotensi tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan masyarakat yang seharusnya cukup membayar satu tabung sebesar Rp. 15 ribu, tetapi realitasnya mereka harus merogoh kocek lebih dalam hingga Rp. 25 ribu. Padahal negara sudah mensubsidi per tabung sebesar Rp. 36 ribu, dengan total subsidi per tahun sebesar Rp. 87 triliun.
Akibat dari kebijakan serampangan tersebut, di banyak daerah, antrean masyarakat mengular untuk mendapatkan gas melon. Mirisnya, seorang perempuan paruhbaya meninggal di Pamulang, Tangerang Selatan karena mengantre untuk mendapatkan gas melon[1]. Tidak hanya kerugian materiil saja yang diderita rakyat, tetapi kehilangan nyawa harus ditanggung rakyat atas kelalaian pemerintah dalam pengelolaan kebijakan.
Tidak tepatnya sasaran subsidi gas melon yang terjadi hari ini, semestinya ditindaklanjuti dengan kajian mendalam nan komprehensif serta dilengkapi dengan tinjauan langsung ke lapangan agar dapat menghasilkan regulasi yang dapat menguntungkan rakyat, dan memberi efek jera kepada pemburu rente.
Kini, alih-alih permasalahan dapat tertangani dengan baik, pemerintah justru menambah permasalahan dan penderitaan rakyat—berujung dengan permintaan maaf. Lantas, apakah permintaan maaf secara serta merta menyelesaikan masalah ini?
Dramaturgi Aktor-Aktor Politik
Lakon kepahlawanan kini tengah dimainkan oleh para aktor politik. Pemimpin yang mengerti penderitaan rakyat jadi tema dari lakon ini. Tokohnya jelas, para elit-elit politik yang kini tengah duduk di tampuk kekuasaan. Alurnya pun tampak begitu jelas, munculnya sebuah masalah dan kemudian masalah yang timbul akan diselesaikan oleh pihak yang membuat masalah juga. Dan ending-nya juga terlihat begitu jelas, munculnya satu sosok yang diagungkan sebagai pahlawan.
Melihat realitas saat ini, Bahlil tampak “dikorbankan” untuk menjadi tokoh antagonis—tokoh yang dibenci dan jadi sasaran amuk massa. Banyak caci maki menampar wajahnya kini, bahkan beredar video seorang warga yang mengekspresikan kemarahannya tepat di wajah Bahlil—tentu ini memberikan kepuasan tersendiri bagi warganet yang merasakan kekecewaan serupa.
Di sisi lain, Prabowo sang RI 1 hadir sebagai sosok yang mendengar dan memahami penderitaan rakyat. Dengan kewenangannya, ia menganulir kebijakan yang dibuat oleh pembantunya sendiri di Kabinet Merah Putih. Dan, boom! Gegap gempita pujian ditumpahkan ke arah Prabowo yang dianggap sebagai pahlawan bagi seluruh rakyat di Indonesia. Benarkah demikian?
Drama yang dipertontonkan elit kini sejatinya adalah pembodohan yang dilakukan kekuasaan kepada rakyatnya. Bagaimana mungkin kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak diputuskan secara serampangan tanpa melalui langkah-langkah teknokratis? Apa mungkin para elit secara sembunyi-sembunyi mengambil kebijakan dalam rangka keuntungan sendiri?
Cabut Subsidi Barang
Statement Bahlil yang menyebut bahwa potensi salah sasarannya subsidi di lapangan, menunjukkan bahwa dirinya tidak mengetahui situasi lapangan secara komprehensif. Nyatanya, subsidi negara melalui gas melon dinikmati tidak hanya oleh rakyat miskin, pegawai negeri sipil (PNS), pengusaha, hingga pejabat publik ikut menikmati subsidi dari negara tersebut. Subsidi salah sasaran tidak hanya terjadi pada konsumsi gas melon, BBM bersubsidi seperti pertalite pun sejatinya telah dinikmati oleh kalangan menengah dan menengah atas.
Meski tidak populis, tetapi tampaknya pemerintah harus berani mengambil kebijakan ini dalam upaya meminimalisir distribusi subsidi yang tidak tepat sasaran. Mencabut subsidi barang adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka menanggulangi persoalan di atas. Kemudian, apakah subsidi negara akan dicabut begitu saja?
Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), seperti yang dianut oleh Indonesia, negara memiliki kewajiban untuk melindungi kaum yang lemah. Dalam konteks ini, pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Artinya, subsidi adalah salah satu instrumen negara untuk menjalankan kewajibannya. Apabila pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk mencabut seluruh subsidi barang, maka subsidi harus dialokasikan kepada subsidi berupa uang.
Penulis coba berikan ilustrasi. Misalnya subsidi negara untuk gas melon sebesar Rp. 36 ribu dicabut, maka harga gas melon di pasaran yang mulanya Rp. 15 ribu (seharusnya) akan menjadi Rp. 51 ribu. Sehingga, hal yang mesti dilakukan pemerintah adalah memberikan subsidi kepada rakyat miskin berupa bantuan langsung tunai (BLT) berdasarkan data rakyat miskin yang tersedia di Badan Pusat Statistik (BPS). Rentang waktu pemberian BLT pun harus diputuskan melalui kajian mendalam nan komprehensif.
Langkah tersebut, secara tidak langsung akan menekan subsidi yang terdistribusi secara tidak tepat sasaran. Baik rakyat miskin, maupun mampu pada akhirnya memiliki keleluasaan untuk mengakses gas melon tanpa harus merasa ewuh pakewuh lagi. Tetapi, apabila pemerintah enggan untuk mengambil langkah ini, maka satu-satunya yang harus dilakukan adalah perbaikan regulasi dan peningkatan pengawasan terhadap proses distribusi gas melon.
Staf khusus, eselon 1, eselon 2, tenaga ahli, dan instrumen intellectual capital lainnya yang digaji oleh pajak rakyat, semestinya sudah menjadi modal yang cukup untuk merealisasikan langkah-langkah strategis tersebut. Apabila regulasi yang komprehensif dan pengawasan yang ketat terhadap distribusi subsidi tidak juga mampu dihadirkan, apakah jabatan-jabatan yang disebutkan penulis tadi hanya sekadar nongkrong di kantor kementerian?
[1] Baca selengkapnya di https://www.liputan6.com/news/read/5907834/warga-meninggal-usai-antre-lpg-3-kg-kementerian-esdm-minta-maaf diakses pada Kamis, 06 Februari 2025, pukul: 13.42 WIB
Penulis: Teddy Chrisprimanata Putra
Editor: Adnyana Ole
Baca esai-esai politikTEDDY CHRISPRIMANATA PUTRAlainnyaDI SINI