PERJALANAN Tirtayatra Toska (SMA Negeri 2 Kuta Selatan) setelah bersembahyang di Pura Dalem Karang Boma menuju Pura Dang Kahyangan Gunung Payung Desa Adat Kutuh. Waktu tempuh dari Pura Dalem Karang Boma ke Pura Gunung Payung sekitar 10 menit dengan kendaraan melalui Jalan Alas Arum Nusa Dua Selatan. Jalannya mulus halus setelah hampir 30 tahun mangkrak.
Badan jalan ini sudah dibuka pada akhir zaman Orde Baru, tetapi baru diaspal dua tahun lalu dengan lebar jalan 24 meter sehingga memungkinkan untuk membuat median jalan yang asri dan artistik sebagai taman. Taman jalannya belum optimal tetapi tanda-tanda ke arah keasrian sudah terlihat. Maklumlah jalan ini menjadi jalan alternatif dari Nusa Dua menuju Pantai Pandawa dan Pantai Melasti. Dua kawasan pariwisata yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Namun, berkat kreativitas dan inovasi Bendesa Adat kedua desa, dua pantai ini menjadi ikon baru di Gumi Delod Ceking mengimbangi Nusa Dua dan GWK yang elitis.
Begitulah rekaman ingatan yang tidak pernah dimimpikan telah menjadi kenyataan kini. Benar kata WS Rendra dalam sajak Pulau Bali. “Di Bali : pantai, gunung, tempat tidur dan Pura, telah dicemarkan”. Seberapa pencemaran itu terjadi dapat dilihat dari banyaknya hamparan abian penghasil pangan diblokir, tak terkecuali tanah-tanah di seputar Pura, termasuk Pura Karang Boma yang dipepet investor. Bagaimana dengan Pura Dang Kahyangan Gunung Payung? Kawasan luarnya sudah dikuasai oleh investor dan telah mempekerjakan sebagian kecil tenaga kerja dari Desa Adat Kutuh.
Apa pun itu, pikiran ini terkadang dibawa hanyut oleh masa lalu. Tanah-tanah abian juwet, bekul, bangkuang sudah berpindah tangan ke investor. Kini pikiran menerawang tetapi tugas untuk menjaga dan merawat Pura Gunung Payung tidak akan berakhir. Seyogyanya dengan kedatangan investor, pengemong Pura Gunung Payung makin sejahtera dan bahagia.
Terbuai dalam lamunan masa lalu, tidak terasa sudah sampai di Jaba sisi Pura Gunung Payung. Banyak wisatawan yang berkunjung menikmati suasana Pantai Gunung Payung dengan open stage yang luas. Kaum bule umumnya berselancar, sedangkan wisatawan domestik hanya maseliahan, membuang mumet dari rumah yang makin sempit. Gunung Payung menawarkan keluasan cakrawala pandangan ke laut lepas dengan buih ombak putih.
Oleh karena pada Senin Wage Dukut, 27 Januari 2025 adalah Hari Siwa Ratri, banyak pemedek umumnya dari kalangan siswa bertirtayatra ke Pura Gunung Payung, di antaranya dari SMP Negeri 8 Denpasar, SMP Negeri 1 Bangli, di samping dari rombangan Toska dan Osaka (SMA Negeri 1 Kuta Selatan) yang datang dengan kesadaran diri tanpa ditemani guru. Rombongan Tirtayatra dilayani oleh Jro Mangku Nyatra bersama Jro Istri Niti.
Ngayah makidung sebelum persembahyangan | Foto: Nyoman Tingkat
Persembahyangan Toska di Pura Gunung Payung berlangsung dua kali, di Madya Mandala dan di Utama Mandala. Di Madya Mandala terdapat bebetelan menghadap laut lepas (Dalem Segara) dan Nusa Penida sebagaimana di Pura Geger Dalem Pemutih. Di area ini tidak terdapat pohon istimewa, tetapi di samping kanan kiri bebetelan terdapat pohon Kamboja sebagaimana umumnya Pura-Pura di Bali. Namun, di Utama Mandala Pura Gunung Payung terdapat Pohon Awar-Awar, persis di depan Kubung Patirtan. Konon, di sanalah tempat Dang Hyang Nirartha menancapkan tangkai payung yang tiba-tiba muncul air sebagai obat dahaga setelah beliau berdarmayatra dari Pura Geger Dalem Pemutih dan Pura Dalem Karang Boma.
Pohon Awar-Awar di Utama Mandala Pura Gunung Payung juga tumbuh subur padahal tumbuhnya di atas batu. Sepertinya aura Kubung Patirtan itu sejuk, tis yang ramah menyambut akar Awar-Awar bertumbuh, seperti juga Pohon Menanga di Pura Dalem Karang Boma. Jika memerhatikan puja mantra Pemangku yang memimpin persembahyangan, tampaknya Pura Dalem Gunung Payung satu rangkaian perjalanan dari Pura Geger Dalem Pemutih dan Pura Dalem Karang Boma. Puja mantranya juga menggunakan Puja Stawa Dwijendra. “Om Dwijendra purwanem Siwam, Brahmanam purwantistanam, Sarwa Dewa masarirem, Surya mertha pawitranam, Om Dwijendra dipata ya”.
Pemakaian kata “Dalem” yang dilekatkan pada nama Pura, dapat diartikan sebagai abdi, yang berbeda dengan konteks Pura Dalem Kahyangan Tiga. Jika tafsir itu benar, saya pikir berkaitan dengan sekaa unen sebagai representasi dari abdi dalem yang menopang seni budaya setiap pujawali digelar. Kehadiran sekaa unen dengan kekhasan seni budaya masing-masing selalu ditunggu para pemedek yang tangkil ngaturang bakti. Tempat pertunjukannya pun di alam di Madya Mandala (Jaba Tengah) dengan penonton tertib.
Sepengamatan saya, sejak kecil, kehadiran sekaa unen membuat Pujawali menjadi ramai. Tercatat tiga sekaa unen yang rutin ngaturang ayah di Pura Gunung Payung, yaitu Sekaa Unen Banjar Pantigiri Kutuh, Sekaa Unen Jaba Bualu, dan Sekaa Unen Banjar Sawangan Peminge. Sekaa Unen Banjar Pantigiri berupa Rangda Ratu Ayu diiringi penari legong juga sering diawali dengan tari lepas seperti Tari Gabor bahkan juga Tari Rangdu Natha, Tari Maskot Desa Adat Kutuh.
Sekaa Unen Jaba Bualu dan Sawangan Desa Adat Peminge biasanya juga menambah semarak suasana Puja Wali. Pengiringnya banyak mableganjuran sepanjang jalan menuju Pura Gunung Payung. Sekaa Unen Jaba Bualu tampil mempersembahkan Tari Barong Rangda dengan iringan Penyandar, Telek, Jauk, Topeng Tua, Rarung dan Ratu Made, sedangkan Sekaa Unen Banjar Sawangan Peminge mempersembahkan Barong Rangda, Telek, dan Jauk. Klimaks dari persembahan itu adalah para pepatihnya kesurupan diakhiri dengan ngunying, ngurek, matebekan yang dalam Bahasa Inggris disebut Keris Dance. Sebuah teater yang tiada duanya di dunia, hanya di Bali satu-satunya. Sungguh tepat Bali sebagai Pulau Wali, tidak pernah surut mabanten. Baan enten artinya banguntersadar dari tidur. Dalam konteks Siwa Ratri inilah yang disebut jagra (melek) .
Pertemuan antar Sekaa Unen setiap Pujawali seperti reuni akbar dalam ikatan persaudaraan yang mategul tanpa tali dalam persahabatan sejati. Mereka saling pinjam peralatan khususnya gamelan sehingga pujawali menjadi ajang mengintimkan persahabatan yang disebut tetawangan atau braya. Pemedek yang sekaligus penonton mendapat tontonan dan tuntunan sekaligus bagi yang berkecerdasan.
Jika di Pura Geger Dalem Pemutih dan Pura Dalem Karang Boma memiliki taman beji tempat melukat, Pura Dalem Gunung Payung juga memiliki beji tempat melukat yang disebut Batu Kembar Sawang Nungkak. Letaknya di sebelah Selatan DI bawah Pura Gunung Payung sekitar 400 meter dari Pura, tepatnya di tepi Pantai. Ketika Bandesa Adat Kutuh dijabat I Made Wena (2014-2019) ada gagasan membuat pancoran di atas Batu Kembar untuk tempat melukat dengan menaikkan air laut. Sampai kini, ide itu belum terwujud.
Namun, umat yang percaya tetap menjadikan Kawasan Batu Kembar sebagai tempat malukat, biasanya saat Purnama atau Tilem saat laut surut. Berbeda dengan di Taman Beji Pura Geger Dalem Pemutih dengan kelebutan sehingga airnya tawar, Beji Pura Gunung Payung adalah laut dengan air asinnya. Ketika pujawali di Pura Gung Payung, juga nuur tirta ke Beji Batu Kembar Sawang Nungkak.
Seperti biasa, berpose di depan Pura | Foto: Nyoman Tingkat
Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang, secara historis Pura Gunung Payung memiliki hubungan dengan warga Cina (Buda) di Kuta tanda toleransi bertemu melalui jalur laut. Dikisahkan Saudagar Cina yang perahunya konon dililit gurita raksasa di tengah laut, mereka berkaul bila selamat ikut nyungsung di Pura Gunung Payung. Oleh karena itu, di Kuta ada Jalan Gunung Payung dan Pura Gunung Payung sebagai pesambhyangan tempat ngayat Ida Bhatara yang berstana di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung di Desa Adat Kutuh, Gumi Delod Ceking.
Begitulah tradisi dimulai dari cerita dikisahkan berulang-ulang lalu menjadi dasar kepercayaan. Keyakinan yang pada akhirnya tersimpan rapi di bawah sadar para leluhur ditransformasi dari generasi ke generasi dan dirawat secara turun-temurun. Semua itu menjadi landasan bakti pada leluhur atas restu Ida Bhatara sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi. Itulah sebabnya warga Cina di Kuta selalu tangkil ngaturang sembah bakti di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung setiap pujawali yang jatuh pada Purnama Sasih Kawulu ketika padi gaga beling saat pertanian diimani tempo doeloe. Kini padi gaga sudah tiada lahan menyempit, umat makin terjepit. Namun, pegemong Pura Dang Kahyangan Gunung Payung tidak boleh patah arang. “Tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin”, pesan Ida Pedanda Made Sidemen.
Masih banyak yang perlu digali dari Pura Dalem Gunung Payung tetapi Toska harus melanjutkan perjalanan ke Pura Goa Gong setelah makan siang bersama di jaba sisi. Program makan siang bersama krama Toska disingkat Masimakrama Toska. Akronim berkearifan lokal Bali. Perjalanan ke Pura Goa Gong dikabarkan pada edisi berikutnya.[T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT