UCAPAN terima kasih, meski sederhana, adalah salah satu bentuk penghargaan paling mendasar terhadap sesama. Ia tampak kecil, tetapi memiliki dampak besar dalam membangun hubungan manusia yang sehat, harmonis, dan penuh rasa hormat. Dalam setiap kebudayaan, ucapan terima kasih menjadi penanda keberhasilan peradaban—tanda bahwa sebuah masyarakat telah mencapai kematangan emosional dan spiritual.
Namun, kenyataan sering kali menunjukkan sebaliknya. Ucapan terima kasih mulai terlupakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh kemajuan teknologi, melainkan lebih kepada perubahan sosial dan budaya. Dalam masyarakat yang sibuk dan terfokus pada pencapaian material, hubungan antarindividu kerap dipandang sebagai transaksi belaka, bukan kesempatan untuk berbagi rasa syukur. Tekanan hidup modern membuat orang semakin sibuk memenuhi rutinitas, sehingga nilai-nilai sederhana seperti ucapan terima kasih menjadi terpinggirkan.
Di toko atau pasar, saya sering melihat orang membeli barang, membayar, lalu pergi tanpa sepatah kata pun kepada penjual. Begitu pula penjual. Sesuatu yang semestinya saling bersyukur, penjual dagangannya laku, pembeli mendapat barang yang diinginkan. Dan bersyukur itu selayaknya termanifestasikan dalam ucapan terima kasih. Bahkan ucapan terima kasih yang diberikan sering kali disambut dengan keheningan yang canggung, seolah-olah itu adalah sesuatu yang berlebihan. Hal ini mengundang pertanyaan: kebudayaan macam apa yang membentuk sikap seperti ini? Apakah ini sekadar kebiasaan, atau ada akar yang lebih dalam (seperti pola asuh atau struktur sosial) yang memengaruhi cara kita memandang relasi antarmanusia?
Dalam konteks kebudayaan, ucapan terima kasih mencerminkan kehalusan budi. Ketika seseorang mengucapkan terima kasih, ia tidak hanya menghargai tindakan orang lain, tetapi juga mengakui keberadaan hubungan yang saling memberi. Sebaliknya, absennya ungkapan ini menandakan kekosongan empati dan keterasingan batin. Mungkin seseorang tumbuh dalam lingkungan yang tidak menekankan pentingnya apresiasi, atau ia menganggap bahwa hubungan manusia tidak memiliki dimensi emosional yang perlu dirayakan. Apa pun alasannya, sikap seperti ini mencerminkan terkikisnya nilai-nilai kebersamaan. Ketika interaksi manusia hanya dilihat sebagai sarana memenuhi kebutuhan, tanpa penghargaan terhadap dimensi kemanusiaannya, peradaban mulai kehilangan esensinya.
Ucapan terima kasih lebih dari sekadar kata. Ia adalah refleksi dari dunia batin seseorang. Dunia batin yang kaya akan rasa syukur dan empati akan memancarkan kehangatan melalui ucapan sederhana ini, tidak peduli seberapa kecil situasinya. Sebaliknya, dunia batin yang terasing dan egois akan memandang ucapan terima kasih sebagai sesuatu yang tidak perlu.
Karena itu, penting bagi kita untuk merenungkan nilai-nilai yang ingin kita wariskan. Ucapan terima kasih bukan sekadar kebiasaan, melainkan fondasi dari hubungan manusia yang sehat dan bermartabat. Ketika kita lupa mengucapkan terima kasih, kita membuka jalan bagi peradaban yang dingin, di mana interaksi manusia kehilangan maknanya, dan rasa hormat tergantikan oleh sikap acuh tak acuh.
Bayangkan sebuah dunia di mana ucapan terima kasih menjadi kebiasaan sehari-hari, tidak hanya di pasar, tetapi juga di ruang kerja, keluarga, dan lingkungan sosial. Dunia yang lebih hangat, di mana setiap orang saling menghargai sebagai manusia, bukan sekadar bagian dari rutinitas. Dunia seperti itu bukanlah utopia. Ia dapat dimulai dari hal-hal kecil: mengucapkan terima kasih, bahkan untuk tindakan-tindakan yang tampak remeh. Sebab, dalam kesederhanaannya, ucapan terima kasih adalah benih yang menumbuhkan kebesaran manusia.[T]
Penulis: Kim Al Ghozali
Editor: Adnyana Ole
BACA ARTIKEL LAIN DARI KIM AL GHOZALI