PADA awal dan akhir tahun 2024 Indonesia berhasil menyelenggarakan hajatan demokrasi lima tahunan. Tanggal 14 Februari 2024 untuk pemilihan presiden dan 27 November 2024 untuk pemilihan kepala daerah serentak tingkat kabupaten/kota dan provinsi se-Indonesia. Bagi para calon pemimpin, pemilu dijadikan sebagai ajang kompetisi untuk meraih simpati masyarakat agar mau memilihnya sebagai pemimpin mereka. Sedangkan bagi masyarakat sebagai pemilik hak pilih (voter), pemilu dijadikan sebagai sarana partisipasi aktif untuk memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Selain itu, pemilu juga mereka jadikan sebagai bentuk penghukuman terhadap para pemimpin dengan tidak memilihnya kembali apabila dalam perjalanannya sang pemimpin mengecewakan publik.
Van Ham dan Lindberg (2015) menerangkan, meskipun hampir semua negara di dunia saat ini menyelenggarakan pemilu multipartai, tetapi tidak semua rezim mampu meningkatkan kualitas pemilu, terutama dalam menjamin prinsip pemilu yang bebas dan adil.
Politik Uang dalam Sistem Proporsional Terbuka
Pengalaman pemilu di Indonesia banyak dinodai oleh maraknya praktik yang merusak tatanan demokrasi. Hal ini sejak diperkenalkannya sistem pemilu proporsional terbuka yang diadopsi pada 2009. Sistem proporsional terbuka adalah sistem dimana pemilih mencoblos partai politik ataupun calon legislatif yang bersangkutan secara langsung. Perolehan suara terbanyak caleg secara personal dalam satu partai menjadi ciri khas sistem proporsional terbuka. Dalam sistem ini, para calon legislatif (caleg) melakukan strategi dan model kampanye yang mengutamakan ketokohan dirinya dibanding kampanye berbasis partai. Tujuannya agar caleg lebih menonjol dibandingkan dengan pesaing internal dari dalam partai sendiri. Dalam upaya mendapatkan suara, para caleg akan berusaha secara maksimal untuk memastikan pemilih mencoblos namanya.
Persaingan internal ini memaksa mereka terperangkap dalam lingkaran setan politik uang. Burhanuddin Muhtadi (2024) menyebutkan pemilih Indonesia yang terlibat dalam praktik jual beli suara antara 25 persen dan 33 persen dari total pemilih yang ada. Pemilu Legislatif 2014 misalnya. Saat itu jumlah total pemilih dalam negeri yang terdaftar sekitar 187 juta orang. Artinya, jika kisaran antara 25 persen dan 33 persen berarti sekitar 47 juta hingga 62 juta pemilih ditawari uang sebagai imbalan atas suara yang mereka berikan. Pada pemilu 2019, total daftar pemilih tetap mencapai 192 juta orang. Sedangkan pada pilpres dan pilkada terbaru 2024 yang diselenggarakan secara serentak pada Februari dan November tahun lalu, total pemilih yang terdaftar mencapai sekitar 204 juta orang. Jika menggunakan estimasi tertinggi, satu dari tiga orang Indonesia yang memiliki hak pilih secara pribadi terpapar politik uang.
Besarnya biaya politik yang dikeluarkan tidak menjamin kandidat memenangkan pemilu. Seperti pengakuan dari mereka yang gagal menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilu 2024. Salah satu kandidat dari Partai Golkar, Dito Ariotedjo, mengaku mengucurkan dana lebih dari Rp 10 miliar. Kandidat lainnya dari PDI-P, Masinton Pasaribu mengaku mengeluarkan dana hingga Rp 6 miliar hanya untuk mencetak alat peraga kampanye seperti spanduk dan baliho. Angka yang disebutkan Masinton belum termasuk alokasi politik uang dalam bentuk amplop yang dibagikan kepada calon pemilih.
Sistem Pelembagaan Partai Politik
Banyak pihak menyoroti bahwa sistem proporsional terbuka menciptakan dampak negatif seperti sarat dengan politik uang. Abdussamad (2023) misalnya, menengarai suburnya praktik politik uang dalam pemilu karena penerapan sistem proporsional terbuka. Menurutnya sistem ini telah mengebiri peranan partai politik yang digantikan oleh kekuatan peran individual kandidat. Padahal, perlu juga diperhatikan bagaimana pelembagaan partai politik dan sistem kepartaian berperan sebagai peserta pemilu.
Menurut Krouwel (2006), pelembagaan partai politik dapat dipahami dari aspek sejarah dan pengelolaannya. Menurutnya terdapat empat karakteristik tipe partai politik: elektoral, ideologikal, genetik, dan organisasional yang dapat mengungkap persoalan politik uang di Indonesia. Saat ini, partai politik di Indonesia cenderung hadir hanya saat pemilu dan menghilang setelahnya, tanpa menjalankan fungsi pendidikan politik, kaderisasi politik, serta memperjuangkan kepentingan publik.
Pasca pemilu 2019 dan 2024, oposisi melemah karena semua partai berlomba masuk pemerintahan, menunjukkan ciri partai kartel yang bergantung pada sumber daya negara. Selain itu, partai politik juga sering dimiliki oleh elite konglomerat yang menjadi penentu kebijakan partai, baik dalam hal pengisian jabatan struktur partai.
Penyebab Utama Politik Uang
Sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak bukanlah penyebab utama maraknya praktik politik uang dalam pemilu. Secara sistemik, sistem pemilu berfungsi sebagai tata cara kompetisi untuk mengonversi suara menjadi kursi, sekaligus membentuk sistem kepartaian yang terwujud setelah pemilu.
Kualitas aktor politik, baik partai maupun kandidat, lebih ditentukan oleh tingkat pelembagaan partai politik. Karakteristik partai politik di Indonesia masih cenderung bersifat elitis dan oligarkis. Demokrasi internal belum berjalan dengan baik, rotasi kepemimpinan berlangsung sangat lambat, dan partai politik seringkali hanya digunakan sebagai kendaraan politik tanpa kerangka nilai ideologis yang membedakan satu partai dengan lainnya. Kehadiran partai lebih terlihat sebagai “floating party,” yang hanya aktif pada saat pemilu.
Partai politik saat ini lebih menonjolkan dimensi elektoral semata, yaitu berfokus pada perebutan kekuasaan. Eksistensi partai politik biasanya hanya tampak pada atribut kampanye, dengan mengandalkan kandidat untuk menggalang suara. Dalam praktiknya, keinginan untuk terus berkuasa dalam sistem politik Indonesia menyebabkan partai politik cenderung menjelma menjadi partai kartel atau firma bisnis, demi memastikan keberlanjutan penguasaan sumber daya. Hal ini turut mengaburkan batas antara kubu pemerintah dan oposisi.
Persaingan internal partai yang sengit, sering dianggap sebagai dampak negatif dari sistem suara terbanyak, sesungguhnya mencerminkan bahwa partai politik telah sejak awal mengasingkan dirinya dari proses pelembagaan. Sebaliknya, partai politik memanfaatkan situasi tersebut untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas para kandidat. Semakin aktif kandidat dalam menggalang suara, meskipun melalui cara-cara pragmatis, semakin besar keuntungan yang diraih partai. Pada akhirnya, kandidat yang terpilih tetap berada dalam kendali partai politik melalui mekanisme fraksi di parlemen. [T]
Referensi:
Abdussamad, G.M.A., Faralita, E., & Sulastri (2023). Korupsi Politik Terlahir dari sistem pemilihan umum menggunakan sistem proporsional terbuka di Indonesia. Wasaka Hukum, 11 (1), 62-77.
Krouwel, A. (2006). Party Models in R.S. Katz & W. Crotty (Eds), Handbook of Party Politics. Sage Publications.
Kualitas Calon Legislatif di Balik Biaya Politik Mahal. https://www.tempo.co/kolom/biaya-politik-mahal-calon-legislatif-817114
Diakses pada 16 Januari 2025
Muhtadi, Burhanuddin. 2024. Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca Orde Baru. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Van Ham, C. dan S. Lindberg. 2015. “Vote Buying is A Good Sign: Alternate Tactics of Fraud Africa 1986-2012”. Working Paper No. 3, The Varieties of Democracy Institute.
Penulis: Muhammad Riyan Fitria Ramdlani
Editor: Adnyana Ole