PADA setiap pembicaraan tentang desa wisata, hampir selalu terjadi semacam kehebohan. Seakan-akan terwujudnya sebuah desa menjadi daya tarik wisata adalah satu prestasi besar.
Apalagi, kemudian muncul berita-berita tentang desa wisata A mendapat juara, desa wisata B terbaik, atau desa wisata C mendapat kunjungan dari pejabat pusat.
Sepanjang tahun 2024 sampai awal Tahun Baru 2025, pariwisata dan Bali, juga desa-desanya, masih menjadi menu utama di topik-topik berita dan sosial media. Apalagi kemudian diikuti dengan problematika sosial, kemacetan, sampah, banjir, dan sejenis. Semua problem itu sepertinya akan berhilir pada kata pariwisata.
Awalnya, problem-problem kemacetan lalu-lintas atau sampah memang kerap muncul pada destinasi wisata terkenal di kota-kota. Namun belakangan, bukan berarti desa wisata juga tak akan terkena problem itu.
Isu-isu semacam banjir, sampah dan kemacetan lalu-lintas harus di persiapkan penanggulangan di desa-desa yang bersiap menjadi desa wisata, atau sudah menjadi desa wisata.
Suka tidak suka, mau tidak mau, desa wisata adalah sebuah produk dari ekosiatem bisnis wisata dengan harapan dan tujuan menggerakan ekonomi sirkular di desa. Masyarakat dan semua stakeholder di dalamnya diharapkan terlibat dan mendapatkan kue berimbang dari kegiatan wisata itu.
Tetapi kenyataan tetaplah harus diterima. Sangat sulit untuk menyeimbangkan antara kegiatan wisata dan perubahan pola pikir dan budaya masyarakat. Masih banyak sekali yang beranggapan keberhasilan desa wisata mutlak dihitung dengan banyaknya kunjungan wisatawan ke desa tersebut, tanpa memperhitungkan carring capacity tempat wisata itu, dampak lingkungan yang akan ditimbulkan seperti tumpukan sampah, dan hal-hal lain yang mengikutinya. Ini tantangan dalam mengembangkan desa wisata, tak terkecuali Desa Wisata Les di Kecamatan Tejakula, Buleleng, yang menjadi Desa Wisata Terbaik 2024 dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia yang di selenggarakan oleh Kemenparekraf yang sekarang menjadi Kemenpar.
Membangun desa wisata selama ini, selain untuk mendapat kunjungan wisatawan sebanyak-banyaknya, sepertinya juga untuk mengejar juara, baik dari pemerintah maupun dari lembaga-lembaga asing. Setelah juara, sekaligus didatangi wisatawan, hal-hal yang harus diperhatikan, seperti dampak lingkungan, dilupakan begitu saja.
Juara akan ada tiap tahun, tetapi bagaimana memelihara momentum dan menyeimbangkan pengembangan wisata dan alam, itulah sejatinya pekerjaan yang harus terus dibupayakan oleh semua.
Obrolan bersama pemerhati dan pelaku wisata selalu akan berujung pada bagaimana pengembangan pariwisata yang selaras dengan alam, budaya dan sosial. Namun sustainability tourism sampai regenerative travel yang selalu didengungkan masih sangat jauh dari kenyataan. Canggu yang sudah tak bisa bergerak karena macet, sawah sudah menjadi sejarah, hujan pasti banjir dan lain-lain seakan menjadi bukti bahwa investasi akan selalu berpikir angka untung dan rugi.
Atau kita biarkan saja pariwisata dengan isu-isu klasik seperti itu, terus menerus. Urusan macet, banjir dan sampah toh itu juga asyik dibahas lagi dan lagi, apalagi setiap lima tahun sekali, saat Pilkada, bukan?
Tahun ini desa wisata mana yang akan juara? Dan berapa hotel atau villa lagi yang akan dibangun? [T]