PELARIAN yang paling tepat saat menghadapi kekalutan ketika menyusun skripsi adalah kongko. Begitupula yang kami lakukan saat itu, di sela-sela kesibukan, kami maseliahan (refreshing) sejenak ke sebuah kedai kopi sekaligus tempat biliar di Kesiman, Denpasar.
Kala itu, Saya dan kawan saya Agus Nantika mencuri waktu senggang tatkala bimbingan dengan dosen telah usai. Kendati memperjuangkan gelar yang sama di kampus UPMI Bali, tetapi kami berbeda jurusan. Ia jurusan Pendidikan Seni Rupa, sementara saya jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
Agus Nantika, begitulah orang-orang kerap menyapanya. Nama lengkapnya I Wayan Agus Nantika Darma Putra. Pria kelahiran 13 Mei 1998 yang berasal dari Pedungan, Denpasar ini merupakan salah satu seniman muda yang berbakat. Ia beberapa kali terlibat dalam berbagai pameran seni lukis dan menginisiasi event seni berskala kecil. Selain itu, ia juga aktif melukis mural yang kini dijadikan usaha jasa olehnya–bernama Canvas Beton.
Hot Americano dan Ice Kopi Susu Gula Bali menemani perbincangan kami di kedai itu, obrolan tanpa sekat mulai mengalir setelah ia menyulut sebatang rokok, lalu dihisap perlahan sembari mengobrol. Kami berbincang-bincang tentang berbagai hal. Mulai dari kiat-kiat menyusun tugas akhir, lalu ngelantur ke krisis sampah, karya-karya seni lukis, hingga usaha yang diasuhnya kini–yaitu Canvas Beton.
Lukisan mural yang ada di kedai itu juga dilukis olehnya bersama Canvas Beton. Dinding kedai itu terlihat begitu estetis karena berisi lukisan Wayang Kamasan yang dikemas dengan style modern, atau bisa disebut pula post-tradisi. Lukisan itu mampu merepresentasikan suasana dan karakter kedai itu, yaitu tempat biliar dan kedai kopi.
Mural karya Canvas Beton | Foto: dok. Agus Nantika
Canvas Beton merupakan jasa mural yang dibentuk dan dibangun oleh Agus Nantika. Ia tidak ingat pasti tanggal berapa usaha ini berdiri secara resmi, yang jelas Canvas Beton sudah ada sejak Juli 2023. Kini hampir 15 orang membersamai usahanya tersebut. Uniknya, tidak semua orang yang direkrut adalah pelukis. Baginya tidak harus andal ataupun pandai melukis, yang terpenting mau berkerja sama dan sudi belajar bersama.
“Di Canvas Beton tidak semuanya pelukis, tapi semuanya suka lukisan,” ujar Agus Nantika.
Agus Nantika menceritakan, tujuan dibentuknya Canvas Beton adalah untuk mewadahi anak-anak muda yang gemar melukis. Ia menggaet kawan-kawan, adik, dan kerabatnya yang memiliki talenta melukis. Meskipun tidak jago, baginya yang penting adalah mau belajar.
Semuanya berawal ketika Agus Nantika mendapatkan tawaran untuk melukis mural di sebuah tempat. Ia pun kemudian mengajak beberapa kawan dan kerabatnya untuk menyelesaikan mural tersebut. Akhirnya, tercetuslah ide untuk mendirikan Canvas Beton sebagai wadah berkesenian sekaligus membuka lapangan pekerjaan.
“Canvas Beton sebetulnya hanyalah wadah bagi mereka untuk mencurahkan ekpresi dalam berkesenian. Kemudian, kalau pun menjadi komersil, hasilnya juga akan dibagi secara adil untuk mereka. Jadi, mereka dibayar untuk menjalankan hobinya,” ungkapnya sembari menyeruput kopi yang masih panas itu.
Mural karya Canvas Beton | Foto: tatkala.co/Dede
Agus Nantika merupakan seniman muda yang berambisi besar, bisa dikatakan ia adalah salah satu mahasiswa yang kerap mencetuskan gebrakan-gebrakan di program studi Pendidikan Seni Rupa, UPMI Bali. Ia kerap terlibat menginiasi pameran-pameran seni bagi mahasiswa dan sempat melukis beberapa spot photogenic di kampus yang beralamat di Jalan Seroja itu.
Founder Canvas Beton itu merupakan lulusan SMK Negeri 1 Sukawati atau lebih dikenal dengan SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia). SMK Negeri 1 Sukawati alias SSRI sudah terkenal banyak mencetak seniman hebat. Barangkali Agus Nantika akan menjadi yang selanjutnya.
Agus Nantika mengaku gemar melukis sejak kecil, orang tuanya sangat mendukung ketika ia melukis. “Mereka sangat bangga kalau anaknya pandai melukis. Mungkin itu juga yang menjadi penopang saya untuk konsisten di seni lukis. Karena di keluarga memang tidak ada yang menjadi pelukis, baru berawal dari saya. Mungkin juga orang tua paham mana kekuatan terbesar yang dimiliki anaknya,” ujarnya.
Tatkala tidak ada project di Canvas Beton, sehari-harinya ia tetap melukis dan sesekali berpameran. Tetapi belakangan ini, ia memang sedang sibuk-sibuknya melukis mural bersama Canvas Beton. “Jadi ya tetep ngelukis, karena tidak bisa selain itu, hahaha,” sahutnya dengan nada bercanda.
Agus Nantika juga berencana ingin membuka les melukis. Jadi semangat berkeseniannya bisa tersebar dan berkelanjutan, sekaligus menjadi cara untuknya agar bisa bertahan hidup di seni lukis.
Mural yang Dibuat oleh Canvas Beton | Foto: dok. Agus Nantika
Mural yang dibuat oleh Canvas Beton pun tidak asal coret, “biasanya kita akan komunikasikan dulu dengan klien, apa yang kira-kira ingin dilukis, kemudian kami sesuaikan kembali dengan suasana dan karakter tempatnya. Kemudian akan kami buatkan desain, setelah disetujui baru akan kami garap. Jadi ya ga asal coret,” ungkap Agus Nantika.
Semua terorganisir dan diatur sedemikian rupa olehnya. Bujetnya ditentukan oleh luas media, jumlah pelukis, kerumitan, dan dana yang dimiliki oleh klien. Jadi fleksibel, tidak mematok harga terlalu kaku. Kalau medianya tidak terlalu luas, pelukisnya juga akan lebih sedikit. Atau ketika bujet klien itu minim, diakali dengan menyederhanakan desain.
“Yang paling utama sebenarnya adalah bujet. Kalau bujetnya aman, serumit apapun bisa dibuat. Klien hanya cukup terima beres. Semua equipment disiapkan oleh Canvas Beton, termasuk konsumsi,” jelasnya.
Agus Nantika juga menjelaskan tentang lukisan mural yang ada di kedai ini. ia mengerjakannya hampir empat hari bersama Canvas Beton.
“Ini adalah Wayang Kamasan dengan tema peradaban modern. Dari penggunaan warna tetap dari pakem tradisi, tetapi pose wayang dibuat layaknya manusia modern atau peradaban kini. Ada yang bermain biliar, membawa handphone, bermain DJ, dan lain sebagainya. Jadi ini lukisan tradisi, tapi temanya peradaban baru,” paparnya.
Mural yang Dibuat oleh Canvas Beton | Foto: dok. Agus Nantika
Ia juga mengatakan, awalnya ada keraguan dari sang owner kedai, apakah boleh melukis Wayang Kamasan di tempat hiburan seperti ini?
Agus Nantika pun berpendapat, “kalau saya berpikir, tergantung tempatnya di mana. Karena kalau berbicara soal seni, ada seni sakral dan profan. Sakralitas jika sudah kehilangan satu persen kesakralannya, maka sudah tidak bisa disebut sakral lagi. Jadi ini menurut saya termasuk pengembangan seni, serta difungsikan sebagai hiburan semata, bukan bermaksud merendahkan tradisi.”
“Sama saja seperti orang membeli barong di pasar seni, meskipun menyerupai barong sakral, tetapi itu bukanlah barong sakral. Kalau mau yang sakral, harusnya langsung ke undagi, karena perlu melewati banyak rangkaian upacara dan penyucian. Jadi masalah boleh atau tidak, itu balik lagi selera dan cara memandang seni itu sendiri,” ungkapnya.
Canvas Beton adalah usaha jasa yang bersifat kekeluargaan, penghasilan dari satu project akan dibagi adil sesuai dengan porsi kerja dan kinerja masing-masing pelukis. Canvas Beton juga tidak pandang bulu dengan klien, apapun konsepnya, berapapun bujetnya pasti akan bisa dikomunikasikan sampai menemukan hasil yang terbaik. Selama setahun berjalan, mereka sudah melukis banyak tembok, mulai dari tembok sekolah, tembok kedai makan, tempat hiburan, dan lain sebagainya.
Jika Anda tertarik mempercantik tembok rumah, kantor, ataupun tempat usaha, segera hubungi Canvas Beton, akun Instagram mereka @canvasbeton. Mereka akan selalu siap mencorat-coret tembok Anda. Pastinya, dengan harga yang menyame. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole