“Dari bandara kita naik bus ya?” Itu pertanyaan dan saran dari seorang kawan.
Pada waktu itu kami memutuskan terdampar di sebuah pulau, dan hendak balik ke Bali. Ongkos grab dari bandara sampai rumah masin-masing tentu akan membebani kantong tipis kami.
“Bus?” Saya tidak cukup terbaharui perkara informasi terkait trasportasi umum yang ada di Bali. Transportasi terakhir yang pernah saya tumpangi adalah Trans Sarbagita dan itu telah raib begitu saja.
“Iya, ada layanan bus baru untuk keluar bandara. Nanti aku cek deh…,” jawabnya.
“Iya!” Saya menjawab dengan singkat.
Itu sekelumit percakapan di ujung Oktober 2020. Sebelum kami akhirnya benar-benar menggunakan Trans Metro Dewata (TMD). Pada masa itu masih periode promo, pandemic, dan tentu saja menyelamatkan keuangan kami yang tidak seberapa.
Tentu tidak sampai depan rumah ala kendaraan online milik bohir yang kian hari kian menjerat pekerja dan memperkaya pemilik aplikasi. Keberadaan TMD meringankan pengeluaran rupiah dari dompet dan menyelamatkan kami dari hutang budi akibat merepotkan teman untuk menjemput.
**
Dan kemudian, di antara deburan ombak Pantai Senggigi, sebuah kabar hadir, Trans Metro Dewata (selanjutnya TMD) berhenti beroperasi akibat pemerintah pusat tidak lagi menganggarkan anggaran untuk biaya operasional.
Sebuah berita duka.
Berita duka, di tengah bobroknya transportasi publik yang ada di Bali. Jika mau jujur, Bali bahkan tidak memiliki transportasi umum.
Statment bobroknya transportasi umum di Bali hadir dengan perbandingan sederhana, 30 tahun yang lalu, seorang kakek di selatan kaki Gunung Agung bisa dengan mudah berangkat menengok cucunya yang ada di Denpasar dengan biaya yang terjangkau. Hari ini seorang kakek untuk menengok cucunya perlu me-rentcar sebuah mobil dengan harga 300-500 ribu (Nanti akan saya lanjutkan pada tulisan lain).
Menjadi berita duka karena, jika sarana transportasi umum di Bali selatan aja bisa bangkrut, maka transportasi ekonomis, mudah, aman dan nyaman tidak akan pernah bisa dinikmati oleh warga Bali bagian lain.
Alasan pemberhentian operasional TMD ternyata akibat Pemerintah Pusat tidak lagi mengalokasikan subsidi untuk operasional TMD.
Dari situasi TMD kemudian saya dan mungkin kita harus belajar, bagaimana pemerintah pusat memandang daerah.
Dengan sederhana kita semua akan paham bahwasanya kebutuhan akan berkembang, dari kebutuhan dasar (makan-minum), lalu kemudian pakaian, terus berkembang fasilitas kesehatan dan hari ini fasilitas transportasi.
Kebutuhan kita semua berkembang, demikian juga penyediaan yang harus disediakan oleh pemerintah sebagai unit yang dipercaya untuk mengelola dan penyelenggara negara.
Dan transportasi umum adalah kebutuhan hari ini.
Pertanyaannya dasarnya kemudian kenapa TMD itu dihadirkan di Bali? Ini menjadi pertanyaan, sama kemudian seperti pertanyaan kenapa TRANS SARBAGITA raib?
Saya hanya warga yang hendak bertanya, apakah transportasi publik di Bali dibangun atas dasar proyek dan amal?
Maaf, saya merasa ada nuansa itu, bagaimana kehadiran dan hilangnya trans sarbagita, kemudian berlanjut dengan kemunculan Trans Metro Dewata, dan harus hilang karena penganggaran. Dari pemutusan anggaran untuk TMD, membuat saya berasumsi, maaf atas asumsi saya, jika TMD hanya sebuah program uji coba, bukan sebuah bangunan alternatif transportasi umum bagi Bali.
Sebagai yang kebetulan lahir dan bertumbuh di pulau bernama Bali, saya merasa muak dengan bangunan menjadikan Bali sebagai ruang eksperimen.
Kenapa muak?
Sederhana, kami hanya warga pulau kecil dengan kerentanan kepulauan yang harus kami hadapi sebagai warga kepulauan. Kerentanan dan keterbatasan itu tentu tidak akan dirasakan oleh orang-orang yang hidup di pulau besar.
“Bali ini masih menjadi top of mind untuk pariwisata Indonesia. 50% revenue kita dari Bali, dari devisa yang kita dapat sekitar US$ 20 miliar setahun. By the way pariwisata penyumbang devisa terbesar nomor dua setelah migas,” pernyataan yang diungkapkan Sandiaga Uno yang dikutip dari pemberitaan CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20211222193439-4-301297/sandi-uno-bali-penyumbang-devisa-terbesar-di-pariwisata-ri/amp
Pemberitaan ini pada tahun 2021, masih pada periode pandemik. Sebelum dan pasca pandemik seperti apa sebenarnya kontribusi Bali bagi pendapatan devisa negara?
Hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Sementara yang akan kami tahu hanya bagaimana bertahan melestarikan kebudayaan dan alam demi bisa terus mengumpulkan dolar untuk disetorkan ke pusat. Dan hanya itu yang berhak dan boleh kami tahu.
Dan awal tahun ini kami harus menelan kenyataan pahit, TMD, Trans Metro Dewata, harus mati karena pemeritah pusat tidak menganggarkan pendanaan dalam APBN 2025.
Sekali lagi pertanyaan muncul, untuk apa sebenarnya TMD dihadirkan? Apakah sebagai rancang bangun trasportasi umum di Bali? Atau sekedar proyek eksperimen, amal?
Sistem transportasi publik seharusnya menjadi tanggung jawab negara, sebagai upaya menghadirkan sarana transportasi inklusif, menghadirkan sarana untuk setiap warga bisa berpindah dari satu titik ke titik yang lain. Hal ini penting karena kebutuhan warga berkembang dan terus berkembang. Bangunan sistem transportasi akan menjadi kebutuhan dalam bangunan kehidupan hari ini.
Transportasi publik, seperti TMD merupakan layanan transportasi yang selayaknya ada di setiap kota dan disediakan serta diselenggarakan oleh pemerintah, sebagai sebuah layanan publik, untung dan rugi harus dimusnahkan.
Bali selatan, SARBAGITA (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) sedang dihadapkan pada persoalan kemacetan. Lompatan kepadatan, dari lengangnya jalanan ketika pandemik, melenting ke berjubelnya kendaraan ketika pandemik dinyatakan telah usai. Dalam situasi seperti ini sebuah sistem layanan transportasi umum menjadi sangat dibutuhkan untuk dibangun. Hal ini dibutuhkan untuk memberikan pilihan bagi warga dalam memilih sarana transportasi dalam beraktifitas. Tanpa layanan transportasi umum, pilihan tranportasi di Bali hanya dua, kendaraan pribadi atau ojek online.
Apakah ini adalah tanggung jawab pemerintah Provinsi Bali?
Jika menelisik bagaimana Bali menyumbang devisa ke negara, seharusnya persoalan kemacetan dan sistem layanan transportasi umum juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dan sekali lagi, transportasi umum adalah layanan yang wajib disediakan oleh penyelenggara negara, bukan unit bisnis dengan logika untung rugi yang menjadikan warga sebagai objek meraup keuntungan.
Jika karena pemanfaatan TMD tidak seperti yang diharapkan, penggunanya belum banyak, bukan berarti bisa dimatikan begitu saja. Dimatikan dalam bentuk pemberhentian penganggaran. Jika menggunakan logika yang sama, warga mana yang akan menggunakan ibu kota baru? Lalu kenapa APBN dihabiskan untuk membuat IKN, seharusnya juga dihentikan saja. Seperti memberhentikan keberpihakan anggaran pada TMD.
Alih-alih mengevaluasi bangunan layanan TMD, untuk menacari tahu kenapa pemanfaatan TMD belum optimal. Yang kemudian diikuti dengan meningkatan bangunan layanan dengan mengembangkan sistem pengumpan dengan angkutan-angkutan yang lebih kecil sehingga jangkauan layanan trasportasi bisa lebih luas serta mengembalikan terminal-terminal lama yang selama ini telah beralih fungsi manjadi pasar senggol.
Keberadaan pengumpan yang kian dekat dengan warga tentu bisa merangsang pemanfaatan TMD sebagai bangunan layanan trasportasi utama.
Namun sungguh disayangkan, daripada mengevaluasi diri untuk meningkatkan layanan, Pemerintah Pusat lebih memilih pemberhentian subsidai TMD dari APBN. Situasi ini seharusnya bisa membuat Bali belajar, bahwasanya Bali hanya sebuah butiran debu dan tidak usah terlalu jumawa dan ngoyo mengumpulkan devisa, membayar upeti. Jika pada akhirnya, Bali harus menanggung dan bertahan sendiri ditengah gempuran ekstraksi pariwisata yang salah satu akibatnya adalah kemacetan.
Dan sudah selayaknya Bali mulai mempertanyakan setiap kemurahan hari yang dihadirkan pemerintah pusat atas nama “demi kemajuan Bali”, mempertanyakan dengan pertanyaan apakah proyek ni untuk Bali atau untuk mereka? Apakah untuk warga Bali atau untuk devisa negara?
Jalan tol Gilimanuk-Mengwi, proyek kereta, bandara baru, pelabuhan dan lain sebagainya, apakah proyek besar itu untuk Bali atau untuk devisa dan Bali hanya ngunuh (mengumpulkan ceceran padi yang tertinggal sisa panen) atau bahkanmengemis remah-remah rengginang.
Jika mengelola bus saja tidak becus, bagaimana dengan kereta, bandara, pelabuhan? Oh iya, mengelola bandara, kereta dan pelabuhan tentu lebih mudah karena itu untuk turis, bukan untuk warga lokal yang ingin berangkat kerja dari Denpasar menuju Jimbaran. Atau berangkat ke rumah sakit untuk berobat dari Tabanan atau Gianyar.
Karena transportasi yang dibangun hendaknya membawa keuntungan dan keuntungan akan didatangkan dari turis, jadi setiap layanan adalah untuk menjamu para tamu. Sementara warga Bali, sudah bisa dan terbiasa melakukan mobilisasi sendiri dan mandiri, jadi tidak butuh layanan trasportasi umum. Lagi pula semakin banyak kendaraan semakin besar pajak yang disetorkan dan bisa dikumpulkan.
Jadi Bali harus sadar diri. Bali hanya sebuah pulau kecil di tengah hempasan ombak pantai selatan dan gempuran pembangunan industri ekstraktif pariwisata.
Sementara elit Bali, yang terpilih dari pesta demokrasi seolah tidak memiliki taring untuk menuntut. Puputan hanya romantisme masa lalu yang dibicarakan dan dirayakan setiap tahun, sementara elit memilih melobi. Melobi pemerintah pusat. Lobi-melobi, dengar kata-kata itu berasa kembali ke jaman kolonial, ketika elit manjadi kolaborator kompeni untuk menyengsarakan warganya.
Tahun 2025 telah membawa kabar duka, Bali tidak lagi memiliki layanan trasportsi umum, tidak lagi memiliki TEMAN (Transportasi Ekonomis, Mudah, Aman dan Nyaman) Bus. Bali kehilangan TMD.
Sementara itu, pemerintah di tahun 2025 menargetkan 6,6 juta kunjungan wisatawan mancanegara dan 10,8 juta wisatawan domestik. .(https://www.rri.co.id/wisata/1231802/proyeksi-pariwisata-bali-tahun-2025).
Akan ada sekitar 16 juta manusia yang harus dijamu dan dilayani oleh penduduk yang hanya 4 juta. Dan tentu saja akan berdesakan di Bali Selatan (SARBAGITA).
Jadi selamat datang 2025, selamat datang di Bali, selamat berdesakan, pastikan anda bisa mengemudikan kendaraan pribadi atau merogoh kecek untuk aplikasi tranpostasi online milik bohir yang kian kaya. Pemerintah pusat telah memberi pilihan, naik kendaraan pribadi atau ojek online. Itulah pillihan yang ada di Bali, tidak lebih dan tidak kurang. Setidaknya masih ada pilihan, setidaknya mereka masih memberikan pilihan untuk kita secara mandiri mengusahakan mobilisasi kita tanpa bergantung pada pemerintah. Karena bagi mereka, TMD sebagai TEMAN (Transportasi Ekonomis, Mudah, Aman dan Nyaman) tidak menguntungkan dan menghabis-habiskan APBN.
Selamat datang di Bali, dan Bali selamat datang di 2025.
***
Dan jika hari ini kami turun di Bandara Ngurah Rai yang megah, percakapan akan berubah.
“Apakah kamu ada Rp. 200.000?”
“Untuk apa?” kataku.
“Transport dari bandara ke rumah!”
Dan kami akan terdiam, melangkah dengan ransel di punggung. Sambil berkecamuk, 200.000 bisa untuk makan 3 hari. [T]