DI Singaraja, soal bakso, warung Topi Merah (TM) di Jalan Merak, Kampung Anyar, adalah juaranya. Kaldu sapi yang gurih dan cita rasa bawang putihnya yang medok, ditambah bakso berdaging dengan tetelan yang melimpah, membuat mulut siapa pun tak berhenti berkecap-kecap. Tapi bagi saya, kuatnya rasa bakso TM tampaknya mendapat “saingan” berat.
Berbeda dengan bakso TM yang kuahnya pekat—dan tetelan sapinya yang melimpah, saingannya ini tipikal bakso berkuah agak bening dengan beberapa pringkil potongan lidah sapi. Tapi soal rasa, sama-sama tiada duanya. Saingan bakso TM yang dimaksud adalah bakso lidah di Warung Sederhana yang terletak di sebelah Indomaret Hybrid-Banyuasri di Jalan Ahmad Yani Singaraja, tepat di bawah teras bekas Toko Aki Sudan—sekarang dikontrak oleh Warung Sederhana.
Di warung tersebut tak hanya sedia bakso lidah, tapi juga ada gule dan sate kambing, pun soto babat—pula bakso babat. Tapi bakso lidah adalah yang favorit. Bakso lidah dan babat yang dimaksud bukan bakso yang terbuat dari lidah dan babat, tapi itu hanya sekadar pugasannya (topping) saja.
Ada dua varian bakso lidah di sini. Pertama bakso lidah plus bakso telur; bakso lidah plus bakso urat; dan campuran bakso lidah plus bakso telur dan urat. Dalam satu porsi biasa, terdapat empat bakso kecil dengan potongan lidah seukuran kuku jempol dan ruas jari tangan orang dewasa—yang sayangnya jumlahnya agak sedikit. Ehem. Sedangkan mienya menggunakan mie kuning dan bihun. Boleh memilih salah satu atau dua-duanya dicampur. Dan saya lebih suka mencampur keduanya.
Pada sore hari yang mendung, saya mendatangi Warung Sederhana—dan itu kunjungan saya yang pertama. Sebagaimana namanya, tempat makan templek ini bener-bener sederhana. Tempatnya kecil. Jarak antara penjual dan pembeli hanya sepelemparan ludah. Tapi itu menambah kesan keakraban. “Karena ruangannya masih renovasi,” terang Asan, pemilik Warung Sederhana, sambil menunjuk ruangan di belakangnya. “Ini ngontrak, tapi masih milik keluarga sendiri,” ia menegaskan.
Bakso lidah plus bakso urat Warung Sederhana | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Ayah Asan adalah sosok di balik resep bakso lidah yang mantap ini. Pada 1970-an, ayahnya merantau dari Bangkalan, Madura, ke Singaraja dan berjualan bakso lidah di sekitaran Kampung Bugis, Buleleng. Lambat-laun, usaha bakso ini berkembang dan mendapat tempat di Pasar Anyar Singaraja.
Ya, Warung Sederhana di Banyuasri ini merupakan cabang dari warung di Pasar Anyar Singaraja. “Yang di sana dikelola adik saya sekarang,” ujar Asan. “Ini usaha warisan,” sambungnya. Dulu, sebelum ayahnya meninggal, Asan dan istrinyalah yang mengelola warung di Pasar Anyar. Tapi sekarang ia memilih membuka warungnya sendiri—walaupun masih mencantumkan embel-embel “Cabang Pasar Anyar”.
“Dulu tinggal di Kampung Bugis. Tapi setelah bapak meninggal, saya sama istri pindah ke sini [Banyuasri],” terang Asan. Benar. Ia, istri dan anak-anaknya sekarang tinggal sekalian di rumah bekas Toko Aki Sudan itu. “Luas ini, sampai ke belakang,” ujarnya.
***
Saya memesan bakso lidah plus bakso telur dan urat. Seperti biasa, sebagai pecinta kuah bakso, saya meminta supaya kuah baksonya dibanyakin. Di mana pun, saya selalu meminta demikian. Ini bukan saja karena saya suka kuah bakso, tapi juga tentang kenangan di masa kecil. Ya, ini karena bapak. Setiap kali bapak membeli bakso di warung Pak Dirman (almarhum) setelah menjual cabai atau jagung sehabis panen, kata inilah yang kerap bapak sampaikan, “Kuahnya dibanyakin, Pak Man!”
Maaf. Saya agak sentimentil. Bapak meminta Pak Dirman melebihkan kuah bakso itu bukan karena ia suka, tapi supaya mendapat lebih banyak saja—walaupun hanya sekadar kuahnya. Bapak melakukan itu setiap kali beli bakso karena saya harus berbagi dengan adik. Benar. Dulu, bakso sebungkus itu kami makan berdua. Sedangkan yang sebungkus lagi bapak makan bersama emak. Itulah alasan kenapa bapak meminta kuah lebih banyak. Dan dari sana pula saya suka kuah bakso.
Ah… Pesanan saya datang. Semangkuk bakso lidah plus bakso telur dan urat, lengkap dengan mie dan kubis cincang. Harumnya menyeruak. Kaldu yang saya suka. Kaldu yang sudah dapat saya bayangkan rasanya bahkan sebelum mencicipinya.
Setengah sendok makan saya suapkan. Hmm. Segar sekali. Rasa asin-gurih yang pas, tak kurang tak lebih. Aroma seledri yang khas, bercampur dengan bawang goreng, membuatnya terasa lengkap. Aneh. Kuah bakso ini terlihat berminyak. Tapi tetap membuat tenggorokan terasa nyaman. Lihatlah, tidak terasa kuah itu tinggal setengah. Ah, betapa cepatnya habis.
Menurut saya, kuah bakso adalah kunci dari kelezatan keseluruhan hidangan. Kaldu bening yang kaya akan rasa atau kuah kental berbumbu, keduanya memiliki pesona tersendiri. Kuah kaldu sapi yang gurih mampu menghangatkan tubuh, sementara kalau dicampur sambal, kuah pedas yang kaya akan rempah, dapat membangkitkan semangat.
Sebagai sebuah penemuan dalam dunia kuliner, bakso punya sejarah panjang. Hikayatnya dimulai dari masa Dinasti Ming (1368-1644) di Cina. Pada awalnya, sebagaimana banyak ditulis di internet, bakso bermula dari ungkapan kasih sayang dan bakti seorang anak kepada ibunya. Alkisah, pada abad ke-17 Masehi, hidup seorang anak bernama Meng Bo yang tinggal bersama ibunya di Fuzho, Cina. Meng Bo sangat ingin memasak daging yang disukai sang ibu. Namun, lantaran usia yang sudah renta, gigi ibunya sudah tidak mampu lagi mengunyah daging.
Meng Bo, sebagaimana diceritakan Theepochtimes, lantas berpikir bagaimana caranya memasak daging yang lembut sehingga bisa dimakan oleh ibunya. Meng Bo mendapat aha momen. Ia tiba-tiba teringat dengan penganan lunak sejenis mochi yang dibuat dari ketan dan ditumbuk sampai halus. Meng Bo melakukan hal yang sama. Daging yang alot ia tumbuk, kemudian dibentuk bulat-bulat kecil dan dipadukan bersama kuah kaldu hangat. Syahdan, hidangan baru itu kemudian—meminjam istilah sekarang—viral di Cina. Berjalannya waktu, melalui para imigran, kuliner oriental ini kelak merambah Nusantara dan menjadi sangat populer di Indonesia.
Namun, bakso di Indonesia mungkin saja sudah membaur dengan banyak identitas produk budaya, tak hanya terpaut dengan Cina. Pasalnya, Belanda dan sejumlah negara Eropa lainnya juga memiliki jenis makanan yang mirip dengan bakso, yakni meatball—yang biasa disajikan bersama mie dengan saus kental serta pasta. Barangkali kuliner Eropa itu juga memengaruhi bakso di Indonesia.
Kini, selain tak lagi menggunakan daging babi sebagai bahan baku—nama bakso dalam bahasa Hokkien berarti daging giling yang merujuk kepada daging babi—, varian bakso di Indonesia juga sangat banyak. Bukan saja daging—ayam, sapi, ikan, bahkan tikus—sebagai bahan bakunya, tapi juga isian baksonya. Ada isi daging cincang, telur ayam, terlur puyuh, cabai (bakso mercon), keju, bahkan bakso isi bakso: bakso beranak, dan bermacam-macam lagi. Setiap jenis bakso memiliki karakteristik rasa yang berbeda.
***
Sudah. Kini saatnya meracik bakso lidah (yang kuahnya tinggal setengah ) dengan kecap dan sambal. Ya, saya tidak suka saus, apalagi cuka. Saya tuangkan sedikit saja Meliwis—kecap legendaris produksi Temukus, Buleleng, itu—dengan tiga sendok kecil sambal. Dan fantastis, rasa gurih kuah originalnya tetap melekat. Bahkan sekarang cita rasanya semakin kaya. Gurih kuah bakso, manis Meliwis, pedas sambal, mencipta rasa yang sulit saya jelaskan.
Sebentar, saya gigit baksonya dulu. Tak lembek. Ini tipikal bakso dengan tingkat kekenyalan yang pas, meski ini berisiko, sedikit saja salah takaran, bakso tipe ini akan membuat gigi gemetaran saat menggigitnya: alot. Tapi ini kenyal-berdaging. Dan itu yang saya suka. Saya tidak suka bakso yang lembut-lembek. Tekstur bakso seperti di Warung Sederhana inilah yang saya harapkan setiap kali membeli bakso di mana pun. Pas. Ah, bahkan lidahnya tidak berbau sama sekali.
Yah, saya sudah selesai makan. Saatnya membayar. Seporsi bakso lidah di sini dibandrol mulai 15 ribu saja. Itu angka yang kecil untuk rasa yang otentik.
Warung Sederhana i Jalan Ahmad Yani Singaraja | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Akhirnya, bakso, hidangan sederhana nan lezat yang telah berhasil memikat lidah jutaan orang di Indonesia—bahkan tak sedikit orang manca—ini, lebih dari sekadar bola daging. Bakso adalah sebuah pengalaman kuliner yang kompleks, perpaduan sempurna antara tekstur kenyal, aroma sedap Nusantara, dan cita rasa yang kaya.
Setiap gigitan bakso adalah sebuah petualangan rasa. Daging giling yang diolah dengan bumbu-bumbu pilihan menciptakan harmoni rasa yang unik. Kenyal daging yang berpadu dengan lembutnya tepung tapioka, memberikan sensasi tekstural yang menggugah selera. Aroma bawang putih yang harum menyatu dengan rempah-rempah lainnya, menciptakan aroma yang mengundang rasa lapar.
Bakso tidak hanya dinikmati sebagai hidangan utama, tetapi juga sering dijadikan sebagai camilan atau makanan ringan. Disajikan dengan mie kuning, bihun, atau lontong, bakso menjadi hidangan yang lengkap dan mengenyangkan.
Berkunjunglah ke Warung Sederhana. Supaya Anda dapat merasakannya sendiri. Muaknyussss.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole