29 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Catatan Akhir Tahun: Ulu Ledak Sang Kromoson

I Wayan WestabyI Wayan Westa
December 30, 2024
inEsai
Catatan Akhir Tahun: Ulu Ledak Sang Kromoson 

Karya seni instalasi Ketut Putrayasa | Foto: Ist

//Sebagian besar planet kita masih didominasi para tiran, dan bahkan di negara-negara yang paling liberal pun masih banyak warga yang menderita kemiskinan, kekerasan dan penindasan.// — [Yuval Noah Harari]

Sampai detik ini, Albert Einstein, ilmuwan keturunan Yahudi itu tetaplah fisikawan terbesar dunia. Temuannya tentang teori Relativitas   tak tergoyahkan  membuat dunia fisika kian terbuka  serta pemahaman perihal alam semesta makin meluas. Ia menandatangani surat termasyur kepada  Franklin Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32, membujuk agar AS menanggapi  gagasan bom atom itu dengan serius.

Apa yang terjadi kemudian?

Nun delapan puluh tahun silam, tepat pukul 08.15 waktu Jepang, 6 Agustus 1945, bom atom dijatuhkan di Hiroshima.  Wartawan John Hersey menulis tragedi ini begitu mengiris,  karyanya menjulang sebagai jurnalisme sastra termegah di abad ke-20, masterpiece pemenang Pulitzer Prize.

Hiroshima rata jadi tanah, membuat dunia menggigil. Amerika dikutuk  dunia. Peraih nobel fisika ini tepakur dengan perasaan bersalah. Ia muak dengan pembuangan sia-sia nyawa manusia, lalu melibatkan diri dalam demonstrasi antiperang.

Namun perihal perang dan kekerasan dunia tak cuma berkecamuk  dari zaman bom atom diciptakan,  jauh sebelum suku-suku di bumi hidup  nomaden, perang  telah menjadi  warisan paling mengiris  penduduk bumi. Untuk tak dianggap berlebihan, peradaban dunia pun  terbangun dari sisa-sisa konflik dan perang. Kekerasan menimpa dunia jauh sebelum manusia disebut beradab. Kian hari peralatan perang  makin canggih. Ancaman nuklir , senjata biologis pemusnah massal tak terelakkan.

Itulah kenapa “manusia awatar” sekelas Krisna, Gotama, Yesus, Dalai Lama  serta guru-guru dunia lainnya; hadir  demi misi perdamain dunia. Toh ribuan orang suci yang pernah singgah di bumi, tak juga sanggup menghentikan perang. Kekerasan berlanjut hingga detik ini,  tak ubahnya kutukan; manusia hidup dalam tegangan perang dan damai, sebagaimana kisah novel pengarang Rusia, Leo Tolstoy.

Tidak juga di abad modern, kekerasan tak cuma hadir di medan perang—kekerasan  juga muncul dalam beragam bentuk, dalam aneka problem hidup kian luas. Kekerasan kini tidak cuma ditembakkan  dari moncong-moncong bayonet dan bedil. Kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan seks, bahkan kekerasan regulasi negara. Pajak yang  tinggi, pemerintahan totaliter adalah wujud dari kekerasan  itu.

Namun di tengah-tengah dehumanisasi itu, di tengah-tengah  krisis kemanusiaan, selalu muncul pergerakan anti kekerasan. Sebab sungguh  perang bukanlah penyelesaian konflik  yang manusiawi, ia menyisakan trauma akut. Gandhi, bapak anti kekerasan India sudah sejak mula mengawal kemerdekaan India dengan gerakan anti kekerasan,  toh  akhirnya  sang sanatani ini  dibunuh  anak bangsanya sendiri, ditembak dari jarak  begitu dekat sembari menyebut nama Tuhan.

Kepedihan dan keprihatinan semacam inilah yang digulirkan Ketut Putrayasa di Galeri Nasional, dalam pameran bersama bertajuk SKALA: Trienal Seni Patung Indonesia. Telah lama sesungguhnya pameran itu digulirkan, delapan tahun silam, tepatnya; 7—26 September  2017. Akan tetapi, hingga kini;  devosi dalam tindakan tetap  dibadankan seniman kelahiran Tibubeneng, Bali ini.

Saban hari  kita bisa melihat seniman ini melepas penyu di putaran Pantai Berawa. Penyu-penyu yang nyaris ‘disate’ para nelayan, dibeli sang seniman guna dilepas ke samudera lepas. Kerap dalam perjalanan jauh Putrayasa membawa serta  beraneka makanan, untuk kera dan anjing-anjing liar di jalanan.  Sering  dalam  nasib-nasib yang naas, ia mengubur bangkai-bangkai anjing dan kucing tertabrak mobil di jalan. “Saya berharap roh anjing ini tenang di alam sana”, kilah ayah satu putra ini.

Sudah sejak lama laku anti kekerasan dijalani Putrayasa, sebelum ia melakukan protes anti kekerasan di Galeri Nasional dalam  bentuk seni instalasi  granat super besar. Granat jumbo seberat kurang lebih satu ton ini terbuat dari plat tembaga murni dan stainles dengan teknik las astelin dan kenteng.

Sang seniman, Ketut Putrayasa menamai  karya instalasi ini ; Motility. Secara biologis ia diterangkan sebagai sel atau organisme yang memiliki daya gerak spontan.  Metafor ini lalu digambarkan sperma berkepala  granat  ̶   dengan satu pesan; bahwa dalam diri manusia tersimpan potensi kekerasan yang sewaktu-waktu bisa meledak dengan mudah.

Dari segi bentuk karya ini memang sederhana, cuma seonggok sperma berkepala granat. Bentuk dan rupanya pun tidak indah, tidak terlihat estetik di mata awam. Namun dari pesan yang hendak disampaikan, ini sebentuk teror batin dan duka yang dingin, tentang betapa pedihnya hati sang seniman menyaksikan kekerasan dunia. Korban-korban perang hanya menyisakan trauma akut; kehancuran, kematian sia-sia, dan cacat  fisik seumur hidup.

Di mata batin seniman Ketut Putrayasa, kekerasan acap menjelma dalam berbagai kerusakan akut, tidak saja dalam perang frontal. Kekerasan pada lingkungan misalnya, sungguh mengamputasi  ekosistem dan sendi-sendi  kebudayaan manusia. Kerusakan lingkungan di belahan bumi menunjukkan bukti, betapa kejamnya sisi kapitalisme itu.

Di Kalimantan Timur misalnya, sebagaimana catatan kosmolog Karlina Supelli (2013), perempuan Dayak Benuaq memintal serat tanaman Doyo (Curculigo Latifola) menjadi benang mencelupnya ke pewarna dari sari tetumbuhan lalu menenunnya menjadi ulap(tenun) Doyo yang elok.

Menurut pengajar filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini, sudah  beberapa tahun terakhir ini perempuan-perempuan Dayak Benuaq kesulitan menemukan tanaman Doyo yang hanya hidup di lantai-lantai hutan yang gelap dan lembab. Hutan sekitar kampung beralih  menjadi perkebunan raksasa monokultur, atau habis terbabat untuk industri perkayuan atau bekas galian tambang yang dibiarkan menganga menyisakan kubangan raksasa.

Bagi Ketut Putrayasa, ini adalah  bentuk kekerasan pada hayat hidup, yang kelak menentukan  kwalitas hayat  hidup bersama. Secara pelan atau masif akan menjadikan dunia kian poranda. Namun kekerasan itu telah hadir setua evolusi manusia di bumi. Agama-agama lalu hadir memberi secercah percerahan dan rasa damai. Toh agama-agama tak sanggup menghaluskan ketumpulan otak reftil manusia. Perang agama muncul kepermukaan semata-mata membela keyakinan dogmatis. Lintasan sejarah agama-agama penuh dengan gejolak kekerasan dan penghilangan nyawa.

Karya seni instalasi Ketut Putrayasa | Foto: Ist

Di Tengah-tengah problem hidup yang keras itu dan dampak- traumatik  perang instalasi granat berekor hadir untuk menyapa, bahwa seni dan seniman bisa mengasah kepekaan kemanusiaan kita lebih intens. Memang tugas seni adalah melunakkan kekerasan  serta menyadari bahwa;  tugas hidup itu bukanlah saling meniadakan.

Panggilan  paling  mendasar dari hidup adalah merawat. Inilah kenapa saban waktu bila ada teman atau sahabat tidak bisa menebus biaya pengobatan di rumah sakit, Ketut Putrayasa  berusaha meringankan beban mereka. Ini sebentuk seni empati, terapi doa dalam tindakan dengan cara dan jalan sekecil apa pun.

Pertanyaan kemudian, ada apa dengan “sperma berkepala granat” ini ? Seniman patung ini berangkat dari narasi sejarah kekerasan  India.  Bahwa di zaman itihasa Ramayana dan Bharatayuddha, perang  dipicu oleh sosok perempuan. Sita dan Drupadi adalah tokoh yang didalih sebagai pemicu perang.

Bukankah perang antara Rama dan Rahwana diawali dengan penculikan Sita oleh Rahwana, Raja Alengka. Perang antara Pandawa dan Korawa dipicu Drupadi karena perempuan cantik yang lahir dari  api ini menolak lamaran Duryadana. Dan ketegangan demi ketegangan meletus jadi perang besar.

Namun sejak revolusi industri perang kerap dipicu dari ego kekuasaan laki-laki. Itulah kenapa Ketut Putrayasa menghadirkan instalasi “sperma berkepala granat”. Karena sungguh, hari ini peradaban kita adalah peradaban yang amat maskulin. Laki-laki selalu dominan menciptakan konflik. Ketakutan-ketakutan pada perang melahirkan bentuk perlombaan senjata yang kian hari makin canggih. Perang berarti keuntungan bagi industri senjata, cuan bagi negara pemasok.

Sejak dari zaman purba peradaban manusia diracau perang dan kekerasan, layaknya kutukan bawaan, gen yang tertitipkan alam. Realitas dunia dan peradabannya sering dijarit dari sisa-sisa konflik dan perang. Namun upaya-upaya damai  pasti telah muncul sejak zaman silam. Mantra-mantra dan doa-doa dari suku-suku purba  melantunkan harapan;  mereka ingin hidup damai dan rukun. Berharap karunia langit dan bumi penuh berkah suka cita dan perdamainan. Inilah alasan kenapa lembaga  PBB dilahirkan  ̶  agenda utamanya  adalah melindungi perdamaian dunia.

Namun kecemasn-kecemasan pada perang dan kekerasan terus berlanjut, tak ada yang bisa menjamin perang bisa dihentikan. Dan menurut Putrayasa, di titik inilah tugas seniman, ia tak hendak menjadi polisi moral, alih-alih menghakimi kesalahan orang. Akan tetapi anti kekerasan dan perdamaian mesti digulirkan terus. Bukankah para filsuf, seniman, penulis telah menyuarakan suara perdamaian itu sejak awal.

Nun di pojok belahan bumi bernama Jawa, lebih dari lima ratus silam  Mpu Tantular telah menyuarakan suara perdamaian itu. Dalam karya magnum opus Kakawin Sutasoma, Tantular menolak kekerasan. Ia menisbahkan traktat anti perang, mengubah kebengisan menjadi kasih sayang.

Karya seni instalasi Ketut Putrayasa | Foto: Ist

Lewat tokoh Sutasoma yang mendapat anugerah mantra mahahrdayadharani dari Durga, mantra penjinak yang mampu mengubah setiap kejahatan dan kekuatan musuh serta menjamin agar manusia dibebaskan dari segala penyakit dan halangan.

Dengan azimat mahāhŗdayadharani  Sutasoma  juga  membebaskan sembilan puluh sembilan raja yang ditawan Porusada, raja yang akan dijadikan tumbal kepada Kala. Namun Kala menolak persembahan itu sebelum Sutasoma diikutkan sebagai tumbal.

Dan apa yang terjadi kemudian? Setelah penundukan demi penundukan dilakukan Porusada,  perang dahsyat menjatuhkan korban begitu banyak – Sutasoma datang sendiri tanpa senjata, ia berjanji menghentikan semua kekerasan, siap mengorbankan diri demi  pembebasan sembilan puluh sembilan raja.

Kala tak jadi menyantap Sutasoma, Kala mengalami somya, terserap dalam kasih sayang yang dalam. Segala senjata berubah jadi bunga-bunga, yang  galak dan mengerikan berubah jadi penuh kasih. Itulah traktat non kekerasan Mpu Tantular yang boleh jadi juga menginspirasi  seniman Ketut Putrayasa  –  yang dalam keseharian ia  kembali menjadi manusia biasa, penuh peluh, bergelut dengan hidup yang keras, licik penuh tipu-tipu.

Memang kerap dalam lusinan karya-karya instalasi seniman ini ia selalu hadir dengan metafor fisik  radikal;  nyleneh selalu nungkalik dengan cerapan estetika awam. Sebut saja misalnya, mulai dari Sisyphus Game, The Stronghold, Post Scriptum, The Golden Toilet semua berangkat dari suatu perlawanan lewat kritik metaforis pada kecenderungan hal-hal bengkok yang terjadi kini.

Boleh jadi ini semacam “estetika kuburan”, tempat Sutasoma mendapat anugerah Durga. Bahwa hal-hal penting tidak melulu lahir dari keningratan luhur. Estetika juga bisa lahir dari ruang-ruang permenungan kumuh, dari hidup yang kotor penuh perjuangan, pelajaran jelata yang menghargai hidup semulia semut dan anjing-anjing yang diberi makan Ketut Putrayasa di jalanan. Dan sang seniman bahagia melakukan itu. [T]

Pakubuan Kusa Agra, 29-12-2024

  • BACA artikel lain dari penulisI WAYAN WESTA
Kode Gurita di Pantai Berawa
Satire “Sisyphus Game” Ketut Putrayasa
“Proyek Mengeringkan Air” Ketut Putrayasa: Sebuah Cibiran Sekaligus Pesan untuk Masa Depan
“Tajen”: Dari I Pudak, Marakata, hingga Geertz
Gelombang Penerjemahan Tantri di Bali
Sastra Bali dan Kebangkitan Daya Budi
Tags: catatan akhir tahunI Wayan WestaKetut PutrayasaSeni Rupa
Previous Post

Segitiga Emas: Budidaya Pertanian, Pengolahan Hasil, dan Pariwisata

Next Post

Kaum Paria dalam Pilkada

I Wayan Westa

I Wayan Westa

Penulis dan pekerja kebudayaan

Next Post
Kaum Paria dalam Pilkada

Kaum Paria dalam Pilkada

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more

Karya-karya ‘Eka Warna’ Dollar Astawa

by Hartanto
May 28, 2025
0
Karya-karya ‘Eka Warna’ Dollar Astawa

SALAH satu penggayaan dalam seni rupa yang menarik bagi saya adalah gaya Abstraksionisme. Gaya ini bukan sekadar penolakan terhadap gambaran...

Read more

Waktu Terbaik Mengasuh dan Mengasah Kemampuan Anak: Catatan dari Kakawin Nītiśāstra

by Putu Eka Guna Yasa
May 28, 2025
0
Pawisik Durga, Galungan, dan Cinta Kasih

DI mata orang tua, seorang anak tetaplah anak kecil yang akan disayanginya sepanjang usia. Dalam kondisi apa pun, orang tua...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Pameran “Jaruh” I Komang Martha Sedana di TAT Art Space
Pameran

Pameran “Jaruh” I Komang Martha Sedana di TAT Art Space

ANAK-ANAK muda, utamanya pecinta seni yang masih berstatus mahasiswa seni sudah tak sabar menunggu pembukaan pameran bertajuk “Secret Energy Xchange”...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co